JUMLAH bekas olahragawan yang mendirikan sekolah bertambah lagi. Setelah Sinyo Aliandoe, yang membuka sekolah sepak bola tahun lalu di lapangan SMA Ragunan, Jakarta, Sabtu pekan lalu, giliran Syamsul Anwar Harahap, bekas petinju, membuka sekolah tinju di Aula Tinju Pintu VI, Stadion Utama Senayan, Jakarta. Namanya keren: Syamsul Anwar Boxing School (SABS). "Saya sering melihat banyak petinju kita belum mempunyai dasar bertinju yang benar," ujar Syamsul ketika ditanya Antosiasmo dari TEMPO, latar belakang pendirian sekolah tinju itu. Dia menghabiskan dana sekitar Rp 7 juta, antara lain buat membeli pelbagai alat, misalnya 40 sarung tinju, untuk sekolah baru itu. Syamsul mengatakan, para petinju yang dimaksudnya itu (amatir dan juga profesional) kerap membuat dia, sebagai petinju, malu. "Mereka memukul cara pasaran," katanya, gemas. Maksudnya, banyak yang asal memukul saja. Sering terlihat para petinju tak tahu cara yang benar: melayangkan buku-buku jari di kepalan mereka, sembari membawakan badan untuk menambah bobot pukulan. Padahal, ini pengetahuan elementer. "Banyak yang sebenarnya hanya menampar, bukan meninju, karena mereka hanya melontarkan kepalan tanpa bantuan bobot tubuh," kata bekas raja kelas welter ringan (pensiun 1980), yang terpilih sebagai Petinju Terbaik Kejuaraan Piala Presiden 1976 itu. Kekurangan itu terkadang sama-sama diperlihatkan dua petinju yang sedang bertarung di atas ring. "Hingga kita, penonton, sering bukannya menonton pertandingan tinju, tapi melihat orang berantam di atas ring," ujar petinju kelahiran Pematangsiantar, Sum-Ut, itu, sambil senyum. Untuk menebus rasa malu, sambil "menyumbangkan apa yang saya miliki buat dunia tinju," tutur Syamsul lagi, dia lalu bertekad mendirikan sekolah tinju. Lewat lembaga ini, katanya, dia ingin menyebarkan dasar dan teknik bertinju secara lebih tertib. Di sekolahnya, ia dibantu tujuh staf, di antaranya teman-temannya yang kini juga pelatih tinju, seperti Zulkaryono Arifin dan Kuntadi Jayalana. Didampingi Dokter Abdul Rachim -- yang akan mengajarkan pengetahuan medis -- mereka sudah menyusun paket program buat para siswa. Paket itu terdiri atas tujuh dasar penting. Mulai falsafah dasar tinju, sejarah perkembangan tinju, teknik meningkatkan ketahanan fisik, taktik strategi, peraturan pertandingan hingga pembinaan watak petinju. Ini tahap pertama yang makan waktu tiga bulan. Setelah itu, jika lulus, para siswa akan memperoleh sertifikat. Dengan itu mereka boleh meneruskan latihan di diklat-diklat tinju Pertina atau bergabung di pelbagai sasana. Atau bisa juga melanjutkan pelajaran hingga tahap II dan III, yang masing-masing harus mereka jalani selama tiga bulan di sekolah tadi. Telah dipersiapkan sekitar enam bulan, SABS, yang menerima siswa dengan bayaran uang pangkal Rp 20.000 dan iuran Rp 30.000 untuk tiga bulan, direncanakan tak hanya menerima calon siswa yang mau jadi petinju. Tapi juga mereka yang ingin mengetahui lebih jauh teknis tinju. Kendati baru dimulai, cukup banyak yang mengharap SABS bakal bisa berbuat untuk peningkatan mutu petinju nantinya. Di Jakarta, tak hanya Pertina DKI yang mendukung kuat upaya Syamsul -- mereka sampai mewajibkan setiap sasana di DKI mengirimkan minimal tiga anggota untuk belajar di sekolah ini. Tapi juga KTI, induk organisasi tinju bayaran. "Ide yang bagus. Cara tradisional: petinju muncul secara naluriah memang harus ditinggalkan, dan kita mulai mengembangkan cara-cara ilmiah," kata Ketua Harian KTI (demisioner) M. Anwar. Namun, keilmiahan ini, yang belum diyakini semua kalangan tinju, sepenuhnya dimiliki SABS. Maklum, Syamsul sendiri, kendati sudah menamatkan sarjana mudanya di ASMI, dulu adalah petinju alam. Bekas petinju slugger. ini memang punya pengalaman 14 tahun di atas ring. Lima tahun terakhir ini, ia juga rajin mengamati perkembangan tinju, sembari mengembangkan karier sebagai komentator tinju. Tapi, itu saja dinilai belum cukup. Sebab, menurut Oyong Kamaruddin, pelatih yang baru sukses membawa anak buahnya, para petinju Sum-Ut, keluar sebagai juara umum Kejurnas Tinju di Palembang, mendirikan sekolah itu berat. Apalagi sekolah tinju yang pertama di Indonesia. Sekolah, katanya, paling tidak perlu diktat atau harus ada kurikulum yang sistematis. "Kalau cuma tiga bulan, ya, 'kan tak logis," kata Oyong, 59. Dia mengatakan belum banyak tahu tentang rencana Syamsul. Tapi tetap menganggap nama Sekolah Tinju, yang digunakan SABS, kurang begitu tepat. "Jika sekadar mau mengenalkan dan mematangkan teknik bertinju para pemula, bilang sajalah namanya penataran tinju," kata ayah 17 anak dan kakek 21 cucu yang sejak zaman Jepang menggeluti tinju itu, serius. Toh, dia mendukung upaya Syamsul. Lalu, apa pendapat para siswa yang sudah masuk penataran, eh, sekolah tinju itu? "Saya masuk, karena ingin mendalami teknik-teknik tinju. Tak lebih dari itu," kata Teguh Kurniadi, 25, mahasiswa tingkat empat Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Teguh memang penggemar tinju dan pengagum petinju botak AS, Marvin Hagler. Siswa lain memang sebagian besar berminat jadi petinju. "Saya tertarik dan Ayah kebetulan mendukung rencana saya," kata Daniel H.G. Hutabarat, 16. Siswa kelas I SMA, bertubuh jangkung dan kekar ini -- tinggi 176 cm dan berat 68 kg -- terus terang mengatakan' ia mau jadi petinju. "Saya anggap tinju bisa mendatangkan dut dan mengangkat nama keluarga. Saya salut sama Ellyas Pical dan mau menirunya," ujar anak pelatih karate itu, bersemangat. M.S. Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini