SEBAGAIMANA umumnya dosen angkatan lama, Pak Hasa lemah-lembut
dalam segala hal. Ketika berbicara, suaranya tidak begitu keras,
nadanya datar. Kalau mengemukakan sesuatu tidak menggebu-gebu,
melainkan teratur dan sistematis. Istilah yang digunakan sudah
baku dan dipahami sama oleh para pendengarnya, karena jelas yang
dimaksud. Tidak banyak memerlukan ilustrasi deskriptif, apalagi
yang bersifat gambaran fisik. Prinsip-prinsip dan kategori-kategori
lebih penting dari deskripsinya sendiri.
Ia terlibat dalam kegiatan 'turun ke bawah' yang diselenggarakan
perguruan tinggi tempat ia bekerja - sudah tentu dalam kerjasama
dengan lembaga-lembaga lain. Pekerjaannya memperkenalkan
teknologi yang sederhana dan lebih sesuai dengan kebutuhan
seharihari rakyat pedesaan, seperti juga banyak 'aktivis
pedesaan' yang berkiprah di bawah. Namun ternyata ia melakukan
sesuatu yang besar sekali artinya bagi kita semua, tidak seperti
yang dilakukan teman-teman sesama aktivis.
Yang dilakukannya adalah menyiapkan 'lahan kemasyarakatan' bagi
teknologi yang ditawarkannya - berupa penumbuhan kesadaran dan
kebutuhan akan teknologi tersebut. Itu berarti menciptakan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang akan mengembangkan teknologi
yang bersangkutan.
"Kami mencoba memperkenalkan bio-mass sebagai bahan bakar
pengganti kayu, untuk keperluan dapur. Ternyata tidak mudah.
Karena ibu rumah tangga yang menjadi sasaran kami itu bukan
hanya seorang individu. Ia juga anggota keluarga, dan setelah
itu warga masyarakat. Untuk membuat ia menerima bio-mass,
keluarga dan masyarakatnya harus dibuat menerimanya. Dan itu
berarti kami harus mendorong munculnya sarana kelembagaan tempat
memutuskan sikap, menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan.
Juga mengelola penggunaan teknologi yang dijajakan itu."
Bekerja sama dengan para pamong desa setempat, melalui izin
pemerintah daerah, Pak Hasan dan hwan-kawan berhasil merintis
sejumlah proyek penumbuhan kebutuhan dan keinginan tersebut.
Sebuah 'proyek penawaran teknologi' yang dimulai di sebuah desa
dengan segera berhasil melipatgandakan diri, menjadi kegiatan
yang mencakup dua puluh desa lain dalam waktu cepat.
Kiai Madun lain lagi. Ia 'menawarkan' pesantren asuhannya kepada
masyarakat, dengan melakukan sesuatu yang fundamental
bagi pesantrennya: menjadikan lembaga pendidikan yang
dikelolanya 'pusat pengembangan masyarakat'.
Para santri asuhannya berlatih cara-cara mendorong masyarakat
memulai kegiatan ekonomi secara pra-kooperatif (dengan merk
'Usaha Bersama') dan kemudian kooperatif. Juga membawa teknologi
baru yang sederhana. Memperkenalkan kesadaran bergizi dan KB.
Sibuk dengan urusan pelestarian lingkungan. Walhasil menampilkan
pesantren sebagai salah satu 'pangkalan' mengubah wajah hidup
masyarakat secara total. Menawarkan agama sebagai 'mendorong
motivasi keagamaan bagi pembangunan'.
Ada pos obat di lingkungan pesantrennya. Ada kara kitri dan
apotek hidup untuk masyarakat. Ada latihan keterampilan 'yang
sudah disempurnakan'. Berbagai kegiatan teknis untuk memperbaiki
pola kerja dimulai, baik di bidang pertanian dan kerajinan
tangan maupun kesehatan masyarakat.
Sementara itu Isha adalah seorang intelektual kelas berat.
Jidatnya lebar, menerbitkan kesan banyak berpikir. Kalau
berbicara senang istilah asing, biar dikira orang pandai. Banyak
teori dilontarkannya. Namun ia jauh lebih baik dari sejumlah
intelektual lain, yang senang hanya dengan retorika melambung
dan pikiran ideal, tanpa mampu menerjemahkannya ke dalam
kegiatan operasional yang berangkai.
Yang menarik adalah komentarnya tentang apa yang dilakukan Pak
Hasan dan Kiai Madun tadi. Pak Hasan, kaunya, memakai pendekatan
'tawaran umum dalam pembangunan di pedesaan. Jalurnya adalah
kebutuhan umum masyarakat sendiri. Kebutuhan itu disentuh,
melalui kelembagaan biasa seperti arisan paguyuban RT/RK dan
sebagainya. Sebaliknya Kiai Madun. Ia mengajak kepada hal yang
sama melalui keunikan, kekhususan pesantren.
Pada pendekatan umum -itu ada kelebihan penting. Yakni mudahnya
replikasi atau penggandaan. Sekali gagasan dasarnya diterima
baik, seterusnya jalan sudah licin, kata intelektual kota dengan
spesialisasi urusan pedesaan itu. Namun sering terjadi, justru
penerimaan gagasan dasar itu yang sangat lama berlangsung.
Sebaliknya pendekatan khusus untuk menawarkan pembangunan
melalui paham, ideologi, agama atau lembaga tertentu yang
memiliki keunikan, sangat cepat diterima. Yaitu kalau
pimpinannya sudah 'tersentuh'.
Tokoh seperti Isha ini ternyata mampu memaparkan jalinan dua
pendekatan yang komplementer dan sama pentingnya, dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Banyakkah di antara kita yang memahami keadaan secara terpadu
seperti si Isha?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini