Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGISNYA tetap terdengar bahkan hingga ruang ganti setelah pertandingan usai. Saat pemain lain mengepak barang, John Terry masih sesenggukan. Matanya sembap, hidungnya mampat. Ricardo Carvalho, pemain belakang Chelsea, mengaku kehabisan akal untuk menghentikan tangis sang kapten. “Kami tak bisa menyetopnya,” katanya sembari geleng-geleng kepala. Avram Grant, sang manajer, tak kurang gigih. Kalimat penghibur disemburkannya. Gagal. “Dia tak juga mau bicara. Dia sangat sedih dan hanya bisa menangis,” papar si gendut asal Israel itu.
Menghadapi partai final Liga Champions, semua pemain Chelsea sudah berlatih menendang penalti. Selama sepekan Terry termasuk yang melakukannya dengan sempurna. Tapi, memang, dalam latihan itu tidak ada penonton. Tak ada rumput basah.
Gara-gara rumput basah, Terry, yang semula begitu anggun dan percaya diri saat menghadapi titik 12 pas, tiba-tiba terpeleset. Bola yang disepaknya mengapung dan melenceng. Sejak itulah air matanya tak pernah berhenti menggenang. Apalagi setelah tendangan terakhir dari Nicholas Anelka dapat diblok kiper Manchester United, Edwin van der Sar. Terry pun merasa menjadi penyebab kekalahan Chelsea.
Di tribun, bos besar klub ini, saudagar minyak Roman Abramovich, langsung menutup wajahnya saat Terry gagal mengeksekusi tendangan penalti. Punah sudah harapan itu. “Mau bilang apa lagi? Kami mendominasi permainan. Keberuntungan tidak berada di pihak kami,” kata Grant.
Musim ini adalah yang terburuk bagi Chelsea. Tahun lalu masih lumayanlah. Meski kehilangan gelar Liga Primer, klub itu masih beroleh Piala Football Association Challenge (FA Cup). Musim ini, di final Piala Carling, Chelsea digasak Tottenham Hotspur. Di Liga Primer, klub yang dijuluki The Blues ini kandas di pertandingan akhir.
Kegagalan di Stadion Luzhniki, Moskow, Rabu pekan silam, menuntaskan kekalahan Chelsea. Juara Liga Champions merupakan satu-satunya gelar di Eropa yang belum mampir ke Stamford Bridge, stadion yang menjadi “rumah” Chelsea. Piala itulah yang menjadi obsesi pemain klub ini dan tentulah juga Abramovich, taipan 42 tahun asal Rusia. Upaya di dalam dan luar lapangan sudah dilakukan maksimal. Grant, sang pelatih pengganti ketika Jose Mourinho mundur September lalu, berhasil membangkitkan tim ini dari tidur.
Sedangkan Abramovich tak kurang sigapnya menggelontorkan uang jutaan pound sterling membenahi skuadnya. Di awal musim, klub ini memboyong Florent Malouda dari Lyon, Prancis, dengan harga 14 juta pound sterling. Ini sekitar Rp 261 miliar. Pada pertengahan musim, saat transfer window dibuka, untuk menajamkan lini depan, Chelsea membeli Nicholas Anelka Bolton.
Abramovich punya mesin duit sendiri. Perusahaan minyaknya terus mengucurkan uang. Dia seperti tak peduli dengan uang yang dikeluarkan, asalkan keinginannya tercapai: “unit usahanya” menjadi yang terbaik di daratan Eropa. Saat Chelsea menjuarai Liga Primer pada 2005, total uang yang dipakai mendandani klub ini mencapai 1 miliar pound sterling. Duit sekitar Rp 18,6 triliun itu dipakai membayar gaji dan membeli pemain.
Dalam catatan Deloitte & Touche, perusahaan di bidang konsultan keuangan, uang itu di luar belanja lainnya, yang mencapai 300 juta pound sterling dalam masa dua tahun sejak dia membeli klub ini pada 2003. Jumlah yang kurang-lebih Rp 5,6 triliun itu pun terus meningkat seiring dengan kebutuhan tim menambah pemain sekelas Michael Ballack dan Andriy Shevchenko.
Cukup? Jawabnya belum. Seperti para pemilik klub raksasa lain di Eropa, Abramovich terus membuka pintu brankasnya. Sampai pertengahan tahun lalu, pemilik perusahaan investasi Millhouse Capital ini mengeluarkan hampir 578 juta pound sterling atau sekitar Rp 10,77 triliun. Uang itu antara lain dipakai membayar gaji pemain yang level bayarannya tertinggi di Eropa. Tiap minggu dia harus membayar Terry 130 ribu pound sterling. Lalu untuk Andriy Shevchenko dan Michael Ballack, yang beroleh uang mingguan 120 ribu pound sterling. Bila dijumlah, bayaran buat tiga pemain itu per minggu hampir Rp 6,9 miliar.
Uang itu bukanlah sumbangan. Abramovich bertindak sebagai investor. Menurut Chelsea Limited, perusahaan pemilik klub ini, uang itu adalah pinjaman tanpa bunga dari sang bos besar. Nah, bila ditotal dengan pajak dan utang yang belum diselesaikan dengan perusahaan sebelumnya. Ken Bates, utang Chelsea mencapai 736 juta pound sterling atau sekitar Rp 13,7 triliun.
Sepak bola adalah bisnis jumbo. Utang tak tabu, apalagi bila untuk pengembangan “usaha”. Manchester United, punya utang 764 juta pound sterling atau sekitar Rp 14 triliun. Tidak seberuntung Chelsea yang memperoleh utang tanpa bunga. Klub yang membesarkan David Beckham ini menanggung utang komersial dari lembaga keuangan 666 juta pound sterling atau sekitar Rp 12,4 triliun. Sisanya adalah pinjaman dari keluarga Glazer, pemilik klub ini.
Nah, dari mana mereka bisa membayar semua itu? Jelas dari keuntungan. Dari Liga Champions saja, dengan tampil di final, kedua tim mendapatkan hadiah tampil sekitar 30 juta pound sterling. Itu kurang-lebih Rp 560 miliar. Manchester United, yang menjadi juara, mendapat tambahan 5,6 juta pound sterling atau sekitar Rp 104 miliar.
Menurut Profesor Simon Chadwick, Direktur Pusat Bisnis Olahraga Internasional Universitas Coventry, Inggris, dari uang yang didapat melalui penampilan tim, sponsor, hak siar televisi, penjualan suvenir, tiket, dan lainnya, Manchester United tetap untung. “Setidaknya keuntungannya 85 juta pound sterling (hampir Rp 1,6 triliun),” kata Chadwick.
Sepak bola di zaman kiwari memang bukanlah sekadar mencetak gol dan berebut piala. Tak aneh bila tak ada habisnya para biliuner dunia mencoba bertualang di lapangan bola. Klub-klub sepak bola ditakar tak ubahnya perusahaan pencetak uang. Kabar terbaru, di tengah perekonomian dunia yang sulit, taipan dunia George Soros disebut sedang mengincar klub Italia, AS Roma.
Kiprah orang-orang superkaya “berbelanja” klub sepak bola ini, menurut Flavio Briatore, salah satu pemilik Queens Park Rangers, justru menguntungkan klub. Menurut dia, orang bisnis mampu mengelola klub lebih baik ketimbang para penggemar, karena keputusan mereka lebih tidak emosional. “Anda tidak dapat mengendalikan klub dengan hati, karena Anda bisa membuat kesalahan,” kata Flavio, yang juga pemimpin serial balap Formula 1–juga “industri” pencetak uang kaliber dunia. “Ini memang bukan mainan. Seperti dalam proyek bisnis lainnya, dibutuhkan waktu dan investasi. Tapi sangat menyenangkan menjadi bagian dari bisnis ini,” ujarnya.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo