Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kalpataru untuk blong

Pemenang hadiah kalpataru 1983 muncul dari berbagai kalangan. Untuk lingkungan hidup adalah bekas bromocorah soewono blong yang berhasil menciptakan perkampungan untuk bekas gelandangan. (ling)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah ramainya perburuan gali, bekas bromocorah Soewono Blong mendapat Hadiah Kalpataru -- penghargaan nasional tertinggi untuk lingkungan hidup. Ia dinilai berhasil menciptakan perkampungan sehat untuk bekas gelandangan, residivis, dan tunasusila. "Tak saya duga sama sekali akan mendapat penghargaan setinggi ini," ujarnya selepas menerima penghargaan di Istana Negara, Jakarta, Senin pagi lalu. Pemukiman baru seluas 15 hektar yang terletak di Dukuh Balongcangkring dan Cakarayam II, menurut Blong, dulunya sawah. Tanah itu dibelinya di tahun 1960-an dari hasil berdagang besi tua. Kini kedua dukuh itu penuh dengan rumah papan atau setengah tembok yang dihuni sekitar 700 kepala keluarga. Tak cuma itu yang berubah di Balongcangkring dan Cakarayam II. Tanah yang dulu gersang itu telah disulap Blong menjadi perkampungan yang hijau dan rindang. Sekarang kedua dukuh tersebut, yang terletak sekitar 3 km dari Mojokerto, Jawa Timur, penuh tanaman kelapa, turi, lamtoro, tebu padi, kacang, dan ubi. Blong juga dipujikan untuk pembangunan saluran pencegah banjir sepanjang 1 km. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim dalam pidatonya menyambut peringatan Hari Lingkungan Hidup di Istana Ncgara memuji Blong sebagai salah seorang perintis dalam berswadaya melestarikan lingkungan. "Soewono Blong tidak hanya merintis usaha perbaikan lingkungan dari segi fisik, tapi sekaligus lingkungan sosialnya," ujar Emil. "Sehingga para gclandangan, bromocorah, tunakarya, tunasusila, dan lainnya telah menjadi insan berguna." Siapakah Blong? Lelaki tua berperawakan sedang itu di zaman revolusi kemerdekaan tergabung dalam barisan Tentara Pelajar. Waktu itu ia dikenal dengan nama Soewono saja. Julukan Blong, yang kini menjadi identitasnya, dperolehnya karena ia suka blong-blongan -- ugal-ugalan. Di masa perjuangan, menurut pengakuannya, Blong sering merampok harta Cina, dan kemudian membagikannya kepada pengungsi atau orang-orang miskin. Seusai perang, Blong tetap nakal. Hingga ayahnya, Inspektur Polisi Djokoatmo, terpaksa menjebloskannya ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia, setelah mendekam di balik jeruji selama 3,5 tahun, dibebaskan pada 1958. Keluar dari penjara, Blong menetap dan berdagang besi tua di Surabaya, dan setelah peristiwa Gestapu/PKI pulang ke kampung halamannya, Desa Mentikan, Mojokerto. Tahun 1967, Blong, ayah dari delapan anak, diangkat menjadi lurah Mentikan. Ketika itulah timbul gagasannya untuk menampung gelandangan, bromocorah, tunasusila, dan mendidik menjadi warga masyarakat yang baik. Setelah tiga tahun menjadi pamong ia minta berhenti. Lalu dengan modal tanah seluas 15 hektar yang dipunyainya Blong mewujudkan cita-citanya. "Mula-mulanya yang saya dirikan gubuk beratap ilalang," kata Blong yang mengelola pedukuhannya di bawah nama Yayasan Majapahit. "Ketika itu penghuninya baru sekitar dua atau tiga orang saja." Untuk pengabdiannya di bidang lingkungan hidup, Blong, 53 tahun, mendapat Piala Kalpataru, juga hadiah uang sebesar Rp 2,5 juta. Ia, yang ternyata juga purnawirawan ABRI dengan pangkat sersan mengatakan akan mengabdi terus untuk Dukuh Balongcangkring dan Cakarayam II. Dan Blong kini tampak bagaikan raja kecil di pedukuhannya. Pionir lain dalam berswadaya melestarikan lingkungan adalah Zamrisyaf, 27 tahun penduduk Desa Sitalang, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Dialah perintis penggunaan kincir air di desanya untuk membangkitkan tenaga listrik. Saat ini tercatat 45 buah rumah yang menikmati jerih payahnya. Seperti juga perintis lain, di awal kerjanya 1980, tak sedikit penduduk kampungnya yang mencemoohkan gagasan Zamrisyaf. Tapi ia tak putus asa. Setelah menjual beberapa ekor ternak piaraan orangtuanya untuk kabel dan dinamo, Zamrisyaf, lulusan STM Muhammadiyah, Padang, akhirnya berhasil juga dengan percobaannya. Dan berkat kegigihannya pula hingga 25 penghulu Desa Sitalang sepakat untuk memelihara hutan di hulu sungai agar debit air bagi kincir listrik di negeri itu terjamin. "Masuknya listrik ke desa ini telah mengubah kehidupan masyarakat. Banyak penduduk membeli televisi, dan anak-anak bisa belajar sampai jauh malam," puji Emil Salim. Pengembangan kincir pembangkit listrik Zamrisyaf, menurut Emil Salim, menarik perhatian banyak orang. Tak hanya warga di sekitar desa itu saja yang berbondong datang mencontoh, juga dari Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat. Yang tak berubah ternyata nasib Zamrisyaf. Ia, yang semula ditawarkan menangani proyek kincir air untuk pembangkit listrik di desa transmigrasi, tetap menganggur sampai saat meninggalkan Desa Sitalang, Maret lalu. Menurut ayahnya, Syahrul Sutan Sinaro, putranya itu merantau ke Malaysia. Zamrisyaf, yang dikabarkan masuk ke Tanah Semenanjung itu sebagai imigran gelap, tak berhasil dihubungi Panitia Hari Lingkungan Hidup 1983 untuk menerima Piala Kalpataru. "Mudah-mudahan dengan penghargaan ini terobat juga hatinya," kata Syahrul yang mewakili anaknya dalam upacara di Istana Negara. Terpilihnya Zamrisyaf sebagai pemenang Piala Kalpataru berkat usul diam-diam yang diajukan Koresponden Sinar Harapan di Padang, Wal Paragoan. Panitia Pengusul Hadiah Kalpataru Provinsi Sumatera Barat sama sekali tak mencantumkan nama sang pionir. Tak disebutkan alasannya. Pemenang Piala Kalpataru 1983 yang lain untuk kelompok perintis adalah S.W. Sonbai, 58 tahun, pelopor penghijauan dari Desa Fatumutu, Nusa Tenggara Timur. Untuk kelompok pengabdi tercatat Asteja, karyawan PPA Lampung Tengah, dan Mad Sahi, karyawan PPA Pulau Dua, Banten, yang dinilai sangat berjasa menyelamatkan hutan lindung. Piala Kalpataru untuk kelompok penyelamat lingkungan hidup diboyong oleh LKMD Giriwarno, Wonogiri, Kelompok Tani Temu Dewi Desa Pecatu, Bali, Kelompok Tani Margo Utomo Desa Kalimanis Blitar, dan Dewan Musyawarah Adat Kampung Ormu, Jayapura. Pemenang kelompok ini mendapat hadiah uang sebesar Rp 5 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus