Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Athena benar-benar amat ramah kepada AC Milan. Di kota tua itu, klub berjuluk Rossoneri ini merengkuh gelar juara Liga Champions untuk ketujuh kalinya setelah menundukkan Liverpool 2-1, Kamis pekan lalu. Mereka terakhir kali merebut piala ini pada 2003 dalam laga derby melawan Juventus di Stadion Old Trafford, Inggris.
Tak cuma menjadi juara, gelandang serang Milan, Kaka, mencatatkan diri sebagai pencetak gol paling banyak. Ia menciptakan sepuluh gol dari 13 pertandingan. ”Tapi saya lebih memikirkan bagaimana cara kami merebut piala itu ketimbang menjadi top scorer. Itu lebih penting,” ujar Kaka.
Piala Liga Champions memang lebih penting dari trofi mana pun di muka bumi ini. Boleh saja sebuah klub menjadi juara di kandangnya, tapi tanpa pernah menggenggam piala perak itu rasanya masih ada yang kurang.
Pelatih Chelsea, Jose Mourinho, menanggung perasaan semacam itu. Ia tampak begitu perkasa melatih klubnya hingga menjadi nomor satu di Inggris. Toh ia tetap merasa tak puas karena belum pernah mengangkat trofi itu, kecuali sewaktu menukangi Porto. Padahal skuad yang dimilikinya di Chelsea jauh lebih sempurna ketimbang klub papan atas Portugal itu.
Tak cuma menerbitkan rasa bangga, piala ini juga memancarkan pesona lain. Sampai saat ini nilai kejuaraan yang hanya diikuti klub-klub papan atas Eropa itu masih yang paling mahal. Jumlah hadiahnya dari tahun ke tahun terus menanjak. Tahun lalu, total hadiahnya ”hanya” 610 juta euro atau sekitar Rp 7 triliun, kini naik menjadi 750 juta euro atau Rp 8,6 triliun.
Fulus sebesar itu mulai dibagi ke klub yang masuk ke putaran final. Tak peduli mereka langsung masuk atau setelah melalui babak penyisihan. Tiga puluh dua klub yang masuk ke babak penyisihan di putaran final ini langsung menerima 4,4 juta euro atau Rp 50,6 miliar.
Saat bertanding, mereka masih mendapat uang main 600 ribu euro atau Rp 6,9 miliar. Jumlah ini naik dari angka tahun lalu, 321 ribu euro atau Rp 3,7 miliar. Hitung saja berapa uang yang mereka terima dari enam kali pertandingan di babak penyisihan. Kalah atau menang, duit 3,6 juta euro atau Rp 41,4 miliar pasti masuk kantong.
Bila lolos ke babak kedua, tim yang menang diganjar bonus 600 ribu euro atau Rp 6,9 miliar. Sedangkan kesebelasan yang bermain seri hanya kebagian uang separuhnya. Tim yang kalah silakan marah-marah sendiri. Sudah menanggung malu, tak dapat uang pula.
Tim juara memperoleh 7 juta euro atau Rp 80,5 miliar. Jangan lupa, jumlah itu masih ditambah uang lain yang diterima sejak babak penyisihan. Tahun lalu, banjir hadiah dialami klub Spanyol Barcelona. Mereka menerima total uang 21,3 juta euro atau Rp 241,5 miliar.
Hadiah uang itu dikumpulkan dari berbagai sumber. Hak siar masih menjadi penyumbang terbanyak. Pemasukan dari stasiun televisi yang membeli hak siar pertandingan itu berkisar 75 persen dari total hadiah. Yang lain berasal dari penjualan tiket.
Memang sulit dipahami, pertandingan olahraga saja bisa mengumpulkan uang sebegitu banyak. Namun badan sepak bola Eropa (UEFA) punya alasan. Angka segunung itu merupakan penghargaan bagi klub-klub di sana.
Maklum, klub yang bertanding di Liga Champions merupakan klub juara atau berada di jajaran elite liga di negara masing-masing. Di kawasan ini pula merumput pemain tenar dari berbagai belahan dunia. Jadi wajarlah bila hadiah yang berputar di sana bikin orang geleng-geleng kepala.
Semua ”kegilaan” itu bermula pada 1955. Saat itu kejuaraan ini masih bertajuk Piala Eropa dan hanya diikuti juara liga negara Eropa. Belakangan, dengan makin majunya industri televisi di benua dingin itu, para pemilik stasiun televisi ikut mendesak perubahan bentuk kompetisi.
Badan sepak bola Eropa akhirnya setuju. Perlahan mereka mengubah dengan memasukkan 16 klub juara ke empat grup. Setelah itu, masing-masing juara dan runner-up diadu. Konsep ini sebenarnya sudah bagus, tapi pemilik stasiun televisi masih keberatan. Soalnya mungkin saja tim besar sudah tersingkir, dan di partai final tinggal tersisa tim underdog. Televisi bisa-bisa ditinggal penontonnya.
Maka konsep pertandingan pun diubah lagi. Kali ini lebih ekstrem. Klub besar di liga utama Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Italia meminta tetap bisa ikut serta dalam kejuaraan sekalipun gagal menjadi juara liga. Badan sepak bola Eropa pusing menghadapi permintaan itu. Bila permintaan tak dipenuhi, klub-klub besar bisa ngambek dan mereka akan kehilangan uang.
Lobi para penggede klub besar itu membuahkan hasil. Bukan cuma juara liga yang bisa tampil di kejuaraan ini. Mereka yang ada di posisi kedua, ketiga, dan keempat di masing-masing liga pun boleh turut serta—ini hanya berlaku untuk Liga Inggris, Spanyol, dan Italia. Liga yang lain ada yang diwakili dua klub, ada yang tiga. Semua klub itu menginginkan pemasukan dari televisi dan iklan.
Dengan aturan seperti itu, tak ayal jika klub dari negeri kelas dua seperti Denmark, Swedia, Polandia, atau Republik Cek harus puas menjadi penggembira. Biasanya mereka langsung remuk tiap kali bertemu klub dari Inggris, Italia, atau Spanyol. Liga Champions paling banter hanya menjadi etalase bagi klub yang ingin menjual pemainnya.
Lantas berapa fulus yang diterima Rossoneri tahun ini? Jauh-jauh hari para ahli bisnis olahraga di Eropa sudah mengutak-atik kisaran uang yang bakal diperoleh tim juara. Hasilnya? Sang pemenang bisa menangguk uang hingga 67 juta euro atau Rp 770,5 miliar. Hadiah terutama diperoleh dari hak siar televisi dan sponsor. Uang dari sponsor bisa menyumbang 34 juta euro atau naik empat kali lipat.
Keuntungan lain masih menunggu. ”Harga pemain akan naik dan klub kian memiliki pengaruh di liga,” kata seorang ahli di perusahaan MasterCard yang melakukan penghitungan. Kenaikan harga pemain ditaksir bisa mencapai 10-30 persen. Klub sendiri mendapat tambahan uang dari hasil penjualan hak siar televisi. Belum lagi penjualan merchandise yang bisa meloncat seratus persen. Pernak-pernik klub itu biasanya diborong para penggemar.
Penelitian yang dilakukan Mastercard juga menunjukkan bahwa gelar yang diperoleh bisa membuat jumlah turis yang berkunjung ke kota itu meningkat. Tengok saja apa yang dialami Liverpool. Saat menjadi juara dua tahun silam, pemasukan klub mencapai 70 juta euro atau Rp 805 miliar. Uang sebanyak itu masuk melalui pariwisata, sponsor, dan perdagangan.
Masuknya uang dalam jumlah besar tak pelak akan membuat AC Milan makin bersinar pada musim depan. Buat klub sekaya Milan sekalipun, duit itu tetap berguna untuk banyak hal: membeli pemain dan memberikan bonus agar pemainnya lebih greng pada musim berikutnya. Duh, jadi ingat lagu dangdut, ”Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin....”
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo