Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kandang Monyet. Nama itulah yang diberikan orang-orang di Gelsenkirchen, Jerman, untuk lapangan sepak bola yang terletak di Olgastrasse. Penyebabnya simpel saja: lapangan yang punya nama asli Bolzplatz itu dikelilingi pagar besi setinggi tiga meter. Mirip affenkäfig alias kandang monyet.
Namun "kandang monyet" itu tetap menjadi tempat favorit. Siang itu, awal Mei lalu, tiga monyet, eh, tiga anak terlihat sedang asyik bermain bola. Maklum, cuaca sedang bagus. Suhu berada di angka 31 derajat Celsius.
Mereka memburu bola, lalu menendangnya. Dari mulut anak-anak itu terdengar percakapan dalam bahasa Turki bercampur bahasa Jerman. Namun tak sulit memulai perbincangan dengan mereka.
Tempo segera ikut bersama ketiganya berlari dan menyepak bola. Kata sakti pun diluncurkan: Oezil! "Apakah kalian tahu di sini Mesut sering bermain bola?"
Mulut mereka pun langsung nyerocos. "Oh, tentu kami tahu," ujar anak yang paling besar, yang umurnya sekitar 12 tahun. "Dulu dia tinggal di jalan belakang lapangan ini."
Jalan yang ditunjuk anak tersebut memang tak jauh dari lapangan itu. Hanya sepelemparan batu, di arah utara terbentang jalan Bornstrasse. Tepatnya di Bornstrasse 30, yang kini bercat oranye, di sanalah Mesut Oezil tinggal bersama keluarganya.
Di kawasan ini, seperti yang jamak terlihat di negeri itu, berdiri bangunan rumah susun. Mustafa dan istrinya, Gulizar, plus keempat anak mereka, Mutlu, Mesut, Nese, dan Duygu, pernah tinggal di salah satu unit rumah susun itu.
Mustafa muda adalah pengusaha warung döner kebab, makanan khas Turki. Dia memiliki beberapa warung kebab di Gelsenkirchen. Pada waktu senggang, dia selalu bermain sepak bola. Juga anak-anaknya.
Keluarga Oezil sudah tidak tinggal lagi di rumah susun itu. Mereka diketahui tinggal beberapa kilometer dari Bornstrasse. Tapi cerita tentang Mesut Oezil di sana terbilang abadi.
Tayfun Alpman, pemilik toko minuman tak jauh dari Kandang Monyet, masih ingat betul tentang anak kecil yang kurus itu. "Dulu, sewaktu masih sekecil ini," katanya sambil menunjuk pinggangnya, "dia sering beli es di sini, dengan kakaknya."
Oezil memang kurus dan juga pendek. Namun, menurut Ralf Maraun, pelatih di klub DJK Westfalia 04, Oezil, yang menggelayut terus pada ayahnya ketika didaftarkan di sana pada 1995, merupakan anak yang istimewa.
Kecil orangnya. Namun mata Maraun terbelalak ketika melihat aksinya di lapangan. "Larinya kencang, dia memburu bola seperti elang, dan tenaganya luar biasa. Anak sekecil itu mampu menembakkan bola sejauh 25 meter! Di lapangan, Mesut sangat percaya diri."
Maraun berkisah lagi. Oezil berbeda dengan kebanyakan anak seusianya, yang biasanya lebih suka mengejar ke mana bola pergi. "Kala itu, dia sudah memperkirakan sudut mana yang tepat agar bisa menembakkan bola ke arah yang dia inginkan," ujar Maraun, yang ditemui di pinggiran Kota Dortmund, awal Mei lalu.
Kehebatan bermain seperti itulah yang kemudian membawa Oezil menjelajahi berbagai klub selepas dari Westfalia 04. Dari Teutonia Schalke-Nord, Falke Gelsenkirchen, Rot-Weiss Essen, hingga memulai karier seniornya bersama Schalke 04, lalu di Werder Bremen.
Bermain di Bremen mengantarkannya bermain di tim nasional Jerman pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Aksinya dalam kejuaraan itu memang istimewa. Meski Jerman gagal menjadi juara, Oezil mampu membawa negara itu melaju hingga babak semifinal. FIFA bahkan memasukkan namanya sebagai salah satu kandidat penerima penghargaan Bola Emas.
Di negerinya sendiri, dia disembur banyak pujian. Dia juga dianugerahi Silver Bay Laurel Leaf, penghargaan tertinggi dalam olahraga di negeri itu. Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutnya pahlawan Jerman.
Bukan pahlawan di lapangan saja, Mesut dipandang sebagai sosok yang gemilang di negeri yang dihuni banyak pendatang itu. Dia mengangkat kaum imigran, yang sering dianggap bukan bagian dari bangsa itu. Auslander atau orang asing, begitu kebanyakan orang Jerman menganggap mereka.
Sosok Oezil tak ubahnya Zinedine Zidane saat Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998. Ketika itu, Zidane, yang keturunan Aljazair, juga disebut sebagai pahlawan yang mampu mengubah pandangan orang Prancis terhadap kaum pendatang.
Imigran di negara itu, seperti di Jerman, kerap menjadi masalah. Kaum imigran di La Castellane, Marseille, tempat Zidane lahir dan tumbuh, dikenal sebagai sumber masalah.
Kawasan itu dikenal dengan tingkat kriminalitas yang tinggi dan angka pengangguran yang terus melonjak, juga menjadi sarang peredaran narkotik. Jelas, keadaan mereka terpuruk dan dianggap bukan bagian dari Prancis.
Namun, ketika Zidane mencium piala dan menangis sewaktu menyanyikan La Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis, orang-orang Prancis terperenyak. Zidane bukan lagi pendatang yang selalu dianggap remeh. Dia telah menjadi bagian dari Prancis, bahkan lebih dari itu: dia adalah pahlawan.
Pemain imigran bukan fenomena baru dalam sepak bola. Jauh sebelum sepak bola menjadi permainan yang bergelimang uang seperti sekarang, Alfredo Di Stéfano boleh dibilang salah satunya.
Ia bagian dari generasi pertama imigran Italia yang datang ke Argentina pada awal abad ke-19. Di negeri baru, Alfredo Di Stéfano Senior menikah dengan perempuan Argentina, Eulalia Laulhé Gilmont-yang juga imigran dengan campuran Prancis dan Irlandia.
Di Stéfano, yang memiliki bakat sepak bola, kemudian membela Argentina pada 1947, lalu Kolombia, dan sejak 1957 bermain di tim nasional Spanyol-setelah dia berganti kewarganegaraan.
Pemain lainnya Eusebio. Pemain Portugal ini berasal dari Mozambik, Afrika-yang merupakan koloni negeri itu. Dia mengharumkan Portugal dengan aksi kaki-kaki, juga kepala, di lapangan hijau.
Namun, secara masif, Prancis bolehlah disebut sebagai perintis tim penuh warna. Pada Piala Dunia 1998, manajer saat itu, Aimé Jacquet, mengambil pemain-pemain yang luar biasa, yang mewakili seluruh masyarakat di negeri itu: blanc, black, dan beur atau orang kulit putih, hitam, dan komunitas Arab. Hasilnya, mereka menjadi juara dunia untuk pertama kalinya.
Pada perhelatan Piala Eropa di Prancis yang akan digelar Jumat pekan ini hingga 10 Juli nanti, hampir semua tim punya pemain yang berasal dari kaum imigran. Mereka adalah anak-anak pendatang yang hijrah ke Eropa beberapa tahun atau puluhan tahun silam.
Hasilnya lihat saja di tim Jerman. Tak semua pemain berambut pirang dan berkulit putih. Selain Oezil, ada Sami Khedira, yang keturunan Tunisia, dan Emre Can, yang juga keturunan Turki. Lebih kontras lagi warna kulit Jerome Boateng-yang memiliki darah Ghana di tubuhnya.
Di negara lain juga banyak. Inggris diam-diam menampung pula pemain yang datang dari negara lain. Raheem Sterling, pemain Manchester City, merupakan pendatang dari Jamaika. Dia meneruskan tradisi sebelumnya, seperti John Barnes-legenda Liverpool yang juga datang dari Jamaika.
Tim lain lebih berwarna. Negara seperti Belgia, Swiss, dan Prancis memiliki skuad yang separuhnya diisi pemain pendatang. Paling tidak, dari hitungan sebelum daftar pemain resmi diumumkan, ada 101 pemain imigran dari 552 pemain yang berlaga pada Piala Eropa kali ini.
Empat tahun lalu, saat Piala Eropa digelar di Ukraina dan Polandia, jumlah pemain imigran hanya berada di angka 25 orang. Mereka terdiri atas 19 pemain keturunan Afrika dan 6 pemain keturunan Arab atau Turki. Di Swiss dan Austria delapan tahun lalu, jumlahnya lebih sedikit, yakni 6 orang, yang masing-masing terbagi dalam dua tim: Turki dan Jerman.
Peningkatan jumlah itu dengan mudah ditunjuk sebabnya. Pertambahan usia para imigran yang masuk ke Eropa pada awal 1990-an adalah salah satu sebabnya.
Mereka imigran yang datang dari beberapa negara Balkan, yang menyingkir dari kampung halaman akibat terjadi konflik di sana. Gelombang migrasi inilah yang kemudian melahirkan generasi pemain seperti Adnan Januzaj-sayang, dia dicoret pelatih Belgia, Marc Wilmots-dan pemain-pemain asal Albania yang bermain untuk Swiss.
Gelombang migrasi itu merupakan yang terakhir merangsek ke Eropa, di samping tentu masuknya pengungsi Suriah dan negara-negara Afrika yang meledak tahun lalu.
Sebelumnya, serbuan imigran terjadi ketika pecah dua perang dunia dan saat ekonomi membaik seusai perang. Eropa, khususnya kawasan barat, memang menjadi tujuan para imigran demi mencari tanah yang menjanjikan. Pembukaan industri dan tambang, yang membutuhkan banyak pekerja, adalah salah satu sebabnya.
Para pendatang dari kawasan Afrika Utara dan negara di sekitarnya datang menjadi buruh di sana. Mereka merupakan pendatang yang melahirkan generasi pemain seperti Zinedine Zidane dan Mesut Oezil. Mereka adalah generasi kedua atau ketiga dari gelombang kedua migrasi itu.
Munculnya para pemain imigran itu juga turut mempengaruhi permainan. Jerman, misalnya. Sami Khedira pernah berujar, "Wajah sepak bola kami menjadi lebih menarik. Di depan, ada aroma Latin. Di tengah, muncul gaya yang lebih relaks seperti para pemain dari Eropa selatan. Tapi, di belakang, gaya Jerman dengan disiplin yang ketat tetap terlihat. Kami hanya ingin bermain dengan baik. Tak penting dari mana kami berasal."
Kaum imigran menjadi sumber pemain yang bagus. Itu sebabnya, di beberapa negara Eropa, seperti Swiss, Belgia, dan Prancis, bermunculan klub sepak bola yang berisi pemain keturunan.
Di Brussels, Belgia, ada klub bernama FC Kosova Schaerbeek-yang berdiri sejak 1991. Klub ini menampung para pemain yang berasal dari Kosovo. Menurut Afrim Kas, sekretaris klub itu, awalnya klub sepak bola ini digunakan kaum pendatang dari Kosovo-Albania untuk berkumpul.
"Bagaimanapun, sebagai eksil, kami kadang rindu ingin berbincang-bincang dengan sesama orang dari kampung halaman," ujar Kas, yang menetap di Brussels sejak 1970.
"Klub ini adalah salah satu upaya kami menjaga identitas muslim Kosovo-Albania, bahkan kalau bisa diturunkan ke anak-cucu yang lahir dan besar di sini," tutur Kas.
Tak aneh, di klub ini, semua orang saling mengenal. "Dan semua orang tentu saja mengenal keluarga Abedin Januzaj dan anaknya, Adnan. Ayah dan paman Adnan sering membawa Adnan kecil kemari sekadar untuk bersilaturahmi," kata Ilir Likaj, salah satu pelatih di klub ini.
Adnan Januzaj adalah pemain sepak bola Manchester United yang sempat menarik perhatian, bahkan menjadi rebutan beberapa negara saat memutuskan bermain di tim senior. Inggris, Belgia, Albania, dan Kosovo adalah negara yang menyediakan seragam tim nasional untuknya.
Kemunculan pemain sepak bola dari kaum imigran tentu saja berkah sebenarnya. Namun, nyatanya, tak semua orang merasa senang. Roberto Mancini, pelatih Inter Milan, mengecam keputusan Antonio Conte, pelatih tim nasional Italia, yang memanggil beberapa pemain keturunan di luar Italia. Bagi bekas pelatih Manchester City itu, tim nasional Italia hanya untuk pemain Italia.
Di ranah politik lebih riuh. Ketua Partai Alternatif untuk Jerman, Alexander Gauland, yang dikenal dengan pandangannya yang anti-imigran, menyoroti masuknya Jerome Boateng ke Der Panzer-julukan tim Jerman.
Menurut Gauland, pemain yang lahir di Berlin pada 1988 itu-sebelum tembok Berlin runtuh-"tidak seperti tetangga kita" atau orang asing. Jerome Boateng memang memilih bermain untuk Jerman-hal yang berbeda dengan sang adik, Kevin-Prince, yang memilih Ghana, negeri asal mereka, sebagai tim yang dibelanya.
Dukungan untuk Jerome Boateng datang dari segala penjuru. Kevin-Prince juga memberikan dukungan dengan mengunggah sebuah foto di Instagram. Pelatih Joachim Loew pun tetap pada keputusannya. Bagi dia, sepak bola tidak pernah mengenal warna kulit para pemainnya. Satu yang jelas adalah mencetak gol dan memenangi pertandingan.
Serangan apa pun tak membuat mereka-para imigran-menyusut mentalnya. Dengar kata Xherdan Shaqiri, pemain Swiss keturunan Albania. "Saya ingin bermain di Euro dan membuat sejarah bersama Swiss. Saya sudah tak sabar lagi," ujarnya beberapa waktu lalu.
Bukan hanya Shaqiri. Semua-tak terkecuali kaum imigran-sudah ingin berpesta. Pesta bola.
Luky Setyarini (Gelsenkirchen), Asmayani Kusrini (Brussels), Irfan Budiman (ESPN, Goal, Dailymail)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo