Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Neymar Menggiring Gerakan Pisang

Gerakan #weareallmonkeys yang digulirkan bintang Brasil itu menjadi perlawanan paling masif terhadap rasisme di sepak bola. Namun efektivitasnya masih diragukan.

12 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bus berisi pemain Barcelona itu melaju pelan meninggalkan Estadi Cornellà-El Prat, stadion milik klub sepak bola Espanyol, akhir Maret lalu. Di dalamnya hampir semua pemain terlihat gembira karena mereka baru saja menekuk tuan rumah 1-0.

Hampir semua? Ya, karena ternyata tidak semua pemain terlihat riang saat itu. Adalah Neymar da Silva Santos Júnior dan Dani Alves yang memilih berdiam diri bahkan dengan roman muka sedikit ditekuk. Mereka memang baru saja mengalami hal tak enak saat bertanding tadi. "Saya tidak tahu kenapa kejadian seperti ini selalu berulang," ujar Alves.

Kejadian yang dia maksud adalah kelakuan sejumlah pendukung Espanyol yang menirukan suara mirip kera setiap kali ia atau Neymar menyentuh bola. Bukan hanya itu, kedua pemain asal Brasil tersebut juga dilempari kulit pisang. "Saya sudah 11 tahun bermain di sini (Spanyol) dan hal seperti ini sepertinya sudah menjadi sesuatu yang normal," kata Alves.

Neymar hanya diam. Tapi pemain yang pada awal musim ini baru bergabung dengan Barcelona tersebut tahu persis perlakuan rasis macam itu bukan baru pertama mereka alami. Dia pertama kali menerima penghinaan itu saat bertandang ke Santiago Bernabeu melawan Real Madrid pada Januari lalu. Saat itu, dari salah satu sisi tribun, muncul suara mirip kera setiap kali ia mendapat bola. Setelah pertama, lalu ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya.

"Ini tidak boleh dibiarkan," akhirnya Neymar memecahkan kebisuannya sendiri. Rupanya, dia sudah sampai di batas kesabaran. Dan bintang Brasil ini tak ingin menyimpan kekesalannya sendirian. Karena itu, begitu bus sampai di Camp Nou, markas Barcelona, ia langsung menemui ayahnya. Ia juga mengontak Guga Ketzer, Wakil Presiden Loducca, perusahaan periklanan yang bermitra dengannya. Lalu ia curhat!

Ketzer punya pandangan menarik. "Jika kamu marah, mereka menang karena berhasil memancing emosimu," katanya dia menasihati. "Cara terbaik merespons rasisme adalah melakukan tindakan positif."

Mereka pun berdiskusi. Lalu disusunlah sebuah rencana. Kelak, jika ada yang melempar pisang lagi, Neymar tidak boleh berang. Sebaliknya, ia malah harus memakannya. Agar aksi itu bergaung, Neymar harus memastikan ada kamera televisi yang merekam.

Mereka berharap momen itu nantinya akan menjadi kickoff untuk menggulirkan kampanye antirasisme di Spanyol dengan cara yang berbeda. Tapi Neymar tak kunjung mendapat kesempatan itu. Ia mengalami cedera saat melawan Real Madrid dalam final Copa del Rey, pertengahan April lalu, dan mesti absen empat pekan.

Neymar yang merencanakan, ternyata Dani Alves yang justru berhasil mewujudkannnya.

Momen itu datang dua pekan kemudian, ketika Barcelona menghadapi Villarreal di Camp El Madrigal. Saat itu, pertandingan memasuki menit ke-75 ketika sebuah pisang mendarat tepat di depan Dani Alves.

Tanpa berpikir panjang, Alves memungut pisang tersebut, mengupas, lalu melahapnya. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi tak luput dari mata kamera. Maka jutaan pasang mata menjadi saksi tingkah Alves itu lewat layar televisi. Juga Neymar yang kala itu menonton laga dari televisi karena ia masih cedera. Ia tersenyum lebar. Dan ia pikir saat yang ditunggunya telah datang.

Neymar langsung memotret dirinya dalam pose memegang pisang, lalu mengunggahnya ke Twitter dan Instagram. Di bawah foto tersebut, ia memberi tagar #weareallmonkeys. "Memalukan, kejadian rasis seperti ini masih terus terjadi. Ini saatnya kami bersuara dan inilah bentuk dukungan saya untuk tindakan Alves," tulis Neymar di akun Twitternya.

Neymar bagai menabuh suara perlawanan itu menjadi lebih keras. Cuitan tersebut langsung disebarkan 100 ribu pendukung. Bintang sepak bola dunia lain pun mengikuti aksinya. Sergio Aguero, Mario Balotelli, Oscar, David Luis, dan lain-lain mengunggah foto mereka yang tengah memakan pisang.

"Ide semula memang Neymar yang akan memakan pisang, tapi akhirnya Alves yang berkesempatan melakukannya," kata Ketzer. "Tidak jadi masalah karena efeknya sama saja."

Gerakan #weareallmonkeys memang tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut El Pais—koran berbahasa Spanyol—ini adalah gerakan perlawanan terhadap rasisme paling masif yang pernah terjadi dalam sepak bola. Ini tak lepas dari sentuhan ajaib media sosial yang dengan cepat menularkannya ke pojok-pojok jagat.

Tapi apakah kampanye ini akan memiliki efek di dunia nyata? Ava Vidal, aktivis pergerakan antirasisme, meragukannya. Ia menulis di Guardian bahwa aksi Neymar dan sejawatnya itu hanya tren. "Gerakan pisang," kata dia, tidak akan mengikis rasisme dari sepak bola. Ia menunjuk foto Luis Suarez, pemain Liverpool yang turut memajang foto dirinya sedang memegang pisang.

"Dia pernah menyebut Patrice Evra dengan sebutan 'Negro' dan federasi menskorsnya delapan pertandingan. Tapi dia tidak pernah meminta maaf," tulis Vidal. "Dia selalu mengelak dengan mengatakan tuduhan itu tidak memiliki bukti!"

Andy West, analis sepak bola yang menetap di Barcelona, berpendapat serupa. Rasisme, kata dia, haya bisa diubah lewat pendidikan sebagai ujung tombak. "Sepak bola hanya pendukung."

Analis sepak bola lainnya, John Carlin, menilai gerakan pisang yang digulirkan Neymar bisa efektif hanya jika Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) reaktif. "Persoalannya, negeri ini masih seperti di zaman batu dalam memerangi rasisme."

Memang ada contoh untuk itu. Pada 2004, pelatih tim nasional Spanyol, Luis Aragones, menyebut Thierry Henry "black shit". Kasus ini membuat berang media Inggris. Tapi RFEF tak bereaksi. Tak ada sanksi apa pun untuk Aragones.

Chief Executive Badan Sepak Bola Anti-Diskriminasi di Eropa (FARE) Piara Powar mengatakan, meski efektivitas gerakan #weareallmonkeys masih diragukan, setidaknya gerakan ini kembali menyadarkan publik betapa rasisme masih mengakar di sepak bola. "Persoalan ini sudah endemik di Spanyol," katanya.

Gerakan masif ini, Powar melanjutkan, memaksa semua stakeholder sepak bola di Eropa bertemu pada akhir bulan ini untuk membahas penanganan terhadap rasisme. "Kami akan mencari cara agar aksi antirasisme lebih terkoordinasi."

Di Spanyol, operator La Liga (LFP) ternyata juga merespons dengan menilik ulang peraturan tentang pencegahan dan sanksi terhadap pelaku rasisme. "Akan ada pelatihan pencegahan rasisme untuk semua klub La Liga," demikian pernyataan LFP.

LFP tak menyebutkan apakah akan menaikkan sanksi untuk para pelaku rasisme, termasuk terhadap klub yang pendukungnya berlaku rasis. Selama ini sanksi untuk mereka dinilai kelewat kecil. Villarreal, misalnya, hanya didenda 4.000 euro.

Soal sanksi sebenarnya mereka bisa meniru National Basketball Association (NBA), penyelenggara liga bola basket pria di Amerika Serikat. NBA baru saja menjatuhkan sanksi berat kepada Donald Sterling, bos Los Angeles Clippers, yang dituduh rasis.

Heboh rasisme NBA ini terjadi dua hari sebelum Alves dilempari pisang. Lewat sebuah rekaman percakapan antara Donald Sterling dan pacarnya yang muncul di situs TMZ Sport, diketahui bahwa Sterling telah berlaku rasis. Dia meminta pacarnya, Stiviano, tak berfoto bersama pemain berkulit hitam. "Kamu bebas melakukan apa pun kecuali memasang dia di Instagram dan mengajaknya ke pertandingan saya," kata Sterling. Dia yang dimaksud Sterling adalah Magic Johnson.

Bocoran percakapan ini langsung membuat berang Komisioner NBA Adam Silver. Ia lalu melarang Sterling menghadiri pertandingan NBA dan mendendanya US$ 2,5 juta. Ini adalah denda maksimal dalam peraturan NBA. Sterling juga dilarang terlibat lagi dalam bisnis NBA. Silver tak peduli meski Sterling adalah dedengkot NBA dan sudah 33 tahun memegang LA Clippers. "Tak ada toleransi terhadap rasisme di NBA!" ujarnya.

Neymar ternyata tak hanya pandai menggocek di lapangan hijau. Ia juga lihai memainkan isu perlawanan terhadap rasisme dari luar arena. Ia tentu berharap bisa mencetak gol dalam permainan ini.

Dwi Riyanto Agustiar (Football Espana, Marca, Guardian, Sky Sports, ESPN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus