SEJAK kemajuan teknik, industri, dan bersama itu ekonomi raksasa dengan kemampuan raksasa, tidak ada usaha manusia yang lebih destruktif dari perang. Bahkan perang antara negara berkembang yang tidak demikian maju dalam teknik dan industri mengancam kestabilan dunia, seperti terlihat dari perang Iran-Irak atau antara negara-negara Latin. Lebih-lebih lagi bila perang meletus antara superpowers dengan kekuatan nuklir mereka. Film The Day After, yang kini sedang diputar di berbagai bioskop kita, mengungkapkan dahsyatnya akibat perang nuklir. Bukan saja tempat-tempat yang disasari senjata nuklir musnah seluruh umat manusia kembali ke zaman primitif, kalau tidak pada titik kiamat yang dikatakan akan terjadi oleh berbagai agama. Senjata nuklir sebenarnya telah mengubah sifat kemampuan alat penghancur. Betapa pun majunya teknik dan industri sampai saat dijatuhkannya bom atom, dibanding senjata nuklir kini serupa mercon belaka. Alat pemusnah itu masih sedikit banyak tergantung pada kuantitas - besarnya bom, besarnya meriam, ataupun kecepatan tembaknya. Selain itu jumlah juga penting untuk mengukur kekuatan militer: jumlah meriam, jumlah pesawat, jumlah bom .... Tetapi dengan senjata atom atau nuklir, kualitas memainkan pcran lebih penting. Dengan satu bom, tergantung pada kapasitas nuklirnya, orang dapat memusnahkan kota-kota, tentara, dan entah nanti selanjutnya. Ini menempatkan perang nuklir dan perang antar superpowers sebagai masalah bagi seluruh umat manusia di mana pun. Bagi umat manusia, pcrang nuklir seharusnya sesuatu yang mustahil, yang harus dihindarkan dan dibuang jauh-jauh kemungkinannya. Seharusnya setiap negara berkapasitas nuklir dilucuti dari senjata nuklirnya. Tapi ini tentu khayalan dalam taraf kini. * * * Sejak 1900, orang melihat bahaya pecahnya suatu perang besar dan umum di Eropa yang dapat berarti perang dunia. Sebab Eropa merupakan "pusat dunia" waktu itu: seluruh dunia dibagi dalam koloni-koloni negara-negara Eropa. Kemungkinan perang ini karena rivalitas antara negara-negara besar Eropa menghipnotis orang sebagai sesuatu yang tak terelakkan, tapi disadari sebagai malapetaka hal yang hampir sama dengan zaman kini. Bismarck, negarawan yang menyatukan Jerman ke dalam satu kekaisaran di bawah Raja Prusia, dan yang mendominasi politik Jerman lebih dari tiga dasawarsa sampai permulaan 1900-an, mengatakan bahwa suatu peristiwa yang bodoh di Balkan akan menyalakan perang dunia. Dan sesuatu yang bodoh itu terjadi pada 28 Juni 1914, di Serajevo - Yugoslavia kini. Kekaisaran Austria mengadakan politik ekspansi di daerah Balkan. Sasarannya adalah Serbia (Yugoslavia), bangsa Slav yang oleh Rusia dirasakan sebagai anak lindungannya - juga karena Rusia ingin menanamkan pengaruhnya di Balkan, sejak eskpansinya ke Timur dihentikan Jepang. Pada 28 Juni 1914 pangeran mahkota Austria dan istrinya mengadakan kunjungan ke Serajevo, daerah Slav yang dianeksasikan Austria. Di sana seorang nasionalis Serbia melepaskan tembakan pistol kepada Archduke Franz Ferdinand itu, yang tewas bersama istrinya. Pangeran mahkota ini sebenarnya tidak populer. Istrinya, yang tidak berdarah raja dan hanya diperbolehkan menikah dengannya setelah dinyatakan bahwa keturunan dari perkawinan itu tidak berhak tahta, tidak menambah popularitasnya. Dilihat dari sudut dinasti Austria dan kepentingan keluarga Raja, pembunuhan ini tidak merupakan peristiwa penting. Tapi para negarawan Austria memakainya untuk merealisasikan ekspansinya ke Serbia - yang dituduh berada di belakang pembunuhan itu. Ultimatum dengan tuntutan-tuntutan dikirimkan Austria ke Serbia, yang pada akhir Juli 1914 hampir menerima seluruhnya. Kendati demikian, Austria tetap memasuki wilayah Serbia dan mengebom ibu kotanya. Peristiwa ini menyebabkan mobilisasi negara-negara besar Eropa, dan persiapan mesin-mesin peperangan untuk konfrontasi ini tidak dapat dihentikan - dengan akibat perang. Dominasi mesin peperangan tiap-tiap negara Eropa terhadap kemungkinan terhindarnya Eropa dari perang umum itu, yang menjadikan meletusnya Perang Dunia I (1914-1918), merupakan contoh kepentingan dan keunggulan militer atas akal sehat. Dan model "peristiwa bodoh" di Balkan ini menjadi demikian klasik, sehingga semua pengarang futuris mengenai pecahnya Perang Dunia III - seperti Sir John Hacket akhir-akhir ini, dan berbagai orang sebelumnya - melihat suatu "peristiwa Balkan" sebagai yang akan mengawali Perang Dunia III. "Peristiwa bodoh" Sarajevo itu konon juga mengilhami Presiden J.F. Kennedy untuk berhati-hati menghadapi Rusia dalam krisis Kuba, dan menghasilkan hubungan-hubungan telepon langsung antara presiden Amerika dan penguasa Soviet serta para pemimpin dunia lain. Untuk mengerti bagaimana ultimatum Austria dapat menyalakan perang umum di Eropa, kita harus melihat persiapan-persiapan pEperangan dan konflik-konflik antarnegara. * * * Sejak 1900 ada dua grup negara yang bErtentangan di Eropa. Di satu pihak terdapat Kekaisaran Jerman dan Austria. Jerman menjadi negara adikuasa melalui perang-perang kilat yang dimenangkannya, seperti terhadap Austria dan Prancis di bagian kedua abad ke-19. Sejak itu negara tersebut bersikap sebagai jagoan besar: melalui diplomasi tantangan menimbulkan krisis berkali-kali, khususnya di bawah pemerintahan Wilhelm II. Politik agresif militeristis ini menimbulkan kekhawatiran. Apalagi sudah sejak 1900 Jerman menantang Inggris dengan membangun angkatan laut yang besar. Di lain pihak terdapat persekutuan Prancis-Rusia. Rusia menghadapi Jerman yang berpolitik Drang nach Osten (ekspansi ke Timur) guna mencari daerah permukiman bagi bangsa Jerman yang padat dan politik ekspansi Austria di Balkan, di daerah-daerah Slav yang berada di bawah Kekaisaran Turki yang sedang mengalami desintegrasi politik. Prancis sendiri masih ingat kekalahannya dalam tahun 1870 dan dianeksasikannya dua provinsinya oleh Jerman, yakni Alsace-Lotharingia. Prancis mencari revanche, tapi tidak berani menghadapi Jerman sendirian. Persekutuan Prancis-Rusia itu sebenarnya kontradiksi besar: kedua negara berada di dua pola politik dan ideologi yang bertentangan. Prancis adalah hasil Revolusi Prancis yang menumbangkan ide dan struktur kerajaan absolut (mutlak) tahun 1789, sedangkan Rusia negara absolut terakhir. Hanya kepentingan politik dan ekonomi menjadikan keduanya sekutu: Prancis yang makmur meminjamkan uang yang banyak kepada Rusia dan mengadakan investasi - baik dari negara maupun swasta - yang besar sekali di Rusia yang berada di bawah satu rezim yang tidak efisien dan yang paling tidak modern. Sejak 1905, Inggris mendekati persekutuan Prancis-Rusia dalam satu "pengertian yang hangat" (entente cordial). Tapi sikapnya paling tidak tegas di Eropa dan akan ditentukan oleh perkembangan perkembangan pada saat pecahnya perang. Eropa pada saat menjelang Perang Dunia I mulai sadar apa arti peperangan antarnegara industri. Norman Angel, pengarang Inggris, menulis buku bahwa tidak mungkin ada perang antara negara-negara Eropa - karena lembaga-lembaga finansialnya demikian erat terjalin, hubungan-hubungan ekonomi dan perdagangannya demikian erat, dan seterusnya. Kalaupun perang pecah di Eropa, hanya akan singkat sekali - hanya beberapa bulan, sebab sistem ekonomi tidak akan dapat bertahan lebih lama. Para jenderal juga percaya akan ramalan ini. Jerman, misalnya, ketika perang pecah hanya memiliki persediaan amunisi untuk perang enam bulan, dan hanya penemuan proses pembuatan mesiu yang baru dan cepat yang menolong mereka sehingga dapat berperang selama empat tahun. Hanya di Inggris ada satu dua jenderal yang meramalkan peperangan bertahun-tahun dan digerakkannya jutaan tentara, termasuk tentara Inggris, di daratan Eropa - tetapi tidak ada orang percaya, termasuk para politisi, kepada Jenderal Halg itu. Pemikiran perang singkat ini akhirnya sangat mempengaruhi perkembangan pecahnya Perang Dunia I. Sejak persekutuan Prancis-Rusia, Jerman insaf harus berperang di dua front: menghadapi Prancis di barat dan Rusia di timur. Rusia merupakan negara terbesar dalam arti teritori yang luas dengan penduduk paling padat, namun paling terkebelakang di bidang industri. Satu-satunya yang ditakuti adalah "mesin penggiling" Rusia: massa jutaan serdadu yang bisa menelan tentara Jerman yang dalam persenjataan lebih unggul itu. Dalam perhitungan Jerman dan umum di Eropa, mobilisasi jutaan serdadu Rusia ini baru akan tercapai setelah paling sedikit tiga atau empat bulan, dibanding negara-negara Eropa yang dapat memobilisir dalam waktu dua minggu. Rencana militer Jerman lalu mendasarkan diri atas kemenangan mutlak di front barat terhadap Prancis, dan bila perlu terhadap Inggris atau sekutu Prancis lain. Tentara Jerman harus dapat mengepung tentara musuh di barat - mengalahkannya dan menduduki Paris, jantung Prancis. Baru Rusia akan dihadapi. Untuk melaksanakan rencana ini diperlukan kira-kira sejuta tentara Jerman. Tentara yang demikian besar itu harus dikerahkan ke Prancis melalui Belgia, yang secara tradisional netral namun selalu juga menjadi medan pertempuran Eropa. Tentara Prancis, yang tidak menduga bahwa Jerman akan datang melalui Belgia, dapat dikepung dari barat. Dalam perhitungan Jerman, Belgia tidak akan mengadakan perlawanan - dan invasi Jerman ke negara netral ini tidak akan mengakibatkan apa-apa. Faktor waktu menjadi perhitungan para jenderal Jerman: pengiriman tentara ke mEdan-medan, serangan dan lain-lain harus dilakukan secara kilat. Para jenderal berlatih kecepatan dan efisiensi pukulan militer pertama melalui mainan kereta api listrik yang merupakan miniatur sistem kereta api Jerman dan Eropa yang harus mengangkut tentara dan perbekalan militer. Akhirnya para jenderal Jerman menunggu Der Tag (Saat) ketika mereka dapat membuktikan keunggulan persiapan militer dan sistem kereta api mereka. * * * Dan saat itu akhirnya terjadi pada 1 Agustus 1914. Agak sembrono, Jerman memberi kebebasan kepada sekutunya, Austria, untuk bertindak semaunya terhadap Serbia, dengan janji dukungan. Pada saat Austria membom Belgrado, Rusia mengumumkan mobilisasi. Jerman segera mengirimkan ultimatum ke Rusia untuk menghentikan mobilisasi tersebut, atau menghadapi keadaan perang dengan Jerman-Austria. Pada 1 Agustus ultimatum ini berakhir, dan kedua negara telah bermusuhan. Pada saat yang sama Jerman mengirimkan ultimatum kcpada Prancis untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan benteng-benteng pertahanannya kepada Jerman selama perang Jerman-Rusia. Prancis, tidak dapat menerima tuntutan Jerman yang akan menyebabkannya menyerah sebelum melepaskan tembakan, mengatakan akan bertindak sesuai dengan kepentingannya dan perkembangan selanjutnya, sambil memobilisasi. Prancis mengharapkan tembakan pertama kepadanya dari Jerman. Lebih-lebih kalau Jerman melakukannya dengan menyerbu negara-negara kecil seperti Luxemburg dan Belgia, untuk dapat menyeret Inggris ke pihaknya. Memang hal tersebut dilakukan Jerman, sesuai dengan rencana militernya. Segala usaha diplomasi, khususnya dari pihak negara-negara Eropa yang tidak berkepentingan langsung pada perang umum, seperti Inggris, pun Amerika Serikat, gagal. Mereka mencoba mengadakan konperensi internasional mengenai masalah antara Austria dan Serbia, mencoba mengisolir peperangan di timur saja antara Austria, Rusia, dan Jerman, namun juga gagal. Mesin-mesin militer dan rencana-rencana mengalahkan semua akal sehat. Perang umum terjadi. Inggris, setelah netralitas Belgia dilanggar Jerman, menyatakan dalam keadaan perang dengan Jerman-Austria dan berpihak pada Prancis-Rusia. Serangan Jerman melalui Belgia, untuk menghancurkan tentara Prancis dan menduduki Paris, gagal. Perang umum Eropa ini berkepanjangan, karena perang parit (trench warfare), pun pemakaian gas beracun dan tank, tidak dapat menyingkatnya secara berarti. Untuk memecahkan blokade armada Inggris terhadap Jerman, negara ini mengumumkan perang total lautan dengan kapal-kapal selamnya yang menenggelamkan kapal netral mana pun. Maka dua tahun setelah pecahnya perang umum di Eropa, Amerika Serikat campur tangan di pihak Inggris-Prancis-Rusia dan lain-lain. Blokade Sekutu itu menyebabkan Jerman menyerah - biarpun masih menduduki daerah-daerah Prancis-Belgia dan telah mengadakan perdamaian dengan Rusia - yang revolusi Bolsheviknya telah menumbangkan rezim Czar. Di Jerman dan Austria sendiri terjadi gerakan-gerakan revolusioner yang menghasilkan pemerintahan republik. Dunia Eropa, rezim lama sebelum 1914, runtuh - dan keunggulannya diambil alih Amerika Serikat. Di koloni-koloni Eropa gerakan nasionalis meningkat sejak Perang Dunia I ini, untuk mencapai kemerdekaan setelah Perang Dunia II (1939-1945). * * * Pelajaran yang kita ingin ambil adalah: satu dunia yang demikian maju dalam industri, teknologi dan rasionalisme seperti Eropa menjelang Perang Dunia I, yang dalam struktur politik sosialnya demikian mapan, mampu pula mengikuti satu jalur bunuh diri dengan perang umum karena keharusan dan keamanan militer. Apa kita kini juga akan menghadapi The Day After tanpa dapat berbuat apa-apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini