Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sekarang Saya Rela Pensiun

Di final hong kong terbuka, Icuk Sugiarto berhasil menundukkan yang yang dari cina. icuk menjuarai tunggal putra dalam pertarungan 3 set: 7-15, 15-1, 15-11. Icuk merasa bangga karena lepas dari trauma.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada sambutan kemenangan. Apalagi kalungan bunga seperti halnya ketika ia menjadi juara dunia lima tahun silam. Senin malam pekan ini, hanya sanak famili yang menjemput Icuk di Bandara Soekarno-Hatta. Padahal, sehari sebelumnya, kampiun Indonesia itu telah mengukir sejarah baru dalam kariernya di arena bulu tangkis. Ambisi Icuk menundukkan jago Cina, Yang Yang, kini menjadi kenyataan. Di final Hong Kong Terbuka yang berlangsung di Stadion Queen Elizabeth, Minggu malam pekan lalu, ia membungkam sang Juara Dunia 1987 itu, sekaligus memboyong satu-satunya gelar juara buat Indonesia di nomor paling bergengsi: tunggal putra. Di hadapan sekitar 8.000 penonton yang memadati stadion, ia menaklukkan musuh bebuyutannya dalam pertarungan tiga set yang mendebarkan 7-15, 15-1, dan 15-11. Bukan karena hadiah US$ 3.900 atau sekitar Rp 6,5 juta, yang membuat Icuk bermain "ekstrakeras". Tapi rasa penasaranlah yang membuat ia bermain kesetanan. Bayangkan saja, dalam 10 kali pertemuan sebelum ini -- selama kurun waktu lima tahun -- Icuk selalu gagal. Ia baru mampu menumbangkan juara dunia 1987 itu pada pertemuan yang kesebelas. "Sekarang hati saya sudah plong," tutur Icuk Sugiarto kepada Budiono Darsono dari TEMPO yang ikut menyambutnya di bandar udara. Menurut Icuk, selama ini pikirannya selalu terpusat pada bagaimana cara bisa mengalahkan Yang Yang. "Juara di mana-mana tiada artinya bagi saya, sebelum bisa menundukkan dia. Sekarang ini pensiun main bulu tangkis pun saya rela," tambahnya sambil bergurau. Pola permainan bertahan yang selama ini merupakan senjata ampuh bagi Icuk dalam menghadapi pemain manapun hanya dilakukannya pada set pertama. Memasuki set kedua, Icuk mengembangkan permainan net dan bola-bola datar, seperti halnya berlatih stroke. Ternyata, hal ini cukup merepotkan pemain kidal yang sigap dalam menghadapi bola-bola atas ini. Bola-bola pendek bergulir di atas net membuat Yang Yang frustrasi dan sering mati sendiri. "Saya berlatih sabar, sampai-sampai bola enak pun saya mainkan di net," ujar Icuk. Kemenangan Icuk atas Yang Yang tidak terlepas dari kerja keras yang dilakukannya, di samping proses kematangan jiwa serta mental yang sering goyah dalam menghadapi hal-hal kritis. Icuk kini bukanlah Icuk setahun maupun dua tahun silam. Sejak awal tahun ini, motivasinya cukup tinggi untuk menyumbangkan sesuatu bagi negaranya. Pertikaiannya dengan pelatih yang menanganinya serta masalah kontrak dengan sponsornya makin membuat dia lebih dewasa. Dan tahu apa yang harus dilakukannya. Bahkan Willy Budiman, Ketua Komisi Teknik PB PBSI semasa kepengurusan Ferry Sonneville, pernah mengatakan, "Icuk seorang pemain yang komplet. Stroke, reaksi, dan fisiknya bagus. Cuma hatinya kecil, itu saja." Hal senada juga dikatakan oleh Tong Sin Fu, pelatih asal Cina yang kini ikut menangani para pemain di Pelatnas. Sebenarnya, secara keseluruhan teknik Icuk tidak kalah dari Yang Yang. Bahkan dalam bertahan ia lebih bagus. "Pengaturan bola di depan net, ia lebih akurat dan lebih mepet," kata Tong Sin Fu, yang sempat menangani Icuk beberapa bulan. Menurut Tong, kekalahan Icuk dari Yang Yang selama ini disebabkan karena smes potong ke kanan dan kiri yang datangnya mendadak. Akibatnya, Icuk suka kaget jika menerima pukulan itu, sehingga dalam pikirannya hanya ada kata mengangkat bola ke belakang. Namun, hal itu tidak pernah tercapai karena sudah keburu dicegat di tengah jalan. "Secara psikologis, ketakutan inilah yang membuat Yang Yang sulit ditaklukkan," tambah Tong. Kini semua itu telah berubah. Icuk rupanya sudah bisa mengatasi perasaan yang mengimpitnya selama ini. Itu terlihat dari kehidupan sehari-harinya, ia sudah bisa menguasai emosinya, mengontrol diri sendiri. "Icuk sekarang bukan Icuk lima tahun lalu, sewaktu ia merebut gelar juara dunia," ujar Tahir Djide, Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI. "Trauma kekalahan selama ini langsung hilang," kata Icuk, yang didampingi istri dan anak pertamanya selama di koloni Inggris ini. Maka, untuk menghadapi Kejuaraan Dunia yang akan berlangsung akhir bulan ini di Bangkok, ia sudah tidak mempunyai beban mental lagi. Apa pun hasilnya. "Yang penting, saya sudah tidak merasa takut lagi seperti selama ini yang saya rasakan," kata Icuk tegas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus