SEJAK berhasil jadi juara dunia, 3 Mei lalu, Ellias Pical, 25, betul-betul jadi "bintang" di mana-mana. Acara di luar ring-nya padat siang dan malam. Maklum, datang bertubi-tubi undangan yang mengharapkan bujangan lugu dari Saparua, Maluku, ini hadir di acara mereka. Di Jakarta, sejak Kamis malam pekan lalu, Elli, misalnya, tampak jadi bintang tamu tetap untuk acara yang bisa dianggap sebagai promosi Hotel Sahid Jaya. Hotel itu, yang selama ini menjadi tempat menginap rombongan penantang dan pemegang gelar pertarungan perebutan juara tinju kelas superterbang IBF, rupanya menyiapkan paket khusus: Acara Makan Malam Bersama Ellias Pical, untuk para tamunya di Golden Ball Room. Malam perdana acara petinju kidal itu sukses. Terutama untuk memancing pengunjung. Dan Elli, yang kebetulan punya kesukaan menyanyi, tapi amat pemalu itu, pun berhasil menyegarkan suasana. Selama beberapa malam, sampai Senin malam pekan ini, acara itu dilalui Elli dari pukul 20.00 hingga 23.00 WIB. Dan siangnya, acara lain menantinya. Minggu pekan lalu, misalnya, panitia balap mobil kerja sama perusahaan mobil Nissan dengan pabrik rokok Gudang Garam juga mengundang Elli untuk hadir guna mengebutkan bendera start sekaligus memberikan hadiah bagi lomba yang diselenggarakan di kawasan Ancol, Jakarta, itu. Tak jelas berapa petinju yang biasa hidup sederhana itu dibayar untuk beberapa acara yang bisa "menarik datangnya pengunjung" itu. Namun, yang pastl, hampir di setiap acara yang dihadirinya, Elli dapat sambutan meriah. Yang tak puas dan cemas dengan perlakuan yang agak berlebihan terhadap Ellias Pical itu adalah pelatihnya, Simsom Tambunan, 47. Adik kandung Rio Tambunan, bekas kepala Dinas Tata Kota DKI, ini beberapa kali meminta agar petinjunya tak terus-terusan disanjung. 'Jangan terlalu dibesar-besarkan. Saya khawatir dia lupa daratan nanti," kata pelatih yang sudah lima tahun menangani Ellias Pical itu, serius. Dijumpai TEMPO, insinyur sipil ITB ini terus-terang menyatakan, publikasi dan sanjungan yang berlebihan diberikan kepada petinjunya tak akan membuat dia berubah memperlakukan Elli. "Dia, bersama petinju lain di Garuda Jaya, akan saya genjot latihan, begitu selesai istirahat,".kata pelatih yang mengaku digelari "pelatih singa" oleh sekitar 20 petinjunya di Garuda Jaya, karena amat keras dalam melatih. Begitu meyakinkan Simson di mata anak-anak asuhannya sehingga Elli, misalnya selesai diterima Presiden, Kamis pekan lalu merasa mampu mempertahankan gelarnya. "Paling tidak selama tiga tahun," katanya yakin. Tampak senang dan bersemangat setelah menerima nasihat dan hadiah arloji dari Kepala Negara, Elli mengatakan kepada Praginanto dari TEMPO, "Akan berjuang terus." Adapun Simson, karyawan DKI itu, sudah ikut membantu mengurus Garuda Jaya setahun setelah abangnya mendirikan sasana itu. Waktu itu, sekitar 1969, ia masih mahasiswa. Sambil studi, dia sedikit-sedikit membantu kelancaran jalannya sasana yang berdiri dengan modal sekitar Rp 500.000 itu. Setelah selesai kuliah, sekitar 1976, Rio, yang rupanya makin sibuk, memintanya untuk membantu menjalankan roda kegiatan Garuda Jaya. Bersama Anton Sihotang, manajer Garuda Jaya, sejak saat itu pula Simson resmi merintis kariernya sebagal pelatih. "Saya tak punya pengalaman sebagai petinju. Hanya belajar teknik tinju dari buku-buku," kata pelatih yang antara lain pernah ikut membesarkan Piet Gomies, juara kelas welter ringan profesional Indonesia, yang kini bergabung di sasana Satria Kinayungan, Jakarta, itu. Hanya buku, "ditambah banyak melihat pertandingan tinju", itulah senjata yang dipakai Simson dalam melatih. Dan sekaligus pula, itulah bedanya dia dengan sejumlah pelatih lain yang umumnya bekas petinju. Dia pun membuktikan keberhasilannya sebagai pelatih, ketika petunjuknya dipakai Elli mengalahkan Ju Do Chun di ronde ke-8. "Uang tak saya peroleh dari kegiatan ini," kata pengagum Angelo Dundee, manajer dan pelatih petinju Muhammad Ali, itu lantang. Bahkan, katanya, dia kerap harus merogoh kocek untuk bisa membantu kelancaran latihan dan kegiatan sehari-hari sasana yang sebulannya minimal memerlukan dana sekitar Rp 3 juta itu. Sejak enam bulan lalu, dalam suasana persiapan "menduniakan" Ellias Pical, misalnya, dana lebih besar harus dikeluarkan sasana itu. "Total biaya yang dihabiskan untuk keperluan latihan Elli sekitar Rp 24 juta," kata Anton Sihotang, manajer Garuda Jaya. Dan sekitar Rp 6 juta dana itu datang dari kantung Simson sendiri. Semua dana itu, sampai kini, belum kembali. Dan menurut Simson, "Tekor itu sudah hal biasa dalam mengurus tinju." Pengakuan serupa diutarakan pengasuh sasana lain. Misalnya Setiadi Laksono, dari Sawunggaling, Surabaya. Mendirikan sasana sejak 1970, Setiadi karena itu sudah lama menganut prinsip "membesarkan keluarga" dalam menghidupi sasananya. Kini sasana mereka memiliki tujuh petinju, satu di antaranya "petinju harapan" Yani Hagler, 17. Berpatokan pada prinsip itu, ia mengatur manajemen sasananya juga dengan "sistem kekeluargaan". Artinya, para petinju adalah anggota keluarga yang "makan seadanya berdasarkan jumlah rezeki" yang diperoleh. Tiga puluh persen perolehan dari pertandingan-pertandingan nanti diberikan ke kas dan selebihnya buat pribadi sang petinju. Toh, tetap saja, seperti diakui Herman Sarens Sudiro, pemilik sasana Satria Kinayungan, hasil yang diperoleh petinju bayaran tak memadai. "Karena itu, kendati ada ketentuan pembagian hasil, saya biasanya sering membagikan seluruh hasil bayaran kepada para petinju," kata pemilik sasana yang kini mengasuh empat petinju itu. Itulah yang selama 14 tahun terjadi di sejumlah sasana tinju bayaran di Indonesia. Hanya satu dua sasana, seperti Garuda Jaya, yang mengelolanya secara lebih profesional. Dan sejak tahun lalu sasana Chandradimuka, Bali, juga mulai berbenah diri. Sasana itu baru saja dihidupkan oleh Dali Sofari, 39, dengan suntikan dana sekitar Rp 100 juta. Memiliki enam petinju pro, sasana yang diperkuat pelatih tenar Daniel Bahari ini pelan-pelan, menurut Dali, sedang berusaha menggodok petinjunya, di antaranya Francisco Lisboa dan Alexander Wassa, dua petinju andalan yang baru sekitar setahun mereka tarik dari tinju amatir, menjadi petinju pro. Mereka diharapkan bisa mengikuti jejak Ellias Pical. Merah Sakti Laporan Moebano Moera (Jakarta) dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini