SEORANG ibu dengan dua anak, pada usia 52 tahun, mengukir sejarah dalam olah raga panjat gunung. Dia adalah Junko Tabei, wanita Jepang. Sejarah itu diukirnya akhir Juni lalu. Ia menjadi pendaki wanita pertama atau pendaki kelima di dunia yang menaklukkan tujuh puncak benua. Puncak terakhir yang dicapai adalah Carstenz, Irian Jaya. Empat pendaki dunia sebelum ini ialah Pat Morrow (Kanada), Oswald Oz (Jerman), Reinhold Messner (Jerman), dan Franchon (Prancis). Junko lahir di kota kecil Miharu, Fukushima, utara Tokyo. Sejak SD ia sering diajak gurunya ke daerah pegunungan di Tochigi. Namun, Junko kecil bukan atlet liat. Ia berpenyakitan, angka olah raganya pun rendah. Baru setelah kuliah di universitas wanita Showa, aktivitas Junko terlihat. Ia bergabung di klub pendaki gunung bersalju. Saat mendaki di Gunung Tanigawa, ia mengenal Masanobu Tabei, yang kemudian menjadi suaminya. Tabei, yang dibesarkan oleh keluarga pendaki gunung, malah belum pernah menaklukkan satu pun dari tujuh puncak dunia. Junko menaklukkan Puncak Everest (8.848 meter) di Asia pada bulan Mei 1975. Lalu, Januari 1981, Kilimanjaro (5.895 meter) di Afrika dikuasainya. Gunung Aconcagua (6.975 meter) di Amerika Selatan, yang menelan dua pendaki Indonesia, Norman Erwin dan Didiek Syamsu, juga telah ia kuasai Januari 1987. Kemudian, Juni 1988, ia menjejakkan kaki di McKinly (6.194 meter) di Amerika Utara. Setahun kemudian, Agustus 1989, ia sudah di puncak Erbrus (5.621 meter) Eropa. Prestasi itu dilengkapi dengan menaklukkan Vinson Massif (4.897 meter) di Kutub Selatan, Januari 1991. Setelah keberhasilan itu, Junko mengaku tak bermaksud mengukir sejarah. Namun, rekan-rekannya membisiki: "Tinggal satu puncak lagi!" Maka, ketika 28 Juni lalu ia bersama dua pendampingnya dari Mapala UI -- Agus Tama dan Ripto Mulyono -- mencapai Car-stenz, Junko merasa plong. "Wah, rasanya sudah selesai," katanya. Junko mendaki Carstenz lewat Tembagapura, dengan bantuan kereta gantung milik Freeport. Dari sini, barulah mereka menuju ke Lembah Kuning (base camp di ketinggian 4.100 meter). Setibanya di base camp, Junko yang dijuluki Emak itu cepat beraklimatisasi, tanpa keluhan. Justru kedua anggota Mapala UI itulah yang terkena gejala penyakit gunung. Agus kehilangan nafsu makan, sedangkan Ripto pusing-pusing. Maka, rencana pendakian diundur sehari untuk memulihkan kondisi Agus dan Ripto. Baru Sabtu pagi 27 Juni, mereka berangkat. Puncak sudah terlihat di depan mata, di ketinggian sekitar 750 meter. Perhitungan mereka, puncak itu akan dicapai sekitar sehari. Karena itu, mereka tak membawa tenda atau kantung tidur. Persediaan air pun secukupnya saja. Ternyata, dugaan itu meleset. Tebing berbatu bukit Carstenz sulit didaki. Junko, yang biasa merayapi gunung es, ternyata kepayahan. "Tapi ia tidak mau ditarik dari atas," kata Ripto. Alhasil, diputuskan menginap di ceruk tebing, hanya terikat tali. Memaksakan diri sampai puncak di malam hari memang bisa, "Tapi tak ada gunanya, karena tak ada tenda," kata Agus. Selain itu, Junko ingin mengabadikan puncak Carstenz dengan kamera. Di ceruk tebing itu mereka tidur kedinginan. Di situlah sifat keibuan Junko tersentuh. "Dia mengelus-elus kami, seperti ibu sendiri," cerita Agus. Suhu udara waktu itu sekitar 10 derajat Celsius. Esoknya, ekspedisi dimulai lagi. Tebing dengan kecuraman 45-90 derajat itu akhirnya bisa dilalui. Siang hari ketiganya mencapai puncak. Lalu, Junko mengabadikan alam Carstenz. Hanya beberapa menit di puncak, tiba-tiba udara berubah, memburuk mendadak. Mereka buru-buru turun. Ternyata, menuruni puncak tak semudah yang dibayangkan. Penderitaan itu masih ditambah dengan menipisnya air minum. Junko pun kepayahan. Untuk merayapi tepi tebing, ia harus ditarik. Bahkan, menjelang malam untuk mencapai base camp, ia harus dituntun karena penglihatannya kabur. "Salju turun dengan lebat, pemandangan hanya terlihat sebatas dua meter," kata Agus. Pada satu lintasan yang membutuhkan rappelling (turun dengan tali), tali Junko sepanjang 50 meter tak sampai. Ia menggantung tiga meter dari atas tanah. Untuk itu, perlu dibantu. Tengah malam mereka sampai di base camp. Di situlah Junko baru mengaku ingat anak dan suaminya. Kini, walau sudah mencatat sejarah pendakian gunung, ia belum berhenti mendaki. Ia masih punya rencana lain, yaitu mendaki setiap puncak tertinggi di tiap negara. "Saya masih bisa mendaki 150 gunung lagi," katanya. Perhitungannya, sisa hidupnya 30 tahun lagi, dan setiap tahun mendaki lima gunung. "Wanita Jepang baru berhenti beraktivitas setelah usia 81 tahun," katanya. WY, Seiichi Okawa (Tokyo), dan Bambang Sujatmoko (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini