Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Anggota DPR beroposisi

Kekhawatiran timbulnya oposisi di DPR tak beralasan. di samping peraturan tata tertib, peranan fraksi dominan hingga membatasi ruang gerak anggota DPR. beda pendapat hanya boleh ada di dalam fraksi.

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM satu tahun umur DPR, beberapa hal sudah dapat dianggap kejutan. Kalau DPR 1977 berjanji akan membuka pintu bagi siapa pun, dan memang dilaksanakan, DPR 1982 berniat meningkatkan bobot. 'Politik pintu terbuka' harus tetap dijalankan, bahkan perlu ditingkatkan, dan pelaksanaannya harus dirasakan oleh yang empunya kedaulatan sesuai dengan maksud UUD. Umpamanya, sudah terlalu rindu yang empunya kedaulatan melihat wakilnya mempergunakan hak inisiatifnya dalam pembuatan UU. Sudah hampir 12 tahun anggota DPR tidak pernah mengajukan RUU. Begitu pula dalam hal pengawasan, rakyat harus merasakan peningkatan berarti. Apalagi makin banyak kasus manipulasi terbongkar, makin banyak orang terbunuh tanpa diketahui siapa sang pelaku. Akhir April yang lalu terbaca di harian bahwa ada anggota DPR yang diduga terlibat manipulasi reboisasi. Orang kaget. Sampai-sampai seorang pimpinan DPR mengatakan bahwa kalau hal itu benar terbukti, aib telah terjadi. Dan ternodalah nama lembaga negara tertinggi. Bulan ini peradilannya masih berlangsung. Awal Mei ada pula berita, wewenang dan tugas DPR tidak digunakan untuk beroposisi, karena dalam Demokrasi Pancasila tidak dikenal itu oposisi. Seolah-olah mekanisme dalam Peraturan Tata Tertib DPR dapat melahirkan oposisi, karena itu perlu diingatkan agar jangan beroposisi. Tradisi oposisi lebih dikenal dalam sistem parlementer. Partai yang memerintah sering disebut partai pemerintah, partai lainnya disebut sang oposisi. Bahkan di House of Commons, tempat duduk diatur sehingga partai pemerintah berhadap-hadapan dengan sang oposisi. Oposisi dalam sistem parlementer dua partai berbeda pula dengan sistem yang banyak partai. Parlementer dengan dua partai seperti Inggris, pemerintahannya demikian kuat. Fungsi oposisi lebih banyak bersifat kontrol ketimbang menjatuhkan mosi tidak percaya. Parlemen adalah jenjang menduduki kursi di eksekutif, karena itu loyalitas terhadap partai bisa dilihat. Lain lagi di Amerika Serikat. Tidak jarang eksekutif dan legislatif dipegang partai-partai berbeda. Pemilihan dan masa jabatan presiden, Senat, dan House of Representative tak sama. Dan mekanisme pemerintahan tidak akan menciptakan partai pemerintah dan partai oposisi seperti di Inggris. Di House of Representative anggota Republik dan Demokrat duduk bersebelahan dan bukan berhadapan. Dan tradisi lembaga legislatif sebagai jenjang menduduki kursi di eksekutif, seperti di Inggris, di Amerika tidak selalu harus. Dilihat dari tugasnya, DPR kita mirip dengan parlemen. Tapi ada pula kemiripannya dengan legislatif Amerika Serikat, tidak hanya karena terpisahnya eksekutif dan legislatif tapi juga karena DPR bukan jenjang menduduki kursi di eksekutif. Dalam penyusunan UU, baik dalam UUD 1945, maupun dari praktek ketatanegaraan presiden legislator utama. Dalam bidang pengawasan, secara konstitusional DPR kuat dan bahkan lebih kuat dari presiden. Hanya dalam mekanisme yang dijalankan sekarang nampaknya kedudukan tak sederajat, apalagi lebih kuat dari presiden. Mengenai pengawasan ini DPRGR Demokrasi Terpimpin malah lebih tegas. Dicampakkannya interpelasi dan angket. Dibuangnya jauh-jauh voting dari Peraturan Tata Tertib. Pengawasan cukup sampai bertanya. Keputusan harus dengan sepakat seia sekata. Lain lagi DPR sesudah pemilu. Interpelasi dan angket ada. Tapi jangan tanya apa mungkin dilaksanakan. Usul interpelasi NKK di penujung 1979 adalah jawabnya. Voting pun ada, tapi kalau sampai pada pelaksanaan dari awal sudah diketahui yang setuju dan tidak setuju. Akhirnya keputusan sangat diusahakan lahir dengan sikap sekata. Di samping Peraturan Tata Tertib, diduga pula peranan fraksi cukup dominan. Fraksi yang formalnya berfungsi koordinator, dalam kenyataannya menentukan ruang gerak para anggota. Berbeda pendapat dengan pimpinan fraksi diperbolehkan, tapi di dalam. Ke luar harus senada. Jangan coba membandel, senjata recall siap dibelakang, dan itu berarti harus pensiun. Kalau mekanisme seperti di atas masih dijalankan, nampaknya kekhawatiran timbulnya oposisi tak beralasan. Sebab yang lahir adalah anggota DPR yang oleh rakyat terlihat sebagai anggota yang elok laku, walaupun mungkin di rapat fraksi dipandang keras kepala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus