BANKIR tidak sama dengan kasir. Menurut kamus dan menurut teori
hal itu sudah jelas -- tapi agaknya di kalangan bank pemerintah
kekaburan sering terjadi. Berbeda dengan bank-bank swasta,
lembaga keuangan yang dimiliki pemerintah itu praktis hidup
dengan menyimpan uang dan menyembah sederet aturan. Termasuk
aturan yang membatasi mereka menentukan bunga deposito berjangka
yang bisa memikat para calon penyimpan uang.
Itu sebabnya beberapa bulan setelah guncangan devaluasi 30 Maret
yang lalu, bank-bank pemerintah cuma bisa berkedip-kedip melihat
satu arus yang menggemukkan saingan mereka yang swasta:
kembalinya rupiah, yang tadinya ditukar ke dollar sebelum
devaluasi, ke dalam kas-kas penyimpan dengan tingkat bunga yang
tinggi.
Menyadari keterbatasan bank negara untuk menghimpun dana itu,
maka mulai 1 Juni, bank pemerintah diberi kebebasan penuh untuk
menentukan tingkat bunga deposito, sembari menghapuskan pagu
kredit. Kebebasan seperti itu juga berlaku bagi bank swasta
nasional dan asing. Menko Ekuin dan Pengawasan Ali Wardhana,
yang mengumumkan beleid baru perbankan itu, pekan lalu mengakui
"penggalian dana oleh bank pemerintah belum dilakukan dengan
sepenuhnya."
Sudah sejak tiga tahun terakhir ini, memang deposito berjangka
bank pemerintah -- terutama yang berjangka pendek 1-6 bulan --
kehilangan daya saing. Untuk deposito berjangka 6 bulan
misalnya, dengan tingkat bunga serendah 6% setahun, hingga
minggu pertama April lalu, bank-bank pemerintah cuma mampu
menghimpun dana Rp 11,3 milyar. Dan sebagian besar dana deposito
berjangka 24 bulan dari bank pemerintah, yang mencapai Rp 844
milyar awal April lalu, umumnya berasal dari pengerahan dana
pensiun yayasan pemerintah.
Ali Wardhana juga mengakui, adalah perbankan swasta yang
berhasil "menghimpun dana dalam jumlah besar". Menurut catatan
Bank Indonesia, jumlah dana deposito yang berhasil dijala oleh
bank swasta (bank devisa dan nondevisa), hingga minggu ketiga
April lalu mencapai Rp 1.581 milyar. Sedang lima bank pemerintah
yang justru punya cabang di berbagai pelosok, sampai pekan
pertama April lalu baru pandai mengumpukan Rp 901 milyar.
Kini perubahan pelan-pelan memang sedang terjadi. Sejak
pertengahan bulan Mei lalu, melalui iklan yang cukup besar di
beberapa surat kabar, Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara
sudah mulai berpacu dengan menaikkan suku bunga deposito mereka
yang berjangka 6 bulan menjadi 16% per tahun, naik dari 6%
sebelumnya (TEMPO, 4 Juni).
Ketika itu bank swasta nasional dan asing masih memasang bunga
deposito untuk jangka waktu penyimpanan yang sama dengan sekitar
14%, seperti Citibank, dan The Hongkong and Shanghai Banking
Corporation. Sampai awal pekan ini belum terdengar berita bahwa
bank swasta yang besar itu sudah mengejar tingkat bunga yang
ditawarkan BBD dan BDN. Kecuali Bank Perkembangan Asia, yang
sejak dulu memang berani memberikan bunga 2% sebulan atau 24%
setahun untuk simpanan deposito berjangka 3 bulan. Sekalipun
belum sampai mendekati tingkat bunga deposito BPA yang berkantor
di Jalan Hayan Wuruk, Jakarta itu, Dirut BBD Omar Abdalla
menyebut kenaikan bunga deposito di banknya sebagai "suatu
loncatan yang sudah lama kami impikan."
Tapi, seperti kata Omar Abdalla, "soalnya kini tinggal bagaimana
bank pemerintah meningkatkan pelayanan mereka kepada para
nasabah." Menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro, yang
berbicara di DPR pekan lalu, bank pemerintah harus lebih aktif
mencari penabung, dan nasabah. Dan menurut Menko Ekuin Ali
Wardhana, para nasabah baru sudah mulai berdatangan ke BBD dan
BDN, sejak kedua bank itu memasang bunga yang lebih menggiurkan
itu. Lagi pula, "menyimpan di bank pemerintah tentu lebih aman,
sebab ada deking BI," kata seorang nasabah kepada TEMPO.
Bank pemerintah, menurut Somala Wiria dirut BNI 1946, kini juga
dituntut bekerja efisien. Sebab tingkat efisiensi inilah,
menurut Somala, yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
bunga deposito, dan pinjaman. "Semakin tinggi tingkat efisiensi
bisa dicapai, akan semakin mudah bank bersangkutan memasarkan
dananya dengan bunga murah," katanya.
Untuk mencapai tingkat efisiensi itu bariyak bank biasanya
berusaha menekan sekecil mungkin pengeluaran tetap untuk pegawai
(overhead). Jika dilihat dari situ, kata Somala, pengeluaran BNI
1946 untuk belanja pegawai "cukup besar." Tahun lalu, bank
terbesar di Indonesia ini (kekayaan per Desember 1982 mencatat
Rp 3,2 trilyun), mengeluarkan dana Rp 67,7 milyar lebih untuk
pos itu, atau 13,9% dari total pendapatan operasinya.
Selain dengan cara menekan overhead, Dirut Somala beranggapan,
tingkat efisiensi sesungguhnya bisa dicapai dari pemasaran dana.
Dengan kata lain, tidak banyak kredit macet dan bisa memberikan
kredit dengan bunga cukup tinggi. Untuk memperoleh tingkat
efisiensi yang tinggi "pendapatan tentu harus optimal," kata
Somala.
Agaknya, cara menghimpun dana seperti dilakukan Bank of Tokyo
boleh ditiru. Bank asing yang berkantor di Wisma Nusantara
Jakarta ini, hampir tidak pernah memasang iklan. Untuk
menghimpun dana deposito, BOT yang sudah punya bagian pemasaran,
juga melibatkan karyawan secara individual. Mereka aktif
mendatangi kenalan, saudara, atau famili untuk jadi deposan.
Ketika dana rupiah di bank itu terasa mulai berlebihan (terlalu
likwid), aktivitas karyawan itu sejak beberapa bulan ini
dihentikan.
Persaingan tajam menyedot dana masyarakat, dengan menawarkan
tingkat bunga deposito yang kompetitif, nampaknya akan terjadi
hari-hari ini apalagi deposito valuta asing pun kini tak dikenai
pajak atas bunga dividen, dan royalty. Panin Bank, yang minggu
ini menerbitkan saham tahap kedua lewat Pasar Modal, paling
cepat bereaksi. Deposito berjangka 3 bulan bank itu, misalnya,
mulai pekan lalu naik dari 13,5% jadi 16,5% per tahun. Posisi
deposito berjangka bank ini, yang pernah mencapai puncak hampir
Rp 85 milyar, pada kuartal pertama lalu tercatat Rp 65 milyar --
karena mendapat tekanan moneter.
Tapi ada juga yang nampak tenang, seperti Bank of Tokyo.
Kompetisi untuk mendapatkan deposito "bukan semata-mata
diandalkan pada pemberian suku bunga, tapi juga pelayanan," ujar
Tadaharu Maeda, staf pemasaran BOT. Sikap seperti itu juga jadi
pegangan Mohamad Djailani, direktur Bank Umum Nasional (BUN).
Bank yang masih memberikan bunga 16,5% untuk deposito Rp 100
juta berjangka sebulan ini, percaya bahwa deposannya tak akan
meninggalkannya begitu saja. "Mereka tentu sungkan kalau
alasannya hanya karena tingkat suku bunga," ujar Djailani.
Usaha memobilisasi dana masyarakat sebesar-besarnya itu juga
dilakukan bank pemerintah dengan Tabanas. Bunga 15% mulai 1 Juni
diberikan untuk tabungan dengan saldo Rp 1 juta, dan bunga 12%
diberikan untuk saldo di atas Rp 1 juta. Sebelumnya, sejak enam
tahm lalu bunga 15% hanya diberikan untuk Tabanas dengan saldo
di bawah Rp 200.000, dan 6% buat saldo di atas Rp 200.000.
Dengan tingkat bunga yang kecil dan tak berubah, Tabanas d bank
pemerintah hanya bisa menyedot dana Rp 482 milyar. Sebagai alat
untuk menghimpun dana dari masyarakat kecil, perkembangan
Tabanas dari tahun ke tahun terasa bergerak seperti siput.
Kelonggaran menetapkan bunga deposito, dan bunga baru bagi
Tabanas itu jelas ada akibatnya buat perbankan pemerintah. Dana
likuiditas, dan subsidi bunga dari BI akan dikurangi secara
menyolok. Untuk berbagai kredit, yang tidak termasuk dalam
program prioritas, BI tak akan memberikan dana likuiditas lagi
kepada bank pelaksana -- kecuali untuk program tertentu (lihat
box).
Volume pinjaman likuiditas, yang diberikan dengan bunga murah
kepada bank pelaksana untuk membantu program pemerataan itu,
sampai September tahun lalu mencapai Rp 4,2 trilyun lebih.
Jumlah ini hampir sama dengan seluruh likuiditas yang dimiliki
bank pemerintah dan swasta sekaligus, yang Rp 4,3 trilyun. Tapi
karena dibatasi pagu pertambahan kredit, tidak semua pinjaman
likuiditas dari BI itu habis dipasarkan. Sejumlah bank
pemerintah kemudian ada yang menempatkan kelebihan likuiditas
itu di deposito bank luar negeri, yang memberikan bunga menarik
atau memutarkannya dalam pinjaman antarbank (call money).
Keuntungan bank pemerintah dari sektor itu akan berkurang
banyak, jika kelak secara besar-besaran BI menarik pinjaman
likuiditas itu. Apa boleh buat. "Kalau bank pemerintah masih
dimungkinkan memperoleh pinjaman likuiditas dari BI, maka
semangat mengerahkan dana dari masyarakat bisa berkurang," kata
Menteri Radius Prawiro.
Karena bank pemerintah kini bebas menetapkan bunga deposito,
maka subsidi bunga untuk deposito 24 bulan, sebesar 4,5%,
otomatis dihapuskan pula. Subdisi untuk deposito itu pada tahun
anggaran lalu mencapai Rp 11 milyar, sebelumnya Rp 12 milyar.
Subsidi itu, menurut BI, ketika itu diberikan mengingat suku
bunga pinjaman bank pemerintah, umumnya ditetapkan lebih rendah
dan bunga deposito 24 bulan.
Sesudah berbagai fasilitas BI tadi dicabut, bisakah deposito
bank pemerintah bersaing? "Saya ramalkan deposito bank
pemerintah akan menang, karena mereka punya jaringan dan
kekayaan lebih besar, hingga bisa cepat merebut kepercayaan
masyarakat," kata Djailani, direktur BUN.
I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta,
bahkan menganggap tingkat bunga deposito itu lebih bersaing jika
dibandingkan obligasi, yang memberikan bunga tetap 15,5% selama
5 tahun. Tapi untuk jangka panjang, menurut Menteri Radius,
obligasi tetap menarik digunakan untuk alat penanaman dana. Apa
pun kata orang dan pejabat, keputusan tentu berada pada pemilik
uang juga. Yang pasti "ini merupakan suatu awal yang baik buat
pasar uang," ujar Dirut BBD Omar Abdalla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini