Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Oh...Tuhan Dia Paling Cepat

Joan Benoit, seorang sarjana sejarah dan hukum lingkungan (18 th), memecahkan rekor dalam maraton di boston. Berhasil melampui rekor dunia atas nama pelari selandia baru, Allisonroe.

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOSTON Marathon bukan hanya sekadar gelanggang bersejarah. Arena perlombaan taya tahan yang berumur 87 tahun itu ternyata uga menghasilkan rekor fantastis buat kaum wanita, ketika Joan Benoit, 18 April lalu, memotong garis finish dalam 2 jam 22 menit 42 detik. Ia berhasil memperpendek rekor dunia 2 :25 :29 atas nama pelari Selandia Baru, Allison Roe yang diciptakan satu setengah tahun lalu di New York. Pemecahan rekor oleh Benoit yang hampir tiga menit itu mungkin sulit ditandingi. Apalagi kalau diingat lintasan Boston yang berbu it-buht. Sampai-sampai ada tempat yang dijuluki break heart hid (bukit jantung pecah). "Dia menggasak lomba marathon untuk jangka waktu 5 tahun," ucap Fred Lebow, penyelenggara lomba tahunan New York City Marathon. Kata-kata Lebow, cukong yang jenggotan itu menggambarkan betapa taamnya waktu yang dipatok Benoit. Rupanya dia memperhitungkan waktu setajam Benoit baru akan terjadi dalam 5 perlombaan mendatang. Sulitnya perbaikan dengan waktu setajam itu, terlihat dari Allison Roe sendiri yang hanya berhasil mempercepat 13 detik dari rekor dunia yang waktu itu dipegang Grete Waitz. Dan ketika Waitz ingin merebut rekor itu kembali di bawah cucuran keringat dan air hujan di Marathon London, 10 April, dia ternyata hanya mampu menyamainya saja. Dari Benoit bukan hanya percepatan 3 menit itu yang mengagumkan. Kemenangannya atas pelari-pelari putri yang tampil, benar-benar meyakinkan. Pelari Kanada, Jacqueline Garreau yang pernah juara Boston, dibikinnya keteter sejauh 7 menit dan hanya bisa menduduki tempat kedua. Sementara dari Greg Meyer (pelari AS) yang menjuarai kelompok putra, Benoit memang tertinggal sekitar 13 menit. Begitu lepas dari garis start bersama ribuan pelari putra dan putri dari berbagai negara, Benoit langsung tancap gas. Satusatunya pelari yang membuntutinya adalah Kevin Ryan, pelari putra dari Selandia Baru yang muncul dalam lomba sambil meliput pertarungan Pelari putri untuk sebuah stasiun tv lokal. "Pada tahapan pertama perlombaan dia melesat," kata Ryan. dan begitu penonton yang berie)al memberikan dukungan berupa sorak sorai yang riuh, Benoit bertambah laju pula. Ketika melewati jarak 8 mil, Benoit yang tidak pernah memakai jam tangan kalau sedang berlomba itu, bertanya kepada Kevin Ryan mengenai kecepatannya. "Anda lari dengan kecepatan 5 menit 9 detik untuk tiap satu mil," jawab Ryan. "Oh, Tuhanku. . . " dan Benoit berlayar terus dengan kecepatan itu menuju finish. Menurut ceritanya, inilah untuk pertama kali Benoit mau pusing dengan orang yang memegang jam di sebelahnya. Karena menurut dia, pelari yang baik tidak akan peduli dengan waktu yang sudah dia tempuh. Tak mau tahu dengan patok-patok jarak yang dipasang di pinggir lintasan. "Semua yang ada di sekitar Anda harus dilupakan. Tak peduli itu penonton, patok jarak maupun pos minum," katanya. Benoit, pelatih lari lintas alam dari Universitas Boston itu memang berhati besi. Tiga hari menjelang Tahun Baru 1982 dia tergeletak di rumah sakit. Dari kedua tumitnya berhasil dikeluarkan gumpalan air. Sebuah torehan pisau operasi terpaksa dilakukan untuk membetulkan tulang tumitnya yang retak. Dia pulang dari rumah sakit dengan gips membalut kakinya. Tetapi semangat pelari yang sebelum menumbangkan rekor baru memiliki catatan waktu 2:26:11 itu tidak kehabisan api. Dua hari kemudian dia sudah nangkring di sadal argocycle. Sebulan kemudian dia memulihkan daya tahannya dengan berenang. Bulan berikutnya dia sudah ngeloyor di jalanan. Berlatih sampai 100 km per minggu. Rekor dunia bukan cita-citanya yang penghabisan. Dia ingin tampil sebagai juara dalam Olympiade. "Itu adalah mimpi semua orang, saya kira. Bayangkanlah, ketika masih kecil, kalau kita sedang berlari di jalan kita membayangkan diri kita sedang berlari di Olympiade," kata pelari cantik, berambut pendek dengan leher jenjang itu. Benoit, 25 tahun, yang memegang gelar sarJana sejarah dan hukum lingkungan itu tidak bercita-cita menjadi pelari top sampai ajal menghadang. Kalau memang sudah tak mampu lagi, dia ingin meninggalkan medan lomba. Berkonsentrasi melatih pelari muda. Kalau mungkin dia ingin hidup menyendiri di sebuah kota pantai yang sepi. Dan membuka toko koleksi perangko. Satu kegemaran yang sudah dia mulai sejak kelas 5 sekolah dasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus