MENPORA Abdul Gafur menurut rencana akan mengeluarkan pengumuman penting mengenai profesionalisme sebagai hadiah Lebaran. Tetapi entah mengapa sampai akhir pekan lalu pengumuman itu belum keluar juga. Sebuah sumber menyebutkan, pengumuman tentang penataan kembali profesionalisme dalam olah raga itu akan berupa Keputusan Presiden. Dalam sebuah pertemuan dengan wartawan akhir bulan puasa, Gafur menceritakan bahwa profesionalisme memang sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 1971. Tetapi, katanya, bidang ini masih memerlukan penataan kembali. Gafur memberikan isyarat bahwa penataan yang akan dia laksanakan itu menyangkut pembentukan sebuah badan yang akan berada langsung di bawah Menpora. "Badan itu satu-satunya yang berwenang mengeluarkan iin dan mengatur masalah profesionalisme di kalangan atlet. Siapa yang berhak menjadi promotor juga diatur oleh badan itu," kata Abdul Gafur. Peraturan baru itu kabarnya akan menyangkut semua cabang olah raga. Tapi yang paling banyak terlibat sampai saat ini adalah tinju, bulu tangkis, dan sepak bola. Dengan peraturan baru itu Gafur kelihatannya ingin mempertegas kewajibannya. Sebab, Badan Pembina Olah Raga Profesional (Bapopi), yang dibentuk tahun 1967, sampai sekarang masih berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda, dan Olah Raga, Departemen P & K. Belum jelas apakah pengumuman yang akan diumumkan Gafur itu merupakan perlunakan terhadap Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1971. Menurut peraturan ini, orang yang mau terjun mencari uang dari olah raga harus memenuhi syarat "pernah mewakili Indonesia dalam Olimpiade", atau Asian Games, atau SEA Games, atau pernah menjadi juara nasional - suatu syarat yang menurut beberapa pengamat justru menghambat pertumbuhan olah raga profesional. Sebab, hanya sedikit olahragawan yang bisa memenuhi syarat itu. Memang, PP 63 itu juga memberikan kesempatan seseorang menjadi profesional, asal dia pernah menjadi anggota perkumpulan organisasi olah raga amatir. Tetapi hanya dengan rekomendasi organisasi amatir itu yang bersangkutan bisa pindah ke profesional. Syarat ini pernah dipermasalahkan Komisi Tinju Indonesia yang menjadi wadah petinju profesional. Sebab, dengan begitu, petinju terlebih dulu harus memperoleh dukungan dari Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina). Kalangan tinju profesional menganggap syarat itu justru bisa menghalangi tumbuhnya olah raga profesional yang ingin dihidupkan. Dalam suasana bertikai, rekomendasi dari induk organisasi seperti itu mungkin akan seret jalannya. Daniel Bahari, pelatih tinju dari sasana Nusatenggara Boxing Camp yang pekan lalu berniat pindah ke profesional, boleh jadi akan mengalami kerepotan mengurus rekomendasi, lantaran alasannya untuk meninggalkan dunia amatir karena "merasa sakit hati dituduh yang bukan-bukan oleh pengurus Pertina". Dia - yang menemukan dan membesarkan Francisco Lisboa, Alexander Wasa, dan Johni Asadoma yang terpilih ke Olimpiade Los Angeles - merasa tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari induk organisasinya. Katanya, program latihannya dijelek-jelekkan Pertina. "Sepulang dari Olimpiade saya akan pindah ke pro!," katanya menegaskan. Dua petinju asuhannya, Francisco Lisboa dan Alexander Wasa, katanya, akan mengikuti jejaknya ke profesional. Sedangkan Johni Asadoma, yang gagal mengikuti tes Akabri, tetap amatir sambil kuliah. Perubahan terhadap PP 63 itu, sebagaimana disebutkan oleh berbagai kalangan, memang sudah saatnya. Terutama yang menyangkut sepak bola setelah munculnya Liga Utama. Sampai sekarang profesionalisme dalam sepak bola masih belum tegas. Ini terlihat dalam menentukan siapa-siapa yang pantas mewakili Indonesia dalam Piala Dunia, Olimpiade, dan pesta-pesta olah raga yang lebih kecil cakupannya. Pernah ada rencana mempersiapkan pemain dari Liga saja untuk mewakili Indonesia ke Pra-Piala Dunia. Pikiran itu temtama datang dari orang-orang Llga. Lantas untuk Asian Games dan SEA Games dipilih dari pemain amatir, atau yang disebutkan juga pemain perserikatan. Tetapi nyatanya untuk SEA Games di Singapura tahun lalu, hampir seluruh pemain justru dipilih dari pemain Liga. Ketidaktegasan untuk menyatakan pemain Liga sebagai profesional penuh rupanya berpengaruh terhadap sikap pemain. "Ketidakjelasan itu membuat atlet bersikap setengah-setengah, sehingga secara nasional sikap ini akan menurunkan prestasi," ujar Ronny Pattinasarani, 35, yang bernaung di bawah Tunas Inti. Kesamar-samaran antara profesional dan amatir dari Liga diakui Tjuk Sugiarto, sekretaris Bapopi. "Memang Liga ini profesional, tapi baru pembinaannya saja. Jadi, dia tetap amatir yang dibina secara profesional. Buktinya, pemain-pemain bola yang profesional masih dipanggil untuk memperkuat tim nasional dalam SEA Games," katanya. Tentang Bapopi sendiri, menurut Tjuk Sugiarto, bukannya tidak berfungsi selama ini. Fungsinya adalah mengayomi dan membina Komisi Tinju Indonesia, satu-satunya organisasi olah raga profesional yang berada di bawahnya. "Seandainya KTI kekurangan petinju profesional, maka Bapopi - selaku pembina - akan menanyakan kepada Pertina apakah ada petinju amatir yang bisa ditarik ke profesional," tambahnya. Bapopi, katanya, tidak bisa bertindak secara operasional, karena pekerjaan itu berada di tangan KTI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini