TIGA penumpang kapal KM Bintang Selatan III itu tiba-tiba jadi beringas. Mereka menghunus pisau, menyerang nakoda dan empat awak kapalnya. Cun Lin 38, nakoda itu, langsung roboh kena tikaman. Menyusul tiga anak buahnya, yang rupanya memang tak sempat melawan. Hanya Kok Tong, 35, kondektur merangkap kepala kamar mesin, sempat melompat ke laut, sebelum pisau menghunjaninya. Di Selat Philip, laut yang memisahkan Singapura dan Pulau Batam, pertengahan Oktober lalu, tiga perompak tak punya kapal itu kemudian membakar Bintang Selatan III. Sementara itu, Kok Tong ditolong oleh seorang nelayan. Ia dibawa ke Singapura, masuk rumah sakit, dan akhirnya sembuh. Kembali ke Riau, ia pun melaporkan ketiga orang penumpang yang naik dari pelabuhan tempat kapalnya dulu bertolak, Pontianak, Kalimantan Barat. Beberapa hari kemudian, polisi berhasil menangkap para pelaku. Tak dijelaskan adakah uang Rp 11 juta dan sebuah radio CB, hasil rampokan, masih ada. Itulah risiko awak kapal, juga penumpang baik-baik, bila berlayar di kawasan Riau. Sejak dulu, perompak lebih suka menghabisi semua yang berada di kapal daripada harus meringkuk di tahanan. Seorang saja lolos dan selamat, biasanya, menjadi sebab para lanun itu kemudian tcrtangkap. Sebab, mereka bukan orang asing bagi yang suka berjalan-jalan di Riau, apalagi bagi mereka yang tinggal di kawasan itu. Para perompak itu memang orang Riau dan, tak jarang, satu kelompok perompak adalah bersaudara. Dalil ini masih berlaku hingga sekarang, ketika kelompok perompak tak lagi segagah dulu, yakni berkapal sendiri. Kini mereka biasanya hanya menyaru sebagai penumpang, lalu melakukan perampokan di tengah laut. Umpamanya kasus perompakan kapal Jaya Laut II, Desember tahun lalu. Pelakunya segera tertangkap semuanya, bahkan beberapa saudara mereka yang tak ikut merompak, dan ayah mereka, juga diseret ke pengadilan Yang tersebut terakhir itu, oleh Jaksa dalam sidang pengadilan di Dumai, Agustus lalu, dituduh ikut menikmati hasil rompakan. Modus operandi komplotan ini pun sama. Empat orang naik dari Selat Morong. Di tengah laut, baru mereka menunjukkan sosok sebenarnya. Maka, byur, Arifin, seorang awak kapal, yang sedang mencuci piring, tiba-tiba jatuh ke laut. Belum sempat mengusut nasib anak buahnya, Abeng, nakoda yang baru berusia 17, hampir saja kena sergap dua penumpang yang tak dikenalnya. Melihat gelagat buruk, ia buru-buru terjun menyusul Arifin. Nurdin, demikian nama pimpinannya, mengintruksikan agar membunuh semua yang berada di kapal. "Kalau ada yang masih hidup, kita akan dikejar-kejar polisi," tutur Nurdin, 32, kepada TEMPO, setelah ia ditangkap. Maka, dua awak kapal dan seorang penumpang diikat jadi satu setelah dihajar. Kemudian mereka diceburkan ke laut. Tinggal seorang penumpang, seorang gadis 17 tahun, Apeng namanya. Menurut dugaan selazimnya, tentulah ia diperkosa oleh para lanun itu. Tapi dalam sidang Nurdin membantah keras. "Bagaimana saya tega memperkosa di hadapan kedua adik saya," katanya. Tertangkapnya mereka karena Agu, 30, seorang awak kapal, dihantam ombak lolos dari ikatan. Ia kemudian ditolong seorang nelayan. Si Agu ini kenal betul dengan Nurdin bersaudara, karena sudah sering berhubungan. Komplotan ini, yang berhasil menyikat M$ 7134 (lebih dari Rp 4,4 juta), ditambah Rp 72 ribu, plus cincin, rantai dan, gelang yang semua terbuat dari emas, dan empat buah jam tangan, dalam sidang menolak bila dituduh telah merencanakan merompak Jaya Laut II. Setidaknya, itu bagi Idrus, 21, Idris, 19 -- dua adik kandung Nurdin -- serta Said, 19, saudara sepupu mereka. "Kami mau mengikuti ajakan Bang Nurdin ke Bengkalis karena dijanjikan jadi kuli bangunan," tutur Idrus. Tapi, setelah tahu Nurdin mau merompak, "Ya, kami terus terang mau saja." Getah Nurdin pun rupanya melekat pada Taher dan Syamsir -- adik Nurdin yang lain, yang tak ikut merompak. Bahkan Mohammad Sidik, orangtua mereka, juga diseret ke pengadilan, dan divonis hakim. Dari bersaudara yang hanya berpendidikan SD ini memang Nurdinlah tokohnya. Ia diganjar 23 tahun penjara, karena bukan baru kali ini melakukan aksi kejahatan. Pada November 1985, dibantu tiga kawannya, Nurdin menggarong sebuah toko di Rupat. Dengan menyamar sebagai pengemis, mereka berhasil membawa kabur antara lain pesawat televisi dan kipas angin Perkara ini, ya, baru terungkap dl sidang perompakan ini. Sementara itu, Idris, Idrus, dan Said masing-masing juga dikenai 20 tahun penjara. Akan halnya Taher, 28, dan Syamsir, 25, diganjar 15 tahun. Menurut sidang pengadilan, mereka pun terlibat tak langsung dengan perompakan itu. Taherlah yang mencarikan informasi perihal keberangkatan Jaya Laut II. Sedangkan Syamsir kebagian tugas mengantarkan para pelaku ke Selat Morong. Mohammad Sidik, 68 kena 4 bulan penjara. Sebenarnya, mereka bukannya orang lapar. Mohammad Sidik, bapak 13 anak dari dua istri, punya dua hektar ladang. Dan anak-anaknya, rata-rata, sudah bekerja menakik getah karet pada usia 10 tahun, dengan upah Rp 1.500 sehari. Nurdinlah kemudian yang jadi biang, karena ia mengganggap, merampok dan merompak jalan mudah mencari uang besar. Konon, ia mengaku dipengaruhi film-film gangster. Yusroni Henridewanto Laporan Monaris Simangunsong (Biro Sumatera Utara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini