Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berita Tempo Plus

Puncak setan telah takluk

Tim mapala ui tantyo bangun,27, ripto mulyono,28, dan tim yayasan putri indonesia berhasil mengibarkan merah putih di puncak aconcagua. kesabaran untuk berklimatisasi sangat penting.

30 Januari 1993 | 00.00 WIB

Puncak setan telah takluk
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUNCAK Aconcagua, yang oleh para pendaki gunung dijuluki puncak setan, tertaklukkan. Rabu siang, 13 Januari lalu, dua anggota Mapala UI, Tantyo Bangun, 27 tahun, dan Ripto Mulyono, 28 tahun, berhasil mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera Mapala UI di sana. Sukses ini seakan menghapus kegagalan tahun lalu, ketika tim Mapala UI yang terdiri dari Norman Edwin, Didiek Samsu, Rudi Nurcahyo, Fayez, dan Dian Hapsari gagal mencapai puncak. Maret tahun lalu itu, Norman dan Didiek malah jadi korban. Aconcagua mempunyai karakter sulit ditebak. Dalam cuaca terang, tiba-tiba bisa muncul ''angin setan'' berkecepatan 250 kilometer per jam. Suhu pun turun mendadak jadi minus 70 C.Puncak setinggi 6.959 meter yang terletak di Pegunungan Andes, perbatasan Cili-Argentina, di Benua Amerika itu, telah menewaskan 200 orang lebih. Cuaca memang hambatan di sana. Sewaktu hendak didaki tim UI, misalnya, jalan menuju puncak tertutup salju sampai 20 meter. Selagi mereka beraklimatisasi (penyesuaian kondisi tubuh) di ketinggian 4.800 meter di Plaza de Mulas, juga terserang badai dingin dari malam hingga pagi. Embusan angin lembap dari pusat inti siklon di Lautan Pasifik pun mengganggu, mencapai minus 20 C. Dua belas hari waktu yang dibutuhkan tim UI untuk mencapai Refugio Berlin (5.800 meter). Dari sinilah disusun strategi untuk menuju puncak. Rabu pagi pukul 06.00 itu, mereka pun mendaki. Awalnya cukup lancar. Tapi, setengah jam menjelang puncak, Ripto mendengar pemberitahuan radio dari kemah induk di Plaza de Mulas. ''Kami mendapat peringatan agar segera turun,'' kata Ripto. Soalnya, ada awan berbentuk jamur putih menyungkupi puncak. Artinya, badai akan segera menerjang. Tapi pendaki tim UI pantang menyerah. Diputuskan jalan terus. Nasib baik agaknya memihak. Mereka berhasil ke puncak dan mengibarkan bendera kebanggaan itu. Mereka pun menulis tanggal dan jam mencapai puncak di dalam logbook yang terbungkus plastik di dekat salib yang terpancang di puncak. Awan jamur itu ternyata menyungkupi puncak selatan. Empat jam kemudian, tiga pendaki wanita dari Yayasan Putri Indonesia, Jonetje, 28 tahun, Aryati, 28 tahun, dan Clara, 25 tahun, juga berhasil mengibarkan Merah Putih dan bendera Dharma Wanita di puncak setan itu. Rencananya, tim putri ini mencapai puncak pada 12 Januari, tepat pada saat peringatan Tritura. Tapi gagal. Persiapan ekspedisi ini selama enam bulan, antara lain, mendapat gemblengan di Pusdik Kopassus Batujajar, Jawa Barat. Ada pertanyaan, mengapa tahun lalu Norman dan Didiek meninggal di rute normal, yang secara teknis tak sulit? Tantyo dan Ripto menyimpulkan, faktor cuaca dan aklimatisasi menjadi hambatan. Cuaca memang sulit ditebak. Tapi soal aklimatisasi bisa menjadi pelajaran. Menurut Tantyo, sejak di ketinggian 1.500 meter, jika seseorang menambah kenaikan 100 meter, kemampuan tubuhnya berkurang satu persen. Jadi, secara kasar, pada ketinggian 7.000 meter, kemampuan manusia tinggal 50 persen. Pada rute normal ini, para pendaki dengan mudah menambah ketinggian. Repotnya, ''jebakan'' ini tak disadari. Mereka tak menyadari bahwa kemampuan tubuh beradaptasi belum sempurna. Akhirnya bisa diserang mountain sickness (penyakit ketinggian) dengan gejala pusing dan kehilangan keseimbangan. ''Selama pendakian, menjadi pemandangan sehari-hari, pendaki dipapah turun karena penyakit ketinggian ini,'' tulis Tantyo Bangun dari Argentina untuk TEMPO. Untunglah, saat ini, dokter di Plaza de Mulas telah dilengkapi dengan hyperbaric caisson. Kabin terbuat dari plastik itu dipompa dengan tekanan udara sama dengan yang ada di permukaan laut. Pasien tadi segera saja dimasukkan ke kabin untuk pemulihan. Hambatan penyakit ketinggian itu bisa dihindari tim UI karena mereka sudah diperingatkan Robert Eckhart, redaktur majalah Alpine Club, sejak berada di Belanda. ''Aklimatisasi mutlak bagi pendaki Aconcagua. Sebab, tekanan udaranya di atas ketinggian 4.000 meter termasuk aneh,'' kata Eckhart, seperti diceritakan Tantyo. Pendaki kenamaan Mendoza, Alejandro Randis, membenarkan. Pada ketinggian 4.000 hingga 5.000 meter, banyak yang terkena oedema (kurang sempurnanya proses aklimatisasi dari puncak ke bawah atau sebaliknya). Kata Tantyo, pada saat pendakian, seorang pendaki Yunani meninggal karena cerebral oedema (yang menyerang otak). Cara tim UI agar proses aklimatisasinya tidak terganggu adalah mengisi tubuh dengan kalori tinggi. Misalnya, sejak di Argentina, mereka menyantap daging sekitar 1,5 kg sehari dan mengurangi latihan fisik. Cara ini cukup membantu menyesuaikan diri pada ketinggian. Kesabaran untuk beraklimatisasi sangat penting. Ekspedisi Jepang waktu itu memerlukan 16 hari untuk aklimatisasi sebelum mencapai puncak. Untuk Anda ketahui, puncak Aconcagua pernah didaki dengan rekor tercepat 5 jam 45 menit, dari Plaza de Mulas. Tapi, asal tahu saja: D. Porsche, pendaki Jerman yang membukukan rekor itu, sudah beraklimatisasi duluan. ''Ia melakukan tracking naik turun selama dua minggu sebelumnya,'' kata Carlos Tejerina, manajer hotel Plaza de Mulas. Sebelum meninggalkan Aconcagua, pada 16 Januari, di Puento del Inca (2.730 meter), Tantyo dan Ripto ikut mengadakan peletakan plakat peringatan tewasnya Norman dan Didiek. Upacara tersebut dilakukan Dubes Argentina Abdullatief Taman, disaksikan antara lain Dubes Cili Soekarno Hardjosoedarno. WY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus