JUNIE Sng bukan hanya darling of the games. Ia juga aliran
listrik yang bisa menyengat publik Smgapura di kolam renang Toa
Payoh. Kalau namanya disebutkan sebagai peserta, orang pun
bersorak riuh. Begitu kakinya menempel di tempat start,
penyanjungnya segera bangun dari kursi. "Ayo, Junie!" pecut
mereka.
Pers lokal menggambarkan kecepatannya ibarat pisau membelah air.
PenampilanJunie Sng memang meyakinkan. Di SEA Games XII ini dia
membuat sejarah sebagai perenang pertama yang mampu merebut 10
medali emas. Delapan untuk nomor perorangan. Ditambah 2 dari
estafet. Dia menjadi penyumbang terbanyak buat 15 emas yang
diperoleh Singapura.
Di SEA Games X di Jakarta, dia sudah mampu merebut 5 medali
emas. Prestasinya itu kemudian membubung pada SEA Games
berikutnya di Manila 2 tahun lalu, ketika berhasil mengumpulkan
7 medali emas dan satu perak. Hampir menyamai kemampuan perenang
Indonesia, Nanik Juliati Suwadji, yang pernah berhasil merebut 8
medali emas dan satu perak di SEA Games X tahun 1979 di Jakarta.
Di Manila Nanik yang tampil terakhir kali dan kemudian mundur
karena alasan umur, masih memperoleh 5 medali emas, 2 perak dan
1 perunggu.
Selain merebut 8 medali emas itu Junie juga berhasil memenuhi
cita-citanya untuk menjadi perenang Asia pertama yang mampu
menembus batas 9 menit untuk 800 m gaya bebas. Di Manila,
sekalipun memperoleh medali emas, dia gagal memenuhi ambisinya
itu. Waktunya 9 menit 0,21 detik. Waktu yang sebenarnya sudah
tinggal seujung rambut. Hingga orang mengatakan, kalau saja
Junie memelihara kuku panjang dia pasti sudah bisa berhasil
ketika itu. Tapi di kota kelahirannya ini, tanpa kuku yang
dipanjangkan dia mampu mencatat 8 menit 59,46 detik. Berarti
anak putri bermata sipit tersebut malahan lebih cepat dari rekor
nasional putra Singapura (9, menit 0,74 detik).
Puncak kegembiraannya berlangsung pada nomor 100 m gaya bebas.
Satu-satunya nomor yang gagal direbutnya di Manila. Begitu
girangnya dia. Tutup kepala dilepaskannya dan kaca mata renang
dilemparkannya ke udara. Dia mengirimkan ciuman dari dalam kolam
itu kepada ayahnya yang membalas dengan lambaian tangan.
Sementara ibunya menangis melihat sukses anak bungsunya itu.
Tak ada lagi cita-cita yang tak kesampaian buat perenang yang
lahir dari republik terkecil di Asia Tenggara itu. Sebelum mabuk
dia berhenti. "Apa yang kucapai sudah cukup. Dan saya ingin
berhenti berenang untuk selamanya," katanya kepada wartawan.
"Tak bakalan ada lagi kompetisi buat saya. Tak ada lagi
pertarungan melawan stopwatch," sambungnya pula.
Buat dia kini giliran mengurus sekolah. Karena renang, katanya,
sekolahnya terbengkalai. Ditemui wartawan TEMPO, Rudy Novrianto,
pada penutupan pesta olah raga itu tanggal 6 Juni -- tepat pada
hari ulang tahunnya yang ke-19, Junie Sng kelihatan seperti
menderita betul dalam karirnya yang panjang. "Saya sudah capek
berenang," katanya.
Dia mulai berenang sejak berumur 4 tahun. Sejak 3 tahun yang
lalu dia mengikuti jejak orangtuanya yang pindah ke Australia.
"Ayah yang memutuskan untuk pindah ke sana, karena ayah menjadi
dosen di sebuah akademi kesenian di Brisbane. Ia sendiri duduk
di bangku sekolah Queensland Institute of Technology, jurusan
matematika. Keluarganya tetap warga negara Singapura.
Perenang yang gemar lagu klasik sampai rock'n roll ini ternyata
bosan dengan keramaian Singapura. "Kota ini sangat sibuk,"
sedangkan saya senang dengan kota yang tenang seperti Brisbane.
Mungkin saya akan bekerja dan menetap selamanya di sana,"
katanya dengan malu-malu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini