HAMPIR tiga ribu penonton yang memenuhi Concert Hall John F. Kennedy Center, Washington D.C., tak henti-hentinya berdecak kagum ketika penari Saman mengakhiri tariannya dengan tepukan dada yang mengentak. Mereka kemudian menyalami penari dari Aceh itu. Itulah tari terakhir dari serangkaian pergelaran pada pembukaan Festival KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), Ahad malam lalu. Penonton sebelumnya sudah dibuat kagum oleh penampilan dua penari cilik Bali membawakan tari Baris dan lemah-gemulai tari Jawa, Bedoyo. Ini mungkin langkah awal yang baik dari festival yang berlangsung selama satu setengah tahun di 40 kota di AS itu. Tiga tahun silam, ketika Menlu Mochtar Kusuma-Atmadja selaku Ketua Yayasan Nusantara Jaya melemparkan ide Festival KIAS, banyak yang pesimistis proyek itu bisa terlaksana. Maklum, biayanya bukanlah sedikit. Apalagi Presiden Soeharto mengingatkan, pembiayaan KIAS sebaiknya dilakukan swasta. Mochtar menghubungi orang-orang yang berpengalaman dalam menangani festival semacam ini. Ted Tanen -- seorang bekas diplomat AS bagian kebudayaan -- yang pernah menangani beberapa festival besar macam Bicentennial di Prancis dan The Festival of India di Amerika, termasuk yang dihubungi Mochtar. "Bedanya, The Festival of India itu dibiayai oleh Pemerintah India, sementara porsi besar KIAS dibiayai oleh sektor swasta kedua negara," kata Ted Tanen kepada TEMPO. Di bawah naungan perusahaan Tanen Associates, KIAS di pihak AS mencari dana dan berhasil meraup US$ 8 juta. Sementara itu, pihak Indonesia mengeluarkan US$ 4 juta. Mencari uang US$ 4 juta bukan perkara mudah. "Memang saya akui, pengusaha Indonesia banyak yang lebih bersedia menyediakan dana untuk kegiatan olahraga," kata Menlu Ali Alatas, yang datang ke Washington khusus untuk meresmikan pembukaan KIAS itu. Sedangkan pengusaha AS mempunyai tradisi memberi dana untuk peristiwa-peristiwa seni -- paling tidak untuk prestise. "Terlebih lagi jika kesenian itu dipamerkan atau dipentaskan di museum yang berada di bawah naungan Smithsonian Institution. Ini adalah institusi kesenian yang sangat prestisius di AS," kata Ted Tanen. Persoalan lain adalah kesenian macam apa yang ditampilkan untuk masyarakat AS, yang pengetahuannya tentang Indonesia sangat sedikit. "Kita mencoba menampilkan Indonesia sebagai sesuatu yang utuh. Orang asing biasanya hanya tahu Jawa dan Bali. Maka, kita juga menampilkan kesenian di luar Jawa," kata Alatas. Keragaman itu tampaknya terpenuhi dengan digelarkannya berbagai seni budaya dari berbagai daerah. Acara-acara itu malah sudah ada yang dipergelarkan sebelum KIAS dibuka resmi. Misalnya pameran Sculpture of Indonesia di National Gallery of Art yang sudah dibuka sejak bulan Juli yang silam. Kurator museum itu sendiri, Arkeolog Jan Fontein, sengaja pensiun demi mengabdikan dirinya dalam pameran patung tersebut. Hampir dua tahun lamanya ia bolak-balik ke Indonesia untuk mencari benda yang tepat dipamerkan dan menulis katalog tebal tentang sejarah setiap patung yang dipamerkan. Patung-patung itu sengaja dipilih, yang diperkirakan ada pada abad ke-8 hingga abad ke-15 -- sebagian besar milik Museum Nasional. Bagi mereka yang sudah melihat patung-patung ini di Museum Nasinal, Jakarta, tak akan mudah mengenalinya lagi ketika dilihat di AS. Di National Gallery of Art, Washington, patung itu ditata amat menarik dan terasa sebagai benda-benda magis. Selain penanganan para kurator Amerika sangat telaten, mereka memiliki desainer untuk membuat tempat penopang setiap benda seni yang dipajang. Hampir semua patung Budha atau perhiasan itu diletakkan di dalam kotak kaca. Lampu ruang pameran sengaja dinyalakan seminim mungkin sehingga setiap orang yang masuk akan merasakan mood yang asing dan eksotis. Lampu kecil di setiap pojok patung itu bahkan berhasil membuat bayang-bayang dari setiap patung tersebut menjadi "kesenian tersendiri". Lalu, Andrea Simon mencoba memvisualkan patung-patung itu ke dalam film dokumenter. Sehari sebelum malam peresmian KIAS, karya Simon itu dipertunjukkan di umum untuk pertama kalinya. Film yang diberi judul Tales from the Shadow World ini berkeinginan untuk "menghidupkan" patung-patung purba tersebut sehingga pengunjung pameran dapat mengerti konteks eksistensi mereka. "Jika pengunjung pameran datang, paling-paling mereka hanya mengagumi detail ukiran patung-patung itu. Tapi film ini akan menjelaskan latar belakang eksistensi mereka, sehingga orang Amerika mengerti sejarah Indonesia," tutur Simon. Tampaknya tak mudah bagi Simon untuk memberikan roh kepada patung-patung itu melalui filmnya. Memang intro film itu cukup mempesona -- sebuah bukti yang tertutup kabut siluet petani yang melalui puncaknya. Tapi dalam waktu 30 menit, Simon tak berhasil membuat penonton cukup betah menyimak. Ide untuk memberi narasi dari kisah Ramayana -- lengkap dengan berbagai dialog yang menarik -- tetap tak memberi penjelasan apa yang sebetulnya diinginkan. Kecuali fotografinya yang indah, film ini tak membuat patung-patung tersebut lebih menarik dari yang dipajang di museum. Namun, kelemahan itu tentu saja lumrah. Masih ada ratusan acara KIAS yang lain, yang barangkali akan lebih menarik. Misalnya pameran lukisan Affandi di Gedung International Monetary Fund, Wahington D.C., yang dibuka sejak Selasa pekan lalu. Atau tari modern yang ditampilkan Sardono W. Kusumo, tari Bali yang sudah ditata kembali oleh I Wayan Dibia, tari Dayak, musik Sunda, dan banyak lagi. Festival KIAS memang sebuah proyek besar, dipersiapkan dengan teliti, dan disajikan dalam masa yang panjang. Leila S. Chudori (Washington D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini