Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN bebas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk dua pejabat BNI dalam kasus pembobolan dana bank itu senilai Rp 1,2 triliun terkesan diskriminatif.
Pada 2004, ketika kasus tersebut terjadi, polisi dan pejabat BNI bekerja sama dalam kasus yang mengantar terdakwa Adrian Waworuntu ke dalam penjara untuk seumur hidup itu. Pejabat Bank BNI dan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI bersepakat mengusut habis kasus ini. Kerja bareng yang patut dipuji. Tapi ada masalah: polisi hanya punya dana operasi Rp 2,5 juta untuk setiap kasus. Solusi yang jitu perlu dibuat.
Inilah solusi yang sayangnya salah itu: BNI mengucurkan dana operasi untuk polisi. Dua pejabat BNI yang dibebaskan tadi—M. Arsyad, mantan direktur kepatuhan, dan Tri Kuntoro, bekas kepala divisi hukum—memberikan 40 lembar traveler’s cheque senilai Rp 1,8 miliar kepada pejabat Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Tiga pejabat polisi—Suyitno Landung, Samuel Ismoko, dan Irman Santosa—karena pemberian ini, juga karena menerima fasilitas lain dari terdakwa, akhirnya dihukum penjara 18, 20, dan 32 bulan. Kalau ketiga polisi dihukum karena menerima suap, aneh jika hakim malah membebaskan pemberi suap.
Tak mungkin ada tindak korupsi kalau tak ada pemberi dan penerima. Dua pihak itu, menurut aturan hukum kita, harus mendapat sanksi. Katakanlah Arsyad dan Tri Kuntoro sekadar menjalankan tugas instansi. Jika begitu adanya, seharusnya ada pejabat lebih tinggi yang bertanggung jawab atas tindakan memberikan uang operasional kepada polisi itu.
Perlu diingat, tidak ada satu aturan hukum pun yang mengharuskan BNI menanggung biaya operasi polisi. Pengucuran dana untuk polisi oleh pejabat BNI bisa dikategorikan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi mengancam pelakunya hukuman penjara 1 sampai 20 tahun, bisa disertai denda Rp 50 juta sampai Rp 1 miliar.
Sepintas, pertimbangan hakim Yohanes Binti untuk membebaskan Arsyad dan Tri Kuntoro masuk akal: dana pemberian BNI itu justru penting untuk menyelamatkan uang negara. Dengan dana itu, polisi lebih sigap bertindak dan akhirnya sekitar 30 persen dari dana yang ditilap dapat ditarik kembali. Tapi hakim tidak mempertimbangkan bahaya yang lebih besar.
Jika kegiatan operasional polisi bergantung pada sumbangan yang diberikan instansi, prioritas penanganan kasus oleh polisi akan disusun berdasarkan besarnya dana sumbangan pihak yang dilayani. Instansi yang menyumbang paling besar tentu menuntut penanganan lebih cepat. Celakalah instansi atau perusahaan yang tidak sanggup menyumbang sama sekali. Polisi pun sulit untuk tidak mendahulukan instansi yang sudah memberikan sumbangan besar. Lama-kelamaan polisi bukan lagi milik seluruh rakyat, melainkan menjadi milik mereka yang mampu bayar. Mumpung belum terlambat, kebiasaan buruk menyumbang polisi ini lebih baik dibunuh sama sekali.
Polisi sudah memiliki dana operasional sendiri. Tahun-tahun belakangan, anggaran kepolisian malah meningkat cukup tajam. Seandainya ada yang ingin menyumbang polisi, lebih baik sumbangan itu diserahkan ke kas negara, untuk nantinya dimasukkan ke anggaran tahunan kepolisian. Polisi tidak boleh bergantung pada siapa pun.
Toh, masih ada kesempatan mengoreksi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu. Jaksa harus segera mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo