NASIB Liga Utama (d/h Galatama) tak bakal lagi ditentukan lewat
berbagai surat keputusan. Pimpinan PSSI sudab memberikan hak
otonomi kepada organisasi yang menghimpun klub sepakbol.
non-amatir itu. "Perinciannya masih di bicarakan agar tidak
bertentangan dengan anggaran dasar dan anggaran rumahtangga
PSSI," kata Ketua Harian Soeparjo Pontjowinoto, pekan lalu.
Panitia perumus terdiri dari pimpinan PSSI dan pengurus Liga
Utama.
Otonomi bagaimana yang dikehendaki Liga Utama? "Otonomi yang
dituntut oleh era persepakbolaan," ujar Dimas Wahab, anggota
dewan pimpinan Liga Utama. Antara lain: hak penuh untuk mengatur
jadwal kompetisi sendiri. Periode lalu, kompetisi Galatama
sering diubah oleh pimpinan PSSI dengan alasan pelatnas. Liga
Utama tak ingin hal itu terulang lagi.
Untuk mengatur nasib sendiri, Liga Utama telah menyiapkan
anggaran dasar dan anggaran rumahtangga sendiri. Yang menarik
dari anggaran rumahtangga itu adalah dicantumkannya secara
terang-terangan adanya status profesional bagi pemain yang
tergabung dalam Liga Utama. Selama ini ada semacam ketakutan
terhadap kata tersebut. "Padahal dalam prakteknya mereka sudah
profesional, " kata T.D. Pardede, boss Klub Pardedetex. Dalam
Galatama lalu pemain yang sudah termasuk kategori profesional
adalah Jairo asal Brazil yang bermain untuk Pardedetex.
Standar profesional dalam Liga Utama ialah pemain yang mendapat
imbalan di atas Rp 500.000 per bulan. Bagi yang menginginkan
status non-amatir, agar bisa memperkuat tim nasional untuk
pertandingan seperti SEA Games atau Asian Games, imbalannya
bergerak dari Rp 100.000 sampai 500.000. Dalam satu klub yang
jumlah pemainnya 22 orang minimal harus ada 15 pemain yang
berstatus prof maupun non-amatir. Sisanya bisa tetap amatir
--mereka ini tidak dikontrak dan hanya menerima uang transpor
serta perlengkapan saja. Sedang yang dilaporkan pada Federasi
Sepakbola Internasional (FIFA) cuma mereka yang berstatus prof
tulen.
Tuntutan agar Liga Utama menjadi profesional penuh sebetulnya
sudah lama terdengar. Alexander Wenas, boss NIAC Mitra,
misalnya, optimistis status baru itu akan membuka pintu untuk
mendapatkan penghasilan tambahan bagi klub. "Dengan prof akan
terbuka kesempatan memasang pesan sponsor di kaus pemain,"
katanya. Tiap bulan NIAC Mitra mengeluarkan biaya rutin sebesar
Rp 10 juta.
Pengeluaran rutin itu selama ini hanya sebagian kecil tertutup
oleh penjualan karcis. Gaji seorang pemain di NIAC Mitra
sekarang sekitar Rp 250.000 per bulan.
Status profesional tulen bagi Liga Utama tak cuma menggoda
Wenas. Juga Ir. Ciputra, pimpinan Yayasan Jaya Raya, yang
membawahkan Klub Jayakarta. "Saya akan sediakan dana Rp 250 juta
untuk membina Jayakarta," kata Ciputra. Selama ini Jayakarta
hidup dengan anggaran terbatas -- sekitar Rp 6 juta tiap bulan.
Penghasilan pemainnya bergerak dari Rp 75.000 sampai Rp 150. 000
di luar bonus. Kalau sudah prof, Ciputra menjanjikan dua sampai
tiga kali lipat dari yang diterima pemain sekarang.
Hak otonomi dan keberhasilan Liga Utama berkaitan erat dengan
tangan Ketua Harian Liga Utama, Sigit Soeharto. Ia, 31 tahun,
termasuk salah seorang pelopor pembentukan Galatama, 3 tahun
lalu. Dan terkenal getol memperjuangkan sepakbola profesional di
Indonesia. "Kalau sasaran kita meningkatkan prestasi tak ada
pilihan lain kecuali memberikan otonomi penuh pada Liga Utama,"
kata Sigit. "Selama ini klub-klub selalu didikte lewat berbagai
SK (surat keputusan) PSSI."
Mengenai kemerosotan tim nasional selama ini, menurut Sigit
dikarenakan kompetisi Galatama tidak berjalan sesuai dengan
rencana. Ia optimistis, jika Liga Utama sudah diberi hak
mengurus dirinya sendiri, maka dalam waktu dekat kesebelasan
Indonesia akan kembali disegani -- minimal di Asia.
Soeparjo menjanjikan surat keputusan mengenai otonomi bagi Liga
Utama akan dikeluarkan PSSI sebelum musim kompetisi 1982-1983
yang akan dimulai Agustus mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini