KAWASAN Riau Lautan sejak dulu terkenal perompaknya. Daerah ini banyak berkarang, hingga tak ada kapal yang berani memasang kecepatan lebih dari 12 knot per jam. Maka, kapal pun merambat selaju kecepatan sepeda. Ini terutama di kawasan Selat Philip. Bagi lanun yang biasanya berperahu motor, kecepatan serendah itu merupakan mangsa empuk. Dari tahun ke tahun, perompakan yang terjadi di perairan itu tercatat: 29 kali pada 1981, 38 untuk 1982, tahun berikutnya 27 kali, dan pada 1984 terjadi 36 kasus. Sepanjang Januari 1985 tercatat 4 kali pembajakan. Bulan berikutnya melonjak menjadi 14 kali. Menurut sebuah sumber di Polda Riau, saat ini paling tidak ada 5 kelompok perompak, yang tersebar di 7 desa di sekitar Kepulauan Riau. Untuk menggulung mereka bukan pekerjaan enteng. Gugusan itu memiliki sedikitnya 600 pulau kecil yang strategis buat persembunyian. Tidak heran bila Kapolda Riau, Kolonel Petrus W. Daeng, 47, mengakui betapa beratnya medan yang harus diawasi. "Konstelasi dan konfigurasi geografis Riau, dua pertiga di antaranya adalah lautan. Ini menimbulkan hambatan untuk memobilisasikan pasukan," katanya kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO. Keterbatasan personel juga mempengaruhi ruang gerak satuan Polri di daerahnya untuk menangkal ulah perompak. Akibatnya, "Setelah terjadi, baru datang laporan," kata Daeng lebih lanjut. Upaya baru dari Polda Riau adalah menggalakkan siskamling perairan. Toh, upaya terakhir ini sulit bila harus juga memantau perompak tak berkapal, seperti Nurdin bersaudara itu. Perompak yang asli mudah dilacak operasinya karena kapal mereka. Tampaknya, belum ditemukan pencegahan perampok tengah laut ini. Memang, bisa juga dilakukan pemeriksaan di tiap pelabuhan ke dan dari kawasan Riau. Tapi ini tentu memboroskan tenaga, karena kapal rata-rata berukuran kecil, dan hanya mengangkut, paling-paling, lima penumpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini