Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pupus sudah harapan Dwi Devianti menamatkan kuliah di negeri jiran, Malaysia. Mahasiswi semester dua Fakultas Ekonomi Inti College di Sepang, Malaysia, itu harus segera kembali ke Tanah Air karena kondisi kesehatannya menurun. Kuliah sambil bekerja ternyata membuat fisiknya rontok. Gadis berkulit putih ini tak sanggup lagi melakoninya. Pertengahan 2005, ia kembali ke Jakarta.
Di lubuk hatinya, Devi ter-nyata masih menyi-mpan keinginan kuliah de-ngan sua-sana internasional. Ber-untung ada seorang teman memberi tahu, mimpi itu masih bisa diwujudkan tanpa harus ke luar negeri. Semangat untuk segera kembali ke kampus pun bersemi lagi. Devi langsung mendaftar ke program internasional di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kini Devi kuliah di Depok, kampus FE UI. Kendati tak ada rekan kuliah dari negara lain dalam satu kelas, masih ada nuansa yang ia rasakan seperti saat masih kuliah di Malaysia. Bahasa pengantar dan semua bahan kuliah menggunakan bahasa Inggris. Kelas yang hanya diisi 20 mahasiswa membuat Devi lebih nyaman. ”Rasanya tak jauh beda,” kata Devi, seusai kuliah pekan lalu.
Suasana kelas internasio-nal memang berbeda dengan kelas reguler di kampus yang sama. Meski sama-sama berpendingin ruangan dan memakai proyektor komputer, kelas reguler tak jarang se-sak dipadati hingga 50 mahasiswa. Perbedaan lain yang paling penting, ada beberapa mata kuliah pada kelas internasional yang diajarkan dosen-dosen dari luar nege-ri yang berasal dari kampus rekanan yang turut memberi gelar.
Kehadiran pengajar dari kampus rekanan itu tak saja untuk menambah wawasan mahasiswa, tapi juga penjamin mutu. Agar materi yang diajarkan sesuai dengan yang diajarkan di kampus rekanan. ”Kami harus menjaga kualitas perkuliahan,” kata Dekan FE UI, Bambang Brodjonegoro. Soalnya, setelah menye-lesaikan tahun kedua, maha-siswa akan menyelesaikan si-sa masa studi di salah satu kampus rekanan.
Untuk program S1, FE UI te-lah menjalin kerja sama de-ngan lima universitas asing, yaitu Melbourne University, University of Queensland (Australia), University of Southern California (Amerika Serikat), University of Waikato (Selandia Baru), dan Universiteit van Amsterdam (Belanda). Nilai para mahasiswa akan menentukan kampus mana yang akan mereka tuju untuk mendapat gelar.
Lantaran kuliah di dua kampus, maka lulusan prog-ram internasional mendapat gelar ganda. ”Satu gelar dari kampus asal, dan satu dari kampus rekanan,” ujar Bambang Brodjo. Di kelas internasional, kepiawaian mahasiswa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris jelas sangat diutamakan. Untuk mendaftarkan diri di program itu, selain ha-rus mengikuti ujian masuk, juga harus memiliki nilai kemampuan berbahasa Inggris (TOEFL) minimal 500.
Bambang menuturkan, ide pembukaan kelas internasio-nal tak lepas dari kepriha-tin-an atas ketertinggalan lu-lus-an Indonesia dibanding lu-ar negeri. Sebagai ukuran se-derhana adalah kemampu-an berbahasa Inggris. Soal itu saja sudah mempengaruhi kepercayaan diri lulus-an Indonesia saat bersaing di lapangan kerja. Wawasan seputar dunia luar juga bakal semakin bertambah jika mahasiswa menyelesaikan studi di kampus rekanan.
Kendati penting, membuka kelas internasional tak segampang membalik telapak tangan. Bambang mencontoh-kan kelas internasional untuk level Magister Manajemen-Master of Business Ad-ministration (MM-MBA) yang baru dibuka FE UI pekan lalu. Setidaknya diperlukan waktu satu tahun le-bih untuk berunding dengan kampus yang menjadi rekanan, yaitu Fakultas Ekonomi Grenoble II, Universite Pierre Mendes, Prancis. ”Kami harus menjelaskan dan meyakinkan mata kuliah kami pada mereka,” katanya.
FE UI lebih mudah mengenali mata kuliah dan sistem kuliah yang berlangsung di Grenoble, sebab kampus itu lebih tinggi peringkat dunia-nya. Sebaliknya, Grenoble su-lit mengenal UI. Selain mata kuliah, kualitas dan kesiap-an para dosen juga menjadi perhatian rekanan. Kendati hampir semua dosen FE UI lulusan luar negeri, ba-nyak yang tak bisa mengajar dalam bahasa Inggris.
Dengan persiapan seperti itu, tak mengherankan bila uang kuliah kelas internasio-nal cukup menguras kantong. Bayaran selain untuk membayar kampus reka-nan—ka-rena memanfaatkan nama—juga membayar akomodasi dosen asing.
Mahasiswa program S1 setiap semester dipungut bia-ya US$ 2.500. Sedang untuk program MM-MBA dikenai biaya 7.500 euro. Bandingkan dengan mahasiswa regu-ler yang hanya membayar Rp 1,2 juta per semester. ”Itu sudah harga yang minimal,” kata Ketua Program MM-MBA, Rhenald Kasali.
Perbedaan uang kuliah yang bak bumi dan langit dengan program reguler tak urung memunculkan kesan eksklusif bagi mahasiswa kelas internasional. Terlebih me-reka tak melalui ujian nasional. Akibatnya, meski ber-ada di kampus yang sama, mahasiswa reguler belum mengakui keberadaan rekan barunya itu. ”Ya, kami tak bisa ikut organisasi kemahasiswaan,” kata David, rekan sekelas Devi.
Menanggapi perbedaan itu, Bambang menghibur mahasiswa regulernya. Ia menga-takan, pembukaan kelas internasional justru memberi manfaat bagi mahasiswa re-guler. Keuntungan yang diperoleh dari kelas mahal itu sebagian dialihkan untuk me-ningkatkan fasilitas kelas reguler. Di luar itu, keberadaan kelas internasional juga menjadi pemicu mahasiswa kelas reguler untuk bersaing membuktikan diri lebih baik.
Suka atau tidak, keber-adaan kelas internasional merupakan suatu keharus-an. Bambang mengharapkan suatu saat nanti semua sistem pengajaran di UI dilakukan seperti di kelas internasio-nal. ”Setidaknya tiap program studi memiliki kelas internasional,” katanya. Saat ini di UI sudah ada empat fakultas, selain ekonomi, yang membuka kelas internasional, yaitu Kedokteran, Teknik, Psikologi, dan Komputer.
Kelas Internasional tak semata-mata dimonopoli kampus negeri. Universitas Atma Jaya Yogyakarta juga telah lama mengelola kelas internasional. Sejak 1998, kampus ini sudah memiliki program studi dengan taraf internasio-nal, yaitu Studi Manajemen (Fakultas Ekonomi), Teknik Sipil, dan Teknik Industri (Fakultas Teknik). Seperti di UI, bahasa pengantar dan fasilitas kelas menjadi pembeda dengan kelas reguler.
Koordinator Teknik Sipil, Yoyong Arfiadi, mengatakan, kampus yang menjadi mitra di luar negeri adalah University of Notredam, Belanda, dan Institut Arsitektur Bangkok di Thailand. Meski tidak ada program gelar ganda, dan mahasiswa menghabiskan seluruh masa studi di Atma Jaya, nuansa internasional tetap dijaga. Bebe-rapa mata kuliah diajarkan langsung oleh dosen dari dua kampus asing itu.
Kelas-kelas kecil berpendi-ngin udara dan dilengkapi proyektor komputer menjadi fasilitas wajib kelas internasional. Satu kelas hanya diisi paling banyak 15 mahasiswa. Fasilitas itu membuat biaya kuliah menjadi lebih mahal dibanding kelas reguler. Mahasiswa kelas internasional teknik sipil harus membayar Rp 9,5 juta untuk uang muka dan uang semester Rp 2 juta.
Di luar Jawa, sejumlah kam-pus tak mau ketinggal-an membuka program serupa. Contohnya, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas di Padang. Juga, Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah di Palembang.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengatakan, pembukaan prog-ram itu merupakan wewenang tiap kampus. ”Tidak ada aturan soal itu,” kata Satryo, yang tak lain adalah kakak kandung Bambang Brodjonegoro.
Adek Media Roza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo