PERISTIWA ini tak pernah terjadi sebelumnya. Namun, sebuah kontraktor, rekanan pemerintah, menggugat pemerintah, dan menang lagi. Itulah yang dialami PT Reditama Harapan Jaya Agung Konsorsium (RHJAK). Kontraktor, yang mendapatkan proyek peningkatan jalan Cepu --Gemolong, itu bersengketa di pengadilan dengan Departemen PU, si empunya proyek. Sengketa itu semakin seru ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang diketuai Sarwoko memvonis Departemen PU bersalah, dan menghukum instansi pemerintah itu membayar ganti rugi Rp 4,6 milyar kepada kontraktornya. "Sebenarnya, sudah biasa pemutusan hubungan kontrak terjadi antara PU dan kontraktor, tapi baru kali ini yang sampai menjadi perkara di pengadilan," kata Dirjen Bina Marga Suryatin Sastromiyo. Menteri PU Suyono Sosrodarsono, yan gagaknya tidak biasa berperkara apalagi dikalahkan pengadilan, tentu saja sangat kecewa atas vonis itu. Kekecewaan itu tidak ditutup-tutupinya. Dalam acara dengar pendapat antara Departemen PU dan DPR, Februari lalu, keputusan hakim itu dikeluhkannya. Bahkan dilaporkan pula kepada Menteri Sekretaris Negara Sudharmono. "Sikap dan keputusan hakim itu menurut kami tidak adil serta jelas telah merugikan negara dan menimbulkan ketidakpastian hukum," tulis Suyono dalam suratnya, yang juga ditembuskan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Pada Oktober 1983, kontrak pembangunan jalan Cepu-Gemolong ditandatangani oleh Departemen PU dan RHJAK. Kontrak senilai Rp 4,1 milyar -- dengan dana dari Asian Development Bank (ADB) itu -- meliputi pengaspalan jalan hodrool sheet sepanjang 85 km dengan lebar 5 meter dan tinggi pengaspalan sekitar 7 cm serta perbaikan 20 jembatan. Menurut bunyi kontrak, keseluruhan pekerjaan itu harus diselesaikan PT KHJAK tidak lebih dari 821 hari. Ternyata, sampai Maret 1984, RHAJK yang dipimpin Drs. H. Aswir Dainy Tara, menurut pihak PU, belum melakukan kegiatan yang berarti. Bahkan, kabarnya, perusahaan kontraktor itu sampai saat itu masih kesulitan material dan personel untuk mengerjakan pekerjaan besar itu. Setelah diadakan perundingan dengan PU, RHAJK kembali diberi kesempatan melanjutkan tugasnya. Tapi, sampai Agustus 1984, RHJAK baru mampu melaksanakan sekitar 1% dari target 7% keseluruhan pekerjaan. Setelah itu, sampai Juni 1985, berulang kali peringatan dan perundingan dilakukan PU kepada rekanannya itu tetap tanpa perkembangan yang berarti, sehingga akhirnya kontrak diputuskan sepihak oleh instansi itu. "Selama dua tahun, kontraktor itu hanya menyelesaikan 9% dari pekerjaan yang harus dilakukannya, karena itu kami anggap tidak mampu," ujar Wakil Pimpinan Proyek (pimpro), Rusiyat. Menurut Menteri PU Suyono, pekerjaan tidak pula dikerjakan oleh RHAJK, tapi diborongkan ke perusahaan lain, PT Surya Andalas, yang tidak berpengalaman dan tidak pula memiliki peralatan dan personel yang cukup untuk mengerjakan proyek itu. Setelah itu, pihak PU, atas persetujuan Sekretariat Negara (Sekneg), mengalihkan pekerjaan itu kepada PT Yala Persada Angkasa dengan nilai kontrak dinaikkan menjadi Rp 5,6 milyar dan perpanjangan waktu selama 1 tahun 6 bulan. Pengalihan kontrak dan keringanan kepada kontraktor baru itu yang kemudian digugat oleh RHJAK melalui Pengacara Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Sebab, menurut RHJAK, keterlambatan pekerjaan itU akibat faktor-faktor di luar perusahaan itu. Hambatan itu, kata mereka, pertama akibat larangan dari pemda untuk menggunakan jalan kabupaten Wonosegoro-Karanggede dan Andong untuk mengangkut material. Padahal, jalan itu satu-satunya yang bisa digunakan untuk itu. Di persidangan, alasan RHJAK ternyata lebih diterima hakim. Sebab itu, Menteri PU Suyono, selain banding, mengkritik keras vonis Sarwoko tadi. Sayangnya, Sarwoko kini sudah pindah menjadi hakim tinggi di Ujungpandang, sementara hakim anggotanya tidak berani memberikan keterangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini