Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Selamat datang di Akademi Neerpede! Inilah pabrik pemain sepak bola terbaik di Belgia." Itulah kalimat yang diucapkan seorang anggota staf klub Anderlecht saat mengantar Tempo ke sebuah kompleks berpagar tinggi di Jalan Neerpede, Brussels, Belgia, pada awal Mei lalu.
Kompleks akademi itu terletak di kawasan asri, tersembunyi di balik jalan tol yang bising. Di kawasan ini, reputasi Anderlecht sebagai salah satu daerah miskin di Brussels, tempat berkumpulnya imigran dan penjahat kelas teri, tak terlihat. Dari tempat latihan di balik pagar tembok inilah lahir banyak bintang besar Belgia. Tiga dari mereka bahkan akan menjadi andalan tim nasional negara itu pada Piala Eropa 2016, yakni Marouane Fellaini serta dua bersaudara Jordan dan Romelu Lukaku. Vincent Kompany, nama besar yang juga jebolan akademi ini, harus absen karena cedera.
Tulisan "RSCA" dari bahan perak terlihat mencolok di depan pos jaga. Ini singkatan nama klub tersukses di Belgia itu: Royal Sporting Club Anderlecht. Setelah pintu pagar terbuka, dari ruang tamu berdinding kaca langsung terlihat hamparan lima lapangan sepak bola. Selain punya lapangan terbuka, akademi itu memiliki ruang fitnes, ruang relaks, kolam renang, serta klinik dokter. Di sini dididik 120 pemain berusia 13-17 tahun. Pemain di bawah 13 tahun ditempatkan di RSCA Foot Academy, yang jaraknya hanya sekitar 500 meter.
Saat Tempo beranjak ke dalam kompleks, di sebuah gedung abu-abu, kesibukan kecil terlihat. Seorang wanita tua penerima tamu tengah berbicara dengan telepon. Di ruangan sebelah, dua mahasiswa magang sibuk memperbarui isi laman resmi klub. Ketika Tempo menunggu, beberapa remaja tanggung lewat sambil mengucapkan "bonjour". Secara fisik, terlihat para remaja itu berasal dari etnis berbeda karena memiliki warna kulit dan jenis rambut yang beragam.
Jean-François Lenvain, koordinator relasi sosial akademi ini, justru mewanti-wanti agar berhati-hati menggunakan kata "imigran" atau "keturunan" di tempat itu, karena dianggap mengintimidasi. "Mereka semua orang Belgia meski memiliki kulit berbeda," kata Lenvain.
Kehadiran pemain keturunan di akademi itu baru terjadi setelah tahun 2000. Abdel Jaichi, pelatih sepak bola di Brussels, mengungkapkan, sebelumnya hampir semua pemain di Anderlecht berkulit putih. Barulah pada awal 2000-an mereka mulai terbuka untuk pemain keturunan. "RSCA menyadari, mereka akan kekurangan pemain dan kehilangan pamor jika terus-menerus mencari yang pirang dan putih," ujarnya saat ditemui di Jette, Brussels.
Rachid Munasel, pengamat sepak bola Belgia, yang ditemui secara terpisah di kafenya di kawasan Anderlecht, mengingatkan bahwa klub itu juga pernah diperkuat Enzo Scifo, pemain berdarah Italia yang menjadi bagian dari generasi emas pertama Belgia, pada 1983-1987 dan 1997-2000. "Kala itu, dia harus berjuang menghalau pandangan negatif dan stereotipe terhadap imigran Italia, yang sering dicap sebagai kriminal," katanya. Setelah periode Scifo, butuh waktu bagi kelompok imigran lain untuk diterima sebagai bagian dari sepak bola Belgia. Baru pada 2000-an integrasi pemain keturunan itu terjadi. "Selain karena bakat mereka yang memang luar biasa, juga berkat upaya integrasi melalui pendidikan."
Perubahan di Anderlecht juga didorong Purple Talent Project, yang digagas Jean-François Lenvain dan Jean Kindermans. Program itu dimulai pada 2008 dengan tujuan mengembangkan bibit-bibit pemain yang andal tanpa melihat warna kulit. Menurut Lenvain, program ini lahir untuk menyikapi banyaknya pemain berbakat yang akhirnya tersia-sia karena masalah di luar sepak bola. Selain itu, lantaran kurang bisa menyeimbangkan sepak bola dan pendidikan formal, Anderlecht sempat mengalami krisis pemain berbakat pada 1990-an.
Selain menyaring lewat proses talent scouting yang ketat, klub ini merekrut pemain dengan melibatkan keluarga. Pihak akademi cenderung memilih pemain berbakat dari keluarga yang punya visi jelas tentang masa depan anaknya. "Mereka harus sadar bahwa proyek ini adalah proyek pendidikan berorientasi sosial dan bukan proyek untuk menghasilkan superstar," ujar Lenvain. Karena itu, salah satu kebijakan yang diterapkan di akademi ini adalah larangan diwawancarai media. "Kami tidak ingin mereka merasa sudah menjadi superstar hanya karena tampil di televisi atau majalah."
Untuk menjalankan proyeknya, Anderlecht bekerja sama dengan beberapa sekolah dan institusi kebudayaan. Para pemain diharuskan membagi waktunya 30 persen untuk latihan bola, 40 persen buat sekolah, dan 30 persen untuk kehidupan sosial. "Mereka harus punya waktu untuk bersosialisasi agar mereka sadar bahwa ada kehidupan lain di luar bola," kata Lenvain.
Karena itu, para pemain disebar di berbagai sekolah yang dipilih klub di kawasan Anderlecht. Mereka juga ditempatkan di asrama pilihan atau keluarga yang mau menampung mereka dan diantar pulang ke keluarga masing-masing setiap akhir pekan jika tidak ada jadwal latihan. Dengan infrastruktur dan sistem stabil seperti itu, Purple Talent Project berusaha menempa para pemain untuk melewati masa remaja yang labil.
Salah satu pemain jebolan program itu adalah Adnan Januzaj, penyerang 21 tahun yang kini memperkuat Manchester United. Dua tahun lalu, nama pemain ini sempat menjadi buah bibir, tapi kini seperti tenggelam. Performanya melorot tajam, sehingga ia pun tercoret dari tim nasional Belgia.
Lenvain tak heran terhadap kondisi itu. "Adnan itu bakat yang belum matang ditempa tapi buru-buru terikat di klub raksasa. Tapi ya apa mau dikata. Kami hanya berharap yang terbaik baginya," ujar pria 35 tahun itu. Lenvain yakin, setelah dicoret Belgia, Januzaj akan memilih bermain untuk tim nasional Kosovo, tanah leluhur ayahnya. "Kesempatannya untuk bersinar di Kosovo jauh lebih besar ketimbang di Belgia, yang berlimpah pemain berbakat."
Meski pernah enam kali memperkuat Belgia, Januzaj masih mungkin menyeberang ke tim nasional Kosovo. Maklum, federasi sepak bola negara itu baru diterima menjadi anggota Badan Sepak Bola Eropa (UEFA) dan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada Mei lalu. Negara yang baru merdeka pada 2008 itu pun masih mungkin merangkul pemain lain berdarah Kosovo yang tersebar di berbagai negara-jika mendapat persetujuan FIFA.
Di tim nasional Swiss, misalnya, ada Xherdan Shaqiri, Valon Behrami, dan Granit Xhaka, yang juga berasal dari Kosovo. Shaqiri dan Xhaka sama-sama lahir di Gnjilane, Kosovo, dan dibawa bermigrasi ke Swiss oleh orang tuanya saat masih berusia di bawah lima tahun. Di negara baru itu, ketika banjir imigran terus diprotes dan menjadi perdebatan, mereka bisa leluasa menempa diri dengan kemampuan bermain bola berkat kehadiran sistem pelatihan yang sangat terstruktur dan bisa menjangkau semua pelosok. Shaqiri dan Xhaka sama-sama dibesarkan klub FC Basel, yang sangat terbuka kepada pemain imigran.
Negara yang juga ramah terhadap keturunan imigran adalah Prancis. Klub divisi II negara itu, Le Havre, menjadi salah satu tempat lahirnya banyak pemain imigran hebat. Riyad Mahrez di antaranya. Pemain ini lahir di Prancis, tapi akhirnya memilih membela tim nasional negeri leluhurnya, Aljazair. Musim ini, ia tampil mencorong bersama Leicester City, yang menjadi juara Liga Inggris.
Di awal kariernya, Mahrez sempat mendapat tawaran dari akademi Paris Saint-Germain dan Marseille. Tapi ia memilih Le Havre. "Itu pilihan terbaik bagi saya karena klub tersebut memiliki sistem pembinaan usia muda yang sangat bagus," ujar gelandang 25 tahun ini, seperti dikutip Guardian.
Le Havre merupakan salah satu yang terbaik dari 40 akademi sepak bola di Prancis. Akademi di sana umumnya menerima 350 pemain hasil didikan 500 sekolah olahraga dan 25 pusat pelatihan lokal di seantero negeri. Melalui proses berkesinambungan, setiap tahun akademi-akademi itu akan melahirkan sekitar 70 pemain profesional.
Saat ini, Le Havre juga menyumbangkan empat alumnusnya ke tim nasional Prancis yang akan berlaga di Piala Eropa 2016. Mereka adalah Paul Pogba, Dimitri Payet, Steve Mandanda, dan Lassana Diarra. Pogba memiliki darah Guinea; Payet lahir di Kepulauan Reunion, Samudra Hindia; leluhur Mandanda berasal dari Kongo; sedangkan Diarra memiliki darah Mali. Masuknya mereka ke tim nasional mendatangkan pujian tersendiri bagi Le Havre. "Ini menjadi pengakuan atas sistem pelatihan di Havre," kata Johann Louvel, direktur pusat pelatihan klub itu.
Asmayani Kusrini (Brussels, Marseille), Nurdin Saleh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo