RUU KUHP yang baru mendapat tanggapan ramai karena banyak memasukkan masalah kesusilaan seperti zina dan perkosaan. TEMPO menurunkan tiga tulisan yang menyoroti masalah ini, dua lainnya di halaman 98-99. URUSAN marital rape mencuat ke permukaan bersamaan dengan konsep RUU KUHP yang merumuskan peraturan di bidang kesusilaan. Dalam RUU KUHP itu, kelak seorang istri dapat mengadukan sang suami dengan tudingan telah memerkosanya. Sesuatu yang baru di negara kita. RUU KUHP ini memang banyak menyentuh masalah yang selama ini dianggap sebagai wilayah ''pribadi''. Masalah kesusilaan seluruhnya terdiri dari 31 pasal. Memasukkan pengertian pemerkosaan dalam ikatan perkawinan oleh sebagian orang dianggap sebagai kemenangan kaum feminis. Lepas dari kaum feminis merasa menang atau tidak (dan apa benar penentang pemerkosaan cuma penganut feminisme belaka?), harus diakui masyarakat cenderung bersikeras bahwa pemerkosaan dalam perkawinan itu hal yang mustahil terjadi. ''Tidak mungkin akan ada pemerkosaan dalam keluarga bila si istri tidak menolak keinginan suaminya,'' kata seorang pemuka agama. ''Tidak ada akar budaya kita menuduh suami memerkosa,'' kata seorang pakar hukum. Tetapi sekian psikiater dan pelayan bantuan hukum dapat membeberkan pelbagai kasus mengenai ''pemaksaan'' suami saat melakukan ''hubungan intim'' dengan istrinya yang diadukan oleh para istri itu. Jika sesuatu tidak pernah dibicarakan secara terbuka, atau karena tidak ada definisinya menurut norma agama, apa itu dapat dikatakan tidak ada? Menurut Marie Marshall Fortune dalam buku Sexual Violence, The Unmentionable Sin (1983), para agamawan penasihat perkawinan (biasanya pria) cepat mengambil kesimpulan begini: ''Karena tidak pernah ada orang datang mengadu tentang masalah ini, masalah ini tidak ada. Karena tidak ada problem, hal itu tidak perlu saya pikirkan.'' Ironis, kata Fortune. Orang tidak pernah mendengar soal penganiayaan seksual karena orang tidak pernah membicarakannya. ''Sikap membisu bukanlah indikasi bahwa sebuah masalah tidak ada diam seribu bahasa itu sendiri adalah teriakan penolakan yang gaduh dan berdentang mengenai suatu masalah yang nyata-nyata hadir.'' Mengapa sikap diam tersebut tidak lekang? Sejarah panjang sistem patriarkal yang menomorduakan perempuan ikut menyumbang hal yang satu ini. Korban kekerasan seksual secara lazim adalah perempuan -- dewasa ataupun anak. Viktimisasi kaum perempuan larut dalam kebisuan, dan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk diperhitungkan. Tidak heran bahwa akhirnya kebisuan itu ikut mendukung status quo keterkucilan perempuan. Kaum korban kekerasan seksual selama ini cenderung menyimpan penderitaan mereka. Ini, menurut Fortune lagi, melulu adalah konsekuensi logis terhadap aib yang dilekatkan masyarakat terhadap kaum yang menjadi korban. Dan tidak ada korban yang lebih nista ketimbang korban pemerkosaan. Tidak saja ia telah dianiaya secara badaniah. Kelak, jika kisah tindak pemerkosaan terhadapnya sampai terungkap dalam masyarakat, ia akan dianiaya sekali lagi -- kali ini secara psikis -- lewat cibiran, pengucilan, dan penudingan bahwa ia pun ikut ada andil sampai ia diperkosa. Penasihat agama yang memberinya konseling menganjurkannya agar mencoba menyelesaikan persoalan dalam lingkup keluarga saja. Dokter yang merawatnya (jika ada) cenderung tidak mau dituding ikut campur, jadi tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain. Petugas kepolisian membuat laporan ala kadarnya sembari mengatakan kepadanya bahwa tidak banyak yang dapat diperbuatnya. Adapun pengacara menganjurkan agar tidak mengajukan gugatan karena kasusnya terlalu lemah, dan mereka akan kesukaran memberikan bukti. Kesemua itu kian mempribadikan penderitaan sang korban. Apalagi kalau si korban mengenal si pemerkosa -- lebih-lebih bila pemerkosanya adalah suaminya sendiri. Sang korban akan semakin diimpit oleh perasaan harus menyimpan rahasia ini sebaik mungkin, menyimpannya dalam batas keluarga saja, dan harus tetap membisu. Kembali ke soal RUU KUHP yang baru itu. Tampaknya, pasal-pasal yang mengatur kesusilaan ini menjadi ramai diperdebatkan karena ada suatu peromantisan yang tebal terhadap perkawinan sebagai salah satu lembaga terusang dalam masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa RUU baru ini ingin mengamankan norma nasional. Norma di sini dapat dibaca sebagai antihubungan di luar pernikahan. (Ketua Tim RUU KUHP, Profesor Mardjono Reksodipuro, mengatakan: ''Kalau sudah mau hidup bersama, mengapa tidak menikah saja?'') Tetapi, dengan napas yang sama, orang akan menyambungkan dengan pikiran bahwa, ''Jika menikah, seks sudah dihalalkan, apa perlu lagi UU yang memberi sang istri peluang untuk mengadukan bahwa suaminya telah melakukan sesuatu yang sebenarnya adalah mutlak haknya?'' Gagasan RUU yang mengakui kehadiran marital rape lahir dalam semangat persamaan hak asasi antara suami dan istri. Sayang, tampaknya sebagian masyarakat belum melihat perkawinan dalam konteks begitu, karena masih terpaku pada pikiran ada pihak yang melayani dan dilayani, ada pihak yang mempunyai hak lebih di atas pihak yang satu lagi. *)Anggota pusat informasi dan komunikasi perempuan Kalyanamitra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini