DI tengah ramainya perburuan gali, bekas bromocorah Soewono
Blong mendapat Hadiah Kalpataru -- penghargaan nasional
tertinggi untuk lingkungan hidup. Ia dinilai berhasil
menciptakan perkampungan sehat untuk bekas gelandangan,
residivis, dan tunasusila. "Tak saya duga sama sekali akan
mendapat penghargaan setinggi ini," ujarnya selepas menerima
penghargaan di Istana Negara, Jakarta, Senin pagi lalu.
Pemukiman baru seluas 15 hektar yang terletak di Dukuh
Balongcangkring dan Cakarayam II, menurut Blong, dulunya sawah.
Tanah itu dibelinya di tahun 1960-an dari hasil berdagang besi
tua. Kini kedua dukuh itu penuh dengan rumah papan atau setengah
tembok yang dihuni sekitar 700 kepala keluarga.
Tak cuma itu yang berubah di Balongcangkring dan Cakarayam II.
Tanah yang dulu gersang itu telah disulap Blong menjadi
perkampungan yang hijau dan rindang. Sekarang kedua dukuh
tersebut, yang terletak sekitar 3 km dari Mojokerto, Jawa Timur,
penuh tanaman kelapa, turi, lamtoro, tebu padi, kacang, dan ubi.
Blong juga dipujikan untuk pembangunan saluran pencegah banjir
sepanjang 1 km.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim
dalam pidatonya menyambut peringatan Hari Lingkungan Hidup di
Istana Ncgara memuji Blong sebagai salah seorang perintis dalam
berswadaya melestarikan lingkungan. "Soewono Blong tidak hanya
merintis usaha perbaikan lingkungan dari segi fisik, tapi
sekaligus lingkungan sosialnya," ujar Emil. "Sehingga para
gclandangan, bromocorah, tunakarya, tunasusila, dan lainnya
telah menjadi insan berguna."
Siapakah Blong? Lelaki tua berperawakan sedang itu di zaman
revolusi kemerdekaan tergabung dalam barisan Tentara Pelajar.
Waktu itu ia dikenal dengan nama Soewono saja. Julukan Blong,
yang kini menjadi identitasnya, dperolehnya karena ia suka
blong-blongan -- ugal-ugalan. Di masa perjuangan, menurut
pengakuannya, Blong sering merampok harta Cina, dan kemudian
membagikannya kepada pengungsi atau orang-orang miskin.
Seusai perang, Blong tetap nakal. Hingga ayahnya, Inspektur
Polisi Djokoatmo, terpaksa menjebloskannya ke Penjara
Sukamiskin, Bandung. Ia, setelah mendekam di balik jeruji selama
3,5 tahun, dibebaskan pada 1958. Keluar dari penjara, Blong
menetap dan berdagang besi tua di Surabaya, dan setelah
peristiwa Gestapu/PKI pulang ke kampung halamannya, Desa
Mentikan, Mojokerto.
Tahun 1967, Blong, ayah dari delapan anak, diangkat menjadi
lurah Mentikan. Ketika itulah timbul gagasannya untuk menampung
gelandangan, bromocorah, tunasusila, dan mendidik menjadi warga
masyarakat yang baik. Setelah tiga tahun menjadi pamong ia minta
berhenti. Lalu dengan modal tanah seluas 15 hektar yang
dipunyainya Blong mewujudkan cita-citanya. "Mula-mulanya yang
saya dirikan gubuk beratap ilalang," kata Blong yang mengelola
pedukuhannya di bawah nama Yayasan Majapahit. "Ketika itu
penghuninya baru sekitar dua atau tiga orang saja."
Untuk pengabdiannya di bidang lingkungan hidup, Blong, 53 tahun,
mendapat Piala Kalpataru, juga hadiah uang sebesar Rp 2,5 juta.
Ia, yang ternyata juga purnawirawan ABRI dengan pangkat sersan
mengatakan akan mengabdi terus untuk Dukuh Balongcangkring dan
Cakarayam II. Dan Blong kini tampak bagaikan raja kecil di
pedukuhannya.
Pionir lain dalam berswadaya melestarikan lingkungan adalah
Zamrisyaf, 27 tahun penduduk Desa Sitalang, Kabupaten Agam
Sumatera Barat. Dialah perintis penggunaan kincir air di desanya
untuk membangkitkan tenaga listrik. Saat ini tercatat 45 buah
rumah yang menikmati jerih payahnya.
Seperti juga perintis lain, di awal kerjanya 1980, tak sedikit
penduduk kampungnya yang mencemoohkan gagasan Zamrisyaf. Tapi ia
tak putus asa. Setelah menjual beberapa ekor ternak piaraan
orangtuanya untuk kabel dan dinamo, Zamrisyaf, lulusan STM
Muhammadiyah, Padang, akhirnya berhasil juga dengan
percobaannya.
Dan berkat kegigihannya pula hingga 25 penghulu Desa Sitalang
sepakat untuk memelihara hutan di hulu sungai agar debit air
bagi kincir listrik di negeri itu terjamin. "Masuknya listrik ke
desa ini telah mengubah kehidupan masyarakat. Banyak penduduk
membeli televisi, dan anak-anak bisa belajar sampai jauh malam,"
puji Emil Salim.
Pengembangan kincir pembangkit listrik Zamrisyaf, menurut Emil
Salim, menarik perhatian banyak orang. Tak hanya warga di
sekitar desa itu saja yang berbondong datang mencontoh, juga
dari Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Yang tak berubah ternyata nasib Zamrisyaf. Ia, yang semula
ditawarkan menangani proyek kincir air untuk pembangkit listrik
di desa transmigrasi, tetap menganggur sampai saat meninggalkan
Desa Sitalang, Maret lalu. Menurut ayahnya, Syahrul Sutan
Sinaro, putranya itu merantau ke Malaysia. Zamrisyaf, yang
dikabarkan masuk ke Tanah Semenanjung itu sebagai imigran gelap,
tak berhasil dihubungi Panitia Hari Lingkungan Hidup 1983 untuk
menerima Piala Kalpataru. "Mudah-mudahan dengan penghargaan ini
terobat juga hatinya," kata Syahrul yang mewakili anaknya dalam
upacara di Istana Negara.
Terpilihnya Zamrisyaf sebagai pemenang Piala Kalpataru berkat
usul diam-diam yang diajukan Koresponden Sinar Harapan di
Padang, Wal Paragoan. Panitia Pengusul Hadiah Kalpataru Provinsi
Sumatera Barat sama sekali tak mencantumkan nama sang pionir.
Tak disebutkan alasannya.
Pemenang Piala Kalpataru 1983 yang lain untuk kelompok perintis
adalah S.W. Sonbai, 58 tahun, pelopor penghijauan dari Desa
Fatumutu, Nusa Tenggara Timur. Untuk kelompok pengabdi tercatat
Asteja, karyawan PPA Lampung Tengah, dan Mad Sahi, karyawan PPA
Pulau Dua, Banten, yang dinilai sangat berjasa menyelamatkan
hutan lindung.
Piala Kalpataru untuk kelompok penyelamat lingkungan hidup
diboyong oleh LKMD Giriwarno, Wonogiri, Kelompok Tani Temu Dewi
Desa Pecatu, Bali, Kelompok Tani Margo Utomo Desa Kalimanis
Blitar, dan Dewan Musyawarah Adat Kampung Ormu, Jayapura.
Pemenang kelompok ini mendapat hadiah uang sebesar Rp 5 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini