Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum Wladimir Klitschko mengembang. Dalam jumpa pers di SAP Arena, Mannheim, Jerman, Ahad dua pekan lalu, mukanya berseri-seri. Wajahnya bersih. Tak ada lebam-lebam bekas pukulan. Padahal, ia baru saja melewati pertarungan melawan juara dunia kelas berat versi Federasi Tinju Internasional (IBF), Chris Byrd.
Ini peristiwa monumental. Petinju asal Amerika Serikat itu terlalu tangguh. Chris Byrd menaklukkan sang le-genda Evander Holyfield pada 2002 dan merebut sabuk juara kelas berat IBF yang ketika itu sedang lowong. Selama empat tahun, juara berusia 35 tahun itu terus-menerus mempertahankan mahkota juara IBF.
Sampai kemudian datang Wladimir Klitschko. Lebih muda lima tahun dari sang juara. Keperkasaan Byrd pun musnah tak tersisa. Petinju asal Ukraina itu tak memberi kesempatan kepada lawan-nya untuk mengembangkan permainan. Hanya di ronde pertama saja Byrd bisa mengimbangi. Setelah itu Klitschko me-nguasai jalannya pertandingan dan akhirnya merebut mahkota juara.
Melawan Byrd, Klitschko sangat disiplin menjaga jarak. Ia memanfaatkan jangkauannya yang lebih panjang 7 sentimeter. Jab kiri Klitschko dengan mudah mendarat di wajah Byrd. Sesekali kepalan kiri itu berfungsi mengelabui pandangan lawan. Kemudian tiba-tiba Klitschko melesakkan pukul-an lurus tangan kanan yang keras.
Taktik Byrd memaksakan per-ta-rungan jarak de-kat gagal. Klitschko de-ngan cerdik mempersempit -ruang ge-rak de-ngan merangkul se-tiap kali lawan merangsek. ”Saya tak mam-pu memukul-nya, tapi dia gampang se-kali memukul saya. Dia petinju yang su-lit dipukul,” kata Byrd.
Ini kali kedua Wladimir Klitschko menjadi batu sandungan bagi Byrd. Pa-da pertemuan pertama tahun 2000, Byrd harus menyerahkan mahkota juara WBO yang baru direbut dari tangan Vitali Klitschko, kakak kandung Wladimir. Sekarang ia kembali dipaksa melepaskan mahkota juara IBF-nya.
Kemenangan Klitschko menandai fe-nomena baru di kancah persaingan tinju kelas berat dunia. Selama ini kelas berat biasanya didominasi petinju-petinju Amerika. Sebut saja misalnya nama-nama Mike Tyson, Evander Holyfield, dan Donovan ”Razor” Ruddock. Jagoan Inggris Lennox Lewis sempat menyodok. Sekarang peta kekuatan sudah berubah.
Petinju dari negara-negara pecahan Uni Soviet kini mengambil alih are-na kelas berat. Sebelum Klitschko merebut gelar IBF, Sergei Liakho-vich yang berasal da-ri Belarusia merebut gelar WBO (Organisasi Tinju Dunia) pada 1 April 2006. Nikolai Valuev dari Rusia menyabet gelar WBA (Asosiasi Tinju Dunia) pada 17 Desember 2005. Praktis cuma Hasim Rachman satu-satu-nya petinju Amerika yang masih memegang sabuk juara WBC (Dewan Tinju Dunia).
Nikolay Valuev menjadi juara setelah meraih kemenangan tipis atas John Ruiz. Hasil ini mengundang kemarahan kubu Ruiz yang berujung perkelahian brutal. ”Perampokan tanpa senjata hanya dapat terjadi di arena tinju,” Ruiz mengomentari kekalahannya yang kontroversial.
Bagi Valuev, mahkota juara memiliki arti tersendiri. Ini gelar bergengsi yang baru pertama kali ia peroleh. Pred-ikat pahlawan pun datang pada-nya. ”Gelar ini bukan segalanya dalam hidup saya. Tapi punya arti penting,” katanya.
Valuev lahir dan tumbuh da-lam situasi perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika. Tinggal di lingkungan keluarga pekerja, kehidupannya jauh dari gelimang kemewahan. Ayah-nya, Ser-gie, hanyalah seorang buruh di pabrik r-adio.
Di masa remaja, ia menonjol di antara teman-temannya karena ukuran tubuhnya yang menjulang tinggi. Ketika ber-usia 16 tahun tingginya sudah mencapai 2,01 meter. Saat ini badannya mencapai 2,13 meter.
Lantaran tubuhnya yang tinggi itu, Valuev pernah bergabung dengan tim bola basket dan menjuarai beberapa kejuaraan amatir tingkat nasional. Prestasi di basket membuatnya bermimpi tam-pil di arena Olimpiade.
Bukan olimpiade yang didapat, tapi pelatih tinju Oleg Shalaev yang bertemu dengannya pada 1993. Pria itu memperkenalkannya dengan dunia adu jotos. ”Saya tak pernah melepaskan pukulan seumur hidup. Tinju merupakan dunia baru dan saya langsung menjadi pecandu,” katanya.
Di tahun yang sama, Valuev memulai debutnya melawan John Morton. Dia hanya butuh dua ronde untuk memukul jatuh petinju Amerika itu. Padahal, petinju pemula itu tak pernah bermimpi menjadi juara dan terkenal di olahraga adu jotos ini.
Habis memukul Morton, ia bertarung tiga kali di St. Petersburg, Rusia. Selanjutnya ia beraksi di Inggris, Australia, Amerika, Jepang, dan Jerman. Kehadirannya selalu menarik perhatian. Namun, kemampuan bertinjunya masih diremehkan. Orang menganggap kepopuleran Valuev lebih karena ukuran tubuhnya yang unik. ”Kariernya tak pernah maju karena orang tak percaya dia benar-benar petinju,” kata Wilfried Sauerland, promotor tinju dari Jerman.
Pertemuan dengan Sauerland pada 2003 membuat karier Valuev menanjak. Ia sukses merebut gelar juara kelas berat tingkat Eropa versi WBA. Kemudian sabuk juara dunia melingkar di pinggangnya setelah menumbangkan John Ruiz.
Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kesuksesan Lyakhovich lebih ditentu-kan karena kemampuannya beradaptasi dengan gaya tinju Amerika. Karier tinju profesionalnya memang le-bih ba-nyak dijalani di negeri itu. Sergei Liakho-vich kini menetap di Arizona bersama istri-nya, Irina, seorang gadis keturunan R-usia.
Liakhovich yang memiliki pengalam-an amatir yang panjang dikenal memiliki fisik yang kuat dan pukulan yang keras. Karakternya di luar ring tinju tak jauh dari dunia keras. Petinju berjuluk-an Serigala Putih itu menyukai senjata dan amunisi.
Pertarungan bebas (ultimate fighting) merupakan olahraga lain yang digemarinya. Ia bersahabat dengan para juara pertarungan bebas dan kerap menghadiri pertandingan-pertandingan mereka. Manajernya, Ivaylo Gotsev, mengatakan, di lubuk hatinya Liakhovich adalah seorang ”Komando Rusia”. ”Jika tak menjadi petinju, ia mungkin akan menjadi petarung bebas,” ujarnya.
Adaptasi dengan gaya bertinju Amerika juga dilakukan Wladimir Klitschko. Sebelumnya ia biasa bertinju de-ngan gaya Eropa yang terkenal textbook. Sekarang ia mampu mempertontonkan kombinasi gaya Eropa dan Amerika. Taktis dan sistematis.
Gaya Amerika ini mulai diperagakan Klitschko setelah mendapat sentuhan pelatih kawakan Emanuel Steward, 2004. Steward adalah pelatih bertangan dingin yang juga pernah menangani sejumlah petinju dunia lain seperti Marvin Hagler, Sugar Ray Leonard, dan Roberto Duran.
Klitschko mungkin satu-satunya petinju yang punya prestasi yang sama baiknya di dunia akademik. Otaknya cemerlang. Sambil bertinju, sekolahnya tak terputus. Ia meraih gelar doktor di bidang ilmu olahraga dan filsafat dari Universitas Kiev, Januari 2001.
Petinju dan doktor ini lahir di lingkungan keluarga yang mapan. Ayahnya seorang perwira militer di ketentaraan Ukraina. Cita-citanya semasa kanak-kanak adalah mengikuti jejak ayahnya. ”Saya benar-benar mau menjadi tentara atau dokter. Tak pernah terpikir menjadi petinju,” katanya.
Sejak kecil Klitschko sangat menga-gumi aktor yang kini menjadi gubernur: Arnold Schwarzenegger. Bukan sekadar kagum, ia berusaha meniru model pa-kaian dan rambut aktor laga itu. Bahkan sedapat mungkin meniru cara Arnold berbicara.
Kekaguman itulah yang menga-ntar Klitschko berlatih tinju pada usia 14 tahun. Dalam satu kesempatan, ia mendaftar turnamen tinju di Kazakhs-tan. Uniknya, ia menyabet gelar juara tanpa harus bertanding. ”Saya menang karena menjadi satu-satunya petinju kelas berat,” ujarnya.
Klitschko mulai menarik perhatian penggemar tinju dunia ketika menggondol emas di Olimpiade Atlanta, Amerika, 1996. Di tahun yang sama dia memulai debut profesionalnya dengan mengkanvaskan Fabian Meza di ronde pertama. Sejak itu, kemenangan demi kemenangan terus diraihnya.
Suseno (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo