Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah Bob Masuk Lapangan

Masa kebangkitan dan kemunduran atletik indonesia. PASI di bawah pimpinan Bob Hasan berupaya menghidupkan kembali atletik Indonesia. Meski pesimistis jago-jago nasional siap menghadapi jago-jago Asia.

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAWAKANNYA kecil. Memelihara kumis dan dengan rambut agak gondrong, ia selalu tampil dengan gaya yang khas: pakaian yang jauh dari kesan formal. Malah dalam usia 45 tahun, sehari-hari ia selalu muncul dengan gaya pakaian anak muda. Itulah Bob Hasan, ketua umum PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia), satu dari tiga pembina olah raga yang Kamis pekan lalu menerima piagam penghargaan dari pemerintah lewat tangan Menteri Koordinator Kesejahte-raan Rakyat Alamsyah Ratu Perwiranegara. Berkecimpung sepuluh tahun lebih di kegiatan atletik, pengusaha sejumlah perusahaan ini, rupanya, telah dianggap pantas menerima penghargaan atas apa yang sudah dilakukannya dalam kegiatan atletik. Putusan yang, agaknya, boleh dianggap tepat. Apalagi saat pemberiannya pun cocok. Sebab, minggu ini juga, ketua umum PASI sejak 1978 itu membuktikan salah satu hasil kerjanya, yang baru pertama kali bisa dilaksanakan oleh pimpinan PASI: menyelenggarakan kejuaraan atletik tingkat Asia. Ini ikhtiar yang bisa jadi tak begitu gampang dibuat. Antara lain karena syarat untuk bisa menjadi penyelenggara kejuaraan terbilang berat, dan persaingan di antara 38 negara anggota Asosiasi Atletik Amatir Asia (AAAA) yang juga berminat menjadi tuan rumah kejuaraan dua tahun sekali itu besar. Maka, bisa mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah kejuaraan itu suatu hal yang baru bagi atletik Indonesia. Tapi, tentu, bukan itu saja yang sudah dibuat pengusaha yang gemar olah raga renang, tenis, dan golf ini hingga ia terpilih sebagai salah satu pembina yang diberi penghargaan. Apa saja sebenarnya yang telah dilakukan Bob Hasan selama memimpin PASI? "Banyak, sebenarnya. Tapi, saya orang yang kurang tahan duduk berlama-lama untuk menceritakan apa yang sudah saya perbuat," kata Bob ketika ditemui TEMPO, sekitar dua pekan lalu, di Stadion Madya, Senayan, di tengah kesibukannya mengawasi penyelenggaraan pertandingan atletik PON XI dan persiapan menjadi tuan rumah Kejuaraan Atletik Asia ke-6. Bob sesungguhnya memang bukan orang baru di PASI. Ia sudah ikut menjadi pengurus sejak PASI dipimpin oleh bekas jaksa agung Soegih Arto dan bekas dubes RI di Jepang, Sajidiman. Karena itu, jika ia mengatakan "banyak" yang telah diperbuatnya setelah jadi ketua umum, itu karena persoalan yang membelit atletik Indonesia ketika itu memang cukup berat. "Atletik tak populer, dan prestasi para atlet rendah. Bahkan lawan Singapura saja kalah," kata Bob. Toh dalam kondisi seperti itu, ia, tujuh tahun lalu, bersedia jadi ketua umum. "Karena saya suka olah raga, terutama atletik, dan saya merasa cukup mampu memperbaiki," ucap Bob lagi. Keadaan itulah yang kemudian pelan-pelan diperbaikinya. Mula-mula dengan menata organisasi atletik itu dan kemudian memilih personil yang bisa cocok bekerja sama dengan dia. Adalah dia sendiri yang memilih M. Sarengat - bekas sprinter yang kini jadi dokter pribadi Wakil Presiden, Menteri Negara Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri, Ginandjar Karta sasmita, dan dirut BDN, Widarsadipradja sebagai pengurus di jajaran ketua PASI. Lewat diskusi dengan mereka itulah Bob Hasan mengaku, PASI kemudian berusaha mengatasi ketidakpopuleran atletik dengan melancarkan kampanye ke pelbagai daerah. Di bawah PASI, yang berdiri sejak 1950, sebenarnya cabang olah raga ini sudah tumbuh dan dimainkan oleh pelbagai lapisan peminat. Tak kurang KONI sendiri pernah memprioritaskan atletik dan sepak bola sebagai cabang yang pertama kali diikuti olahragawan Indonesia di Asian Games I, 1951, di New Delhi, India. Hasilnya lumayan. Waktu itu, kendati sepak bola kalah, atletik bisa merebut lima medali perunggu. Antara lain dimenangkan Hendarsih, lompat jangkit, dan Ani Salamun, lempar lembing. Sejak itu, dan setidak-tidaknya sampai Asian Games IV, 1962, atletik boleh dibilang termasuk cabang olah raga yang banyak peminatnya. Hampir di setiap nomor pada tingkat Asia terdapat atlet Indonesia yang prestasinya tak ketinggalan. Bahkan beberapa di antaranya pernah membikin rekor cukup baik. Misalnya rekor yang pernah dihasilkan pelari-pelari: M. Sarengat untuk nomor 100 m dan 110 meter gawang, Gurnam Singh untuk jarak jauh dan maraton, serta Charanjit Singh untuk jarak menengah, 800 m dan 1.500 meter. Beberapa di antara rekor nasional mereka sampai sekarang belum terpecahkan. Setelah angkatan Sarengat, bintang baru tak lagi muncul, dan pelan-pelan perhatian masyarakat pun bergeser kepada cabang olah raga renang, bulu tangkis, tenis, dan tenis meja. Masa kemunduran itu paling tidak terjadi antara 1967 dan 1974. Pada periode itu tak satu pun rekor nasional putra bisa dipecahkan. "PASI waktu itu memang antara hidup dan mati. Kegiatan berjalan lambat sekali," kata Soegih Arto, bekas ketua umum PASI 1966 hingga 1973. Bekas jaksa agung itu terus terang mengaku kepada Indrayati dari TEMPO bahwa di masa kepengurusannyalah, memang, "prestasi atletik tidak menonjol". Cuma, di kelompok putri, lewat Carolina Sonya Riewpassa dari Ujungpandang, katanya, ada pemecahan rekor di nomor lari 100, 200, dan 400 meter. Rekor Carolina yang masih bertahan hingga sekarang hanya di nomor 200 meter, dengan catatan waktu 24,2 detik, yang dibuatnya di Ludenscheid, Jerman Barat, 1972. Soegih Arto tak merinci dengan jelas kenapa terjadi penurunan itu. Tapi, secara tidak langsung, dia menyinggung "sulitnya mencari dana" sebagai salah satu penyebab. Ini dibenarkan juga oleh bekas ketua umum PASI berikutnya (1974-1978), Sayidiman Suryohadiprojo. "Soal duit, sudahlah, tak usah dibandingkan antara kepengurusan saya dengan PASI sekarang. Tapi satu hal yang hingga kini membuat saya penasaran adalah karena tidak berhasilnya saya memperjuangkan atletik masuk jadi pelajaran olah raga di sekolah-sekolah," kata Sayidiman. Dia mengatakan sudah berusaha keras memperjuangkan hal ini, semasa menjadi ketua umum PASI. "Karena ketika itu saya sadar bahwa dana terbatas, maka salah satu harapan dalam pembinaan adalah adanya bantuan pembinaan di sekolah-sekolah, seperti di masa Belanda dulu, atau seperti di Jepang sekarang ini," kata bekas duta besar RI di Jepang itu. Tapi ternyata dia mengaku, pendapat itu tak begitu disetujui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Akibatnya rencana-nya pun buyar hingga kemudian digantikan Bob Hasan. Maka, jika ada hal yang pincang dalam pembinaan atletik di Indonesia, menurut bekas gubernur Lemhanas ini, itu semua adalah karena atletik belum dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah. "Tanpa itu, biar dana besar, kita tak akan berhasil secara kontinu membuat prestasi dalam atletik," katanya. Pendapat itu sepenuhnya dibenarkan Bob Hasan, ketua umum PASI yang menggantikan Sayidiman. "Itu memang soal strategis, dan pelan-pelan nanti akan saya bicarakan dengan Pak Fuad (menteri pendidikan dan kebudayaan - Red.)," katanya. Untuk sementara, Bob mengaku baru mengatasi soal-soal bagaimana "memasalkan" kegiatan atletik sambil sedikit-sedikit melakukan penggemblengan atlet dan pelatih mereka. Untuk kampanye pemasalan dan memopulerkan atlet, misalnya, ia mengaku mengeluarkan duit cukup besar. Sebab, dalam upaya menaikkan jumlah (frekuensi) pertandingan atletik di pelbagai daerah harus tersedia uang untuk, misalnya, hadiah perlombaan. Dengan cara itu, sejumlah lomba dan kejuaraan berhasil dihidupkan lagi. Misalnya Marathon Sriwedari di Yogyakarta, Pattimura Marathon di Ambon, Saburai Race di Lampung, Marathon Wonogiri di Wonogiri, serta dua acara maraton lain di Jakarta: Proklamaton dan Jakarta Marathon. Ditambah beberapa pertandingan atletik resmi, mulai dari kejuaraan nasional, POPSI, sampai sirkuit se-Jawa, lengkaplah upaya PASI menghidup-kan kembali sejumlah kegiatan atletik di Indonesia. Upaya ini bahkan mendapat dukungan dari pemerintah. Tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri tampaknya terlihat memberikan perhatian pada apa yang tengah dijalankan PASI itu. Bahkan Pak Harto sekali-sekali datang sendiri ke Senayan, menonton kejuaraan nasional atletik yang sedang berlangsung. Ini dorongan moral yang turut membantu memopulerkan lagi atletik. "Lihat sendiri, sekarang kegiatan atletik sudah mulai ditonton orang. Di PON, misalnya, kami sampai kewalahan karena sering kehabisan karcis. Penonton bahkan kini mau mengeluarkan uang untuk menonton pertandingan atletik," ujar Bob Hasan sambil tertawa lebar. Pengusaha ini tampak fit itu mengaku upaya mengampanyekan atletik sudah cukup berhasil. Di samping kampanye itu, dalam hal pembinaan, apa yang sudah Anda lakukan? Aspek yang dicakup pembinaan itu luas sekali. Di antaranya, yang cukup penting, menyangkut unsur atlet dan pelatih mereka. Karena itu, sambil kampanye, selama ini kami terus membenahi kedua unsur. itu. Pelatih, misalnya, terus harus ditingkatkan kemampuannya. Sebab itu, penataran pelatih kami pentingkan. Hingga kini, sudah sekitar 5.000 pelatih tingkat pemula yang ditatar di pelbagai daerah. Dan mereka sudah dianggap punya kemampuan yang memadai untuk melatih. Selain menjadikan pelatih pemula, pelatih yang sudah senior juga perlu ditingkatkan pengetahuannya. Karena itu, kami kirim juga pelatih itu belajar ke luar negeri, seperti Jerman Barat, Amerika, atau Australia. Tentu banyak sekali uang yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan itu. Bisa ditotal kira-kira berapa dana yang sudah Anda habiskan? Wah, pusing juga menghitungnya. Secara pasti, jumlah seluruhnya saya tak tahu. Tapi, untuk anggaran rutin, kami susun di buku laporan keuangan yang diperiksa akuntan publik. Ndak sombong, mungkin PASI satu-satunya organisasi olah raga yang laporan keuangannya diperiksa seorang akuntan (sambil memperlihatkan laporan keuangan PASI, yang sudah diperiksa Akuntan Drs. Mulia Sikandar & Co.). Nah, di sini, tercantum total pengeluaran kami tahun lalu lebih dari Rp 500 juta. Dari mana saja dana itu diperoleh? Ada yang dari teman-teman - karena saya punya banyak teman - dan ada yang dari saya sendiri. Yah, setiap tahun begitu. Habis, mau apa lagi. Kami gotong royong saja cari uang untuk atletik. Maka, memang, pernah ada julukan, orang yang mau ngurusin olah raga itu orang gila (katanya sambil tertawa). Tapi saya senang. Jadi, keluar uang agak besar sedikit ndak apa-apa, asal puas. Kegiatan Anda sendiri di bidang usaha apa sebenarnya? Resminya, saya pengusaha. Pemilik dan penanam saham di kira-kira 20 sampai 30 perusahaan. Tapi, sehari-hari, bisnis jarang saya urus. Semua diurus oleh manajer-manajer profesional. Hanya sesekali mereka saya tanyain perkembangannya. Yah, kami memakai manajemen profesional. Jadi, tak perlu campur tangan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Kalau ada soal yang besar, baru saya turun tangan. Demikian juga di atletik, cara yang sama kami terapkan. Saya, misalnya, tak campur dalam soal latihan. Itu hak pelatih. Saya hanya turun tangan untuk urusan yang besar-besar. Misalnya, ada soal dengan pihak Gelora Senayan dalam hal makanan para atlet. Staf saya tak bisa menyelesaikannya, mereka lapor, maka saya tangani. SANTAI saja memang jawaban yang meluncur dari pengusaha yang juga memimpin Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia itu. Ayah dua anak ini mengaku mengurus pelbagai kegiatan sosial. Misalnya, ia juga duduk sebagai salah satu staf di Yayasan Supersemar, yang memberikan beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa kurang mampu tapi berprestasi, dan Yayasan Dharmais, yang setiap tahun antara lain membantu panti asuhan di seluruh Indonesia. "Kedua yayasan sosial ini dipimpin oleh Soeharto, presiden RI, sebagai warga negara. Dan saya salah satu kacungnya saja," kata Bob. Toh, posisi itu pula yang menyebabkan ia berhasil "menggolkan" sekitar 120 atlet PASI untuk menerima beasiswa Supersemar. di antara 8.000 orang di seluruh Indonesia yang sudah menerima beasiswa tersebut. Umumnya, para atlet memang berasal dari keluarga tak mampu, katanya. Karena itu, agar bisa tenang berprestasi, menurut dia, mereka layak menerima beasiswa yang memang ditujukan buat anak-anak orang tak mampu itu. Tak hanya itu, sejumlah atlet lain yang sudah beberapa kali memecahkan rekor juga diusahakan "orang kuat PASI" itu untuk bisa bekerja di pelbagai bank dan perusahaan. Mereka misalnya Henny Maspaitella, Emma Tahapary, dan Purnomo, yang masing-masing bekerja di Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara. Setelah atlet, para pelatih pun oleh Bob, yang pernah diangkat anak angkat Almarhum Jenderal Gatot Subroto itu, diperhatikan. Sejumlah pelatih Pelatnas, misalnya, sekarang bergaji: rata-rata Rp 200.000 per bulan. Mereka juga, kalau mampu, diberi kesempatan - empat bulan lalu, umpamanya sekitar 10 orang dikirim belajar ke AS - ke luar negeri, juga dibekali pelbagai buku tentang dasar-dasar atletik, yang secara khusus diterjemahkan PASI dari literatur-literatur asing. Dengan percetakan yang dibeli sendiri, saat ini, tercatat delapan judul buku, di antaranya Cara Mengajar Lari, Cara Mengajar Lompat, yang sudah dibagi-bagikan PASI kepada para pelatih tadi. Singkat cerita, dengan semua fasilitas dan dana itu, memang terasa kesan Bob Hasan "memanjakan" atlet dan pelatih. Bagaimana hasilnya? Bob mengaku, "Cukup puas untuk prestasi nasional dan SEA Games, tapi belum untuk prestasi internasional," dalam tingkat Asia misalnya. Ia masih merasa PASI selayaknya sudah bisa mencetak sedikitnya 10 orang seperti Purnomo. Harapan yang lebih banyak tertumpu pada Purnomo inilah yang juga membuat beberapa bekas atlet pemegang rekor nasional merasa prihatin. Mereka ragu apakah atlet lain mampu membuat rekor di kejuaraan Asia ini. "Kecuali Purnomo, atlet lain tak saya lihat punya prestasi untuk bisa menang di kejuaraan itu," kata Charanjit Singh, 46, pemegang rekor nasional lari 800 meter putra, kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Charanjit - yang sudah hampir 20 tahun memegang rekor lari itu, yang dibuatnya di Asian Games V di Bangkok 1966, dengan waktu 1 menit, 50,7 detik - terus terang menyatakan tak puas dengan hasil binaan PASI di bawah Bob Hasan. "Fasilitas diberikan sudah begitu bagus, baik untuk atlet maupun pelatihnya, tapi masa rekor nasional yang sudah begitu lama belum juga bisa dipecahkan," katanya. Ia malah menilai, PASI yang sekarang ini "terlalu memanjakan para atlet dan pelatihnya". Ini menyebabkan, kata ayah dua anak yang kini bekerja di perusahaan susu PT Kebun Bunga Jakarta itu, "atlet-atletnya jadi keenakan dan kurang punya motivasi untuk memacu prestasi". Tak hanya Charanjit, tapi rekannya Gurnam Singh, yang kini bermukim di Medan, juga sudah tampak tak sabar melihat rendahnya prestasi atlet Indonesia saat ini. "Apa aku harus mati dulu, baru rekor yang kubuat lebih dari dua puluh tahun lalu itu pecah?" katanya jengkel. Gurnam, 55, saat ini tercatat memegang rekor nasional, lari 5.000,10.000, dan maraton, yang dibuatnya pada 1962 lalu. Agak pendiam, Gurnam sekarang masih seorang penganggur. Ia terlihat memendam rasa kecewa yang dalam karena di Sum-Ut ia merasa "tak dipakai". Ia mengatakan, sebenarnya ingin jadi pelatih, "dan punya beberapa kunci latihan lari jarak jauh", yang sebenarnya akan ia tularkan kepada anak buahnya. Cuma, memang kondisi bekas jago lari ini tak sesehat beberapa tahun lalu. Memang, antara lain, di segi pelatih inilah kelemahan yang jelas masih terlihat pada atletik Indonesia. "Kita kurang punya pelatih spesialisasi. Kebanyakan yang ada adalah pelatih umum, untuk dua atau tiga nomor sekaligus," kata Paulus Passurney, pelatih PASI, yang kini bermukim di Bandung. Dosen olah raga IKIP Negeri Bandung ini mengatakan, karena tak punya pelatih spesialis, misalnya untuk sprint, lari gawang, atau lari jauh itu, maka pemecahan rekor tak bisa dilakukan secara berencana. Padahal, kemajuan atletik internasional sekarang tak hanya memakai pelatih spesialisasi, tapi sudah menerapkan metode latihan, yang melibatkan data penelitian guna mendukung atlet dan pelatihnya. Di Jerman Timur, misalnya, sudah biasa seorang pelari digarap dengan ilmiah ada parameter yang jadi pegangan sang pelatih dalam menggodok anak didiknya. Umpamanya, seorang atlet yang mau di nomor 800 meter akan bisa berprestasi kalau dia memenuhi syarat: lari 100 meter dalam waktu 10,6 detik. Atau lari 400 meter dengan waktu 46 atau juga 47 detik. Terakhir ada juga syarat lain, sang atlet itu harus bisa lari 20 km dalam waktu 32 menit. Dengan parameter itulah, kata Paulus, yang juga jadi manajer fitness center hotel Panghegar, Bandung, atlet lari 800 meter digarap. Cara seperti ini, menurut dia pula, yang seharusnya ditiru Pelatnas PASI, dalam menggarap para atletnya. Pelatih yang pernah belajar sekitar tiga tahun di Jerman Barat itu menambahkan bahwa banyak soal, seperti membuat parameter, sebenarnya bisa dibuat oleh pelatih-pelatih Indonesia. "Tapi kalau ndak bisa juga, 'kan kita bisa memanfaatkan hasil negara lain," katanya. Dan ini sah, menurut dia. karena hasil penelitian itu mudah diperoleh. "Kalau kita mau bicara di tingkat internasional, cara latikan begitulah yang seharusnya mulai dirintis," katanya. Kepada TEMPO, Bob Hasan mengakui, cara berlatih dengan menggunakan para-meter seperti itu sebenarnya sudah dimulai di Pelatnas. Tapi, memang baru menggunakan hasil penelitian dokter dan psikolog. "Misalnya, hasil pemeriksaan menyeluruh kemampuan seorang atlet dalam satu nomor lari dan apa-apa hambatannya baik dari segi fisik tubuh maupun kejiwaan. Semua ada record-nya, karena kita ada tim dokter dan tim psikolog," katanya. Dia mengakui, metode latihan dengan paramater hasil riset itu belum dipakai. Tapi, ia tetap yakin, lambat laun PASI akan juga mencoba cara seperti itu. "Pelan-pelan saja," kata Bob. Sekarang, apa boleh buat, PASI untuk sementara harus puas untuk hanya menunggu Purnomo kembali membuat prestasi di Kejuaraan Asia ke-6. Selama ini, memang, untuk tingkat Asia baru Purnomolah hasil yang boleh dibanggakan PASI. Selebihnya, memang ada atlet yang hampir setiap tahun memecahkan rekor nasional. Di antaranya Henny Maspaitella, yang baru sekitar dua bulan lalu memecahkan rekor nasional lari 100 meter, yang sudah berumur 13 tahun, atas nama Carolina Rieuwpassa. Henny melompati rekor itu dengan catatan waktu 11,4 detik, yang berarti sekitar 0,3 detik lebih cepat dari rekor Carolina. Rekor Henny ini, yang dicatat dengan stop-watch manual (sekitar 0,2 detik lebih cepat dari pencatat waktu elektronik) sedikit lagi menyamai rekor pelari putri andalan Filipina, Lydia de Vega, (11,4 detik). Maka, Hennylah salah satu pelari putri yang akan bertarung melawan "primadona" Filipina yang tiba Senin pekan ini di Jakarta di nomor 100 meter. Lydia sendiri sudah menyatakan "akan ikut dalam lima nomor" pertandingan: 100, 200, 400, estafet 4 X 100 meter, dan estafet 4 X 400 meter. Lahir di Ambon, 22 tahun yang lalu, Henny, sekarang karyawati Bank Bumi Daya Jakarta, mulai melejit sebagai atlet nasional setelah merebut medali emas di nomor yang digemarinya, 100 meter, pada PON X. Setelah itu, ia terpilih sebagai salah satu atlet Pelatnas dan kemudian dikirim beberapa kali berlatih dan bertanding di luar negeri. Prestasi lain pernah dibuat Henny pada usia 17, ketika dia menumbangkan beberapa atlet senior, seperti Usanee Leopinkam dari Muangthai di SEA Games X dalam nomor lari 200 meter. Belakangan, setelah itu, ia memang makin sering turun berlomba di kedua nomor itu, selain dalam estafet 4 x 100 meter dan 4 x 400 meter bersama Emma, Rosa Erary, dan Budi Nurani. Termasuk di antara atlet yang baru dikirim PASI berlatih di AS, Henny pernah mengatakan tekadnya untuk menumbangkan juara Asia, Lydia de Vega. Di Manila, Desember lalu, ia memang di pecundangi atlet cantik tersebut. Setelah Henny, atlet putri lain yang juga sudah memecahkan rekor nasional ialah Emma Tahapary, di nomor 400 meter. Emma kini memegang rekor lari 400 meter, dengan catatan waktu: 54,5 detik, yang dibuatnya dalam Kejuaraan Atletik ASEAN III, Desember 1984 di Manila. Ia juga memecahkan rekor Carolina Rieupassa di Jakarta, 1977, waktu itu dengan catatan waktu 57 detik. Emma bersama Henny, yang dikalahkan Lydia di Manila, Desember 1984, kini sudah sama-sama bertekad menumbangkan si cantik Lydia di stadion Madya Jakarta. Di kelompok putra, Frans Mahuse, 22, asal Merauke, Irian Jaya, dalam nomor lempar lembing. Dia juga pemegang rekor nasional dengan lontaran 73,46 meter. Ia memperbaiki rekornya sendiri, yang dibuatnya di Manila, 1981, dengan lemparan 67 meter. Anak kedua dari lima bersaudara ini baru melempar lembing sekitar 1980. Ia kini tak punya saingan di tingkat nasional, seperti sudah terbukti di PON XI. Dan, di tingkat Asia, lulusan SMA Merauke yang juga baru pulang dari AS itu pekan ini kembali akan diuji. Bersama Frans, jago Indonesia yang lain adalah Marwoto, peloncat jauh. Pada PON XI ia sebenarnya membuat rekor nasional baru dengan lompatan 7,5 meter. Tapi hasil ini tak diakui karena dianggap ada dorongan angin. Toh Marwoto, 23, asal Jakarta, anak sulung dari tiga bersaudara, merupakan salah satu andalan Indonesia di nomor ini. Bersama atlet yunior, Eko Subagio, lulusan STM DKI ini adalah anak buah Awang Papilaya, pemegang rekor nasional sejak 1962 - rekor lompatan 7,46 meter - yang baru saja dipecahkan Eko Subagio bulan lalu di Singapura dengan loncatan 7,47 meter. Yang juga bisa diharapkan ikut bicara pada kejuaraan Asia ini adalah Ketut Widiana. Di nomor loncat tinggi, ia memegang rekor nasional pada loncatan 2,04 meter, yang dibuatnya di PON XI. Tapi, di Kejuaraan Asia ini, sulit bagi anak Tabanan, Bali, yang baru berusia 20 tahun itu untuk merebut medali - terutama emas - karena di situ berlomba Zhu Jianhua, atlet dunia dengan rekor loncatan 2,39 meter. Tapi, banyak publik stadion Madya, Senayan, yang agaknya menunggu siswa kelas III SMA, yang tingginya 180 cm dengan berat 67 kg ini. Sebab, penampilannya ketika memecahkan rekor nasional di PON dua pekan lalu cukup menarik. Ia begitu berhasil melintasi mistar, langsung berteriak dan mengangkat kedua tangannya, seperti Tarzan yang baru menundukkan lawannya. Bagaimanapun, atlet-atlet ini diharapkan sedikitnya mampu membikin rekor nasional baru. Bertanding melawan jago-jago Asia - kalaupun tidak untuk memperoleh emas - merupakan kesempatan untuk mencari pengalaman. Siapa tahu. M.S. Laporan biro Jakarta dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus