Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maunya cepat sembuh, penderitaan Muharam alias Romli, 65 tahun, justru makin menjadi-jadi setelah pergi ke dokter. Kakek tiga cucu yang tinggal di Desa Darungan, Kecamatan Tanggul, Jember, Jawa Timur, ini tadinya cuma merasa tak enak badan. Ia kemudian memanggil dokter Aji, yang biasa berpraktek keliling mengobati warga di kampungnya.
Setelah memeriksa, Pak Dokter memvonis Romli menderita radang amandel. Untuk itu, Aji menyuntik Romli dan memberikan tiga jenis obat yang mesti diminum teratur. Namun, bukannya membaik, keluhan Romli justru bertambah. Perutnya kerap merasa mulas, tapi saat dia nongkrong di jamban tak juga bisa buang air besar.
Khawatir ada yang salah dengan obat yang diminumnya, Romli pergi ke puskesmas di desanya. Di sana, dokter menyatakan ia tak menderita radang amandel. Obat yang diminum dengan dosis tiga kali sehari itu pun tak pas dengan penyakitnya. Wajarlah bila perut si kakek memberontak tanpa jeda.
Usut punya usut, warga lain mengaku punya keluhan serupa setelah bokong mereka disuntik dan mereka meminum obat resep dari dokter Aji. Padahal ongkos yang dikeluarkan cukup besar untuk ukuran kantong orang desa, yaitu Rp 30 ribu. Biaya berobat di puskesmas saja tak sampai Rp 10 ribu.
Polisi yang mengendus keluhan warga akhirnya mencokok sang dokter. Dan terbongkarlah kedoknya: Aji ternyata bukan dokter seperti empat tahun ini diyakini warga. Pengakuan meluncur dari mulutnya bahwa ia cuma lulusan SMA dan selama ini bekerja sebagai petani.
Empat belas tahun silam ia memang pernah magang di puskesmas. Lantaran sering melihat pekerjaan dokter dan mendengar keluhan pasien, ia merasa dirinya pun bisa menjadi dokter. Apalagi aktingnya tak kalah dengan aktor sinetron: berbaju putih, dengan stetoskop menggantung di leher, serta menenteng tas berisi alat injeksi dan obat-obatan.
Kini Aji harus menebus kesalahannya dengan mendekam di tahanan Kepolisian Resor Jember. Ia disangka melanggar Undang-Undang Praktek Kedokteran dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau denda Rp 150 juta.
Selama beraksi sebagai dokter gadungan, Aji juga dinilai telah membahayakan keselamatan pasien karena cuma menggunakan satu jarum suntik. Namanya juga dokter jadi-jadian. Dia tak paham, menyuntik tanpa jarum steril bisa menularkan penyakit ke pasien lain.
Mahbub Djunaidy (Jember)
Perda Kambing Makan Tuan
Keindahan dan ketertiban kota sudah galibnya menjadi tanggung jawab petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Begitu pula di Kota Madiun, Jawa Timur. Tapi di sana aparat berseragam biru gelap itu punya pekerjaan yang jauh lebih merepotkan ketimbang sejawatnya di kota lain. Mereka tidak cuma sibuk mengurus pengemis, gelandangan, atau pedagang kaki lima.
Pekerjaan yang membuat kesibukan mereka bertambah adalah mengusir kambing. Penduduk Madiun rupanya punya kebiasaan melepas kambing peliharaan mencari rumput di sela-sela jalan beraspal. Tak sulit menemukan hewan berjenggot itu di tengah kota. Mereka ada di stasiun kereta, bahkan sering berada di taman-taman kota. Jika tak ada rumput, tanaman hias pun jadi santapan.
Jengkel dengan kondisi itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Madiun Sutoyo memberikan ultimatum bahwa kambing tak boleh lagi berkeliaran di tengah kota. Dia punya senjata: peraturan daerah atawa perda. Tapi urusannya ternyata tak mudah. ”Menangkap mereka susah sekali. Saya sampai ngos-ngosan,” kata Ardi, anggota Satpol yang harus merazia kambing di sekitar stasiun kereta, Kamis dua pekan silam.
Masalah ternyata tak berhenti di situ. Setelah kambing-kambing itu ditangkap, muncul problem lain. Mereka harus mencari pakannya sampai pemiliknya datang. Untunglah mereka tak terlalu lama menunggu. Kambing-kambing itu pun boleh dibawa pulang, tentu saja setelah pemiliknya membuat pernyataan tertulis tak akan membiarkan hewan-hewan tersebut berkeliaran di tempat umum.
Jika si pemilik masih membandel, ancamannya tak main-main. Peraturan daerah kota itu menyebutkan, jika kambingnya berkeliaran di tengah kota, sang pemilik bisa dikurung tiga bulan atau didenda Rp 25 juta. Padahal harga kambing di sana paling banter cuma setengah juta rupiah. Oalah.
Dini Mawuntyas (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo