Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPOTONG lagu dari masa lalu itu mengayun. Telah 38 tahun ia menggubahnya, tapi terasa masih enak di telinga. Dengan petikan gitar akustik dalam nada minor, ia seperti tengah menghamparkan sebuah lukisan alam yang tak habis-habis dipuja. Ya, Melati dari Jayagiri malam itu hadir bagai sapuan seorang pelukis naturalis di puncak pencapaian karyanya.
Sang ”pelukis naturalis” itu adalah Iwan Abdulrachman, yang kini hampir 58 tahun. Ia mengalirkan lagu itu dengan lembut lewat sepotong gitar kopong. Penampilan sederhana-nya pa-da Jumat malam lalu itu seperti me-negaskan bahwa esensi bermusik tidak terletak pada kemeriahan instrumen di atas panggung, tapi pada jiwa yang berdendang.
Dalam konser tunggal di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta itu, Abah Iwan—begitu kini ia biasa di-sapa—hanya mengusung sebuah gitar dan sesekali menenggak obat batuk cair. Setiap kali ia menyelinginya de-ngan komentar yang menjelaskan pro-ses kreatif dalam menggubah setiap lagunya. ”Konser ini meniru gaya pe-nampilan pentas Pantun Beton dalam tradisi Sunda,” kata kakek tiga cucu itu menjelaskan.
Pada Melati dari Jayagiri, misalnya, Abah Iwan menjelaskan lagu gubahannya itu bukan tembang cinta seperti banyak diartikan orang selama ini. Melati dari Jayagiri melukiskan kehidupan alam dan secercah harapan menanti esok hari di tengah gelapnya malam—seperti tercurah dalam refrain lagu itu.
Selain melantunkan Melati dari Ja-yagiri, dalam konser bertajuk ”Kabar dari Gunung” itu Abah membawakan 28 lagu. Sebagian besar merupa-kan gubahannya, antara lain Balada Se-orang Kelana, Flamboyan, Bulan Merah, Melati Putih, Sejuta Kabut, dan Detik Hidup. Dan konser tunggalnya di hadapan sekitar 300 penonton itu merupakan penampilan pertamanya di Jakarta sejak 1979.
Abah menyatakan, serangkaian lagunya merupakan catatan perjalanan. Bagi pria kelahiran Karangnangka, Sumedang, Jawa Barat, 3 Septe-mber 1947 itu, lagu-lagu gubahannya se-macam kesaksian bagi peristiwa pen-ting yang menggoreskan kesan dalam perjalanan hidupnya.
Balada Seorang Kelana, misalnya, digubah di Gunung Burangrang, Jawa Barat, pada malam Natal 1964. Lagu ciptaan pertamanya itu dipersembah-kan kepada empat rekannya yang ter-sesat ketika mengikuti pendidikan Wa-nadri—organisasi penempuh rimba dan pendaki gunung, tempat Iwan selama ini berkiprah. ”Sebagai hadiah untuk membesarkan hati mereka,” kata-nya mengenang.
Gunung, lembah, dan hutan m-emang merupakan tempat yang kerap membangkitkan inspirasinya. Tapi ada ju-ga yang digubah saat ia menyusuri sebujur jalan di Bandung, suatu sore pada Januari 1967. Kala itu ia melihat bunga flamboyan berguguran, berjatuhan, inspi-rasinya bangkit. Lahirlah lagu Flamboyan, yang tiga tahun kemudi-an populer lewat grup Bimbo.
Iwan memang telah berjalan jauh. Semua itu berawal dari kegelisahan tak jelas, yang membuatnya kerap menyepi ke rimba. Agaknya di sanalah, seorang diri, gaung hutan yang su-nyi dan penuh kekuatan itu mengisi jiwanya. Ia telah menggubah sekitar 30 lagu, sebagian besar dikenal lewat kelompok Bimbo. Lagu-lagu-nya se-laras dengan sikap hidupnya: wajar tanpa kesan direncanakan.
Pada 1971, saat ku-liah di Fakultas Perta-nian Universitas Pa-dja-djaran, Bandung, Iwan men-dirikan GPL (Grup Pe-ncinta Lagu). Ini merupakan kumpulan 40-46 lela-ki d-engan sema-ngat yang gemuruh. GPL dipandang sebagai kelompok musik yang ”membawakan warna de-ngan karakter khas”. Iwan memasukkan unsur ba-lada ke suara gitarnya. Kekhasan inilah yang kemudian melambungkan namanya di jagat musik Indonesia.
Pada Jumat malam lalu, pria berkepala pelontos itu kembali berdendang. Penampilannya dalam bermusik tetap sederhana, wajar, dan akrab. Kalau terjadi kesalahan, enak saja ia meng-ulang. Praktis sekali. Mungkin inilah yang membuat para penonton tak beranjak dari tempat duduknya sepanjang dua setengah jam konsernya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo