Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIK dengan nada meratap, Kuala Deli, yang dibawakan sepasukan pemain drum band, membuat suasana duka kian dalam. Tak bisa dipungkiri lagi, upacara penyambutan kontingen PON Sum-Ut, di kediaman resmi Gubernur, Jalan Sudirman, Medan, Minggu pagi pekan lalu, lebih terasa sebagai upacara berkabung untuk menyambut pasukan pecundang yang baru pulang dari medan pertempuran. Sambil menyalami para atletnya satu per satu Gubernur Kaharuddin Nasution tak kuasa lagi menahan tangis. Pensiunan perwira tinggi yang pernah menjadi anggota pasukan baret merah itu pun berkata, "Saya memang cengeng kali ini." Rupanya, prestasi anak-anak Sum-Ut di PON XI Jakarta, yang baru berakhir pekan lalu itu, sungguh sebuah tamparan menyesakkan, dan baru pertama kali ini terjadi. Coba, dengan hasil cuma 6 medali emas, l9 perak, dan 16 perunggu, Sum-Ut hanya mampu menduduki tempat ke-20 di antara 27 kontingen peserta. Padahal, selama mengikuti PON - pertama kali ikut pada PON II di Jakarta, 1951 - Sum-Ut, yang dikenal sebagai kontingen kuat di luar Jawa, belum pernah keluar dari Enam Besar pengumpul medali. Malah pada PON VIII, di Jakarta, 1973, Sum-Ut sempat menggeser Ja-Teng, dan menduduki posisi keempat, setelah Jakarta, Ja-Bar, dan Ja-Tim. Karena itu, sambil geleng-geleng kepala, tokoh sepak bola dan bekas ketua KONI Sum-Ut, Kamaruddin Panggabean, berkata, "Belum pernah prestasi Sum-Ut sejelek ini." Sulit dibayangkan, memang, bagaimana Sum-Ut dipecundangi daerah-daerah Jambi, Lampung, sum-sel, bahkan Kal-Teng, provinsi di belantara Kalimantan, yang cuma dihuni sekitar 1 juta penduduk. Tak aneh kalau berbagai kecaman berhamburan ke arah pengurus KONI Sum-Ut yang ketua umumnya adalah Kaharuddin Nasution sendiri. "Masa 257 atlet tak bisa menyaingi seorang Elfira Nasution," ejek Juda Simangunsong, seorang pensiunan pegawai negeri. Elfira yang disebutnya adalah perenang Jambi yang mengumpulkan delapan medali emas - waktu PON sebelumnya mewakili Sum-Ut dengan hasil dua medali emas - suatu jumlah yang lebih banyak dibandingkan medali emas yang diperoleh seluruh anggota kontingen Sum-Ut yang terdiri dari 257 atlet dan 68 ofisial. Ada pula yang meminta pengurus KONI daerah mengundurkan diri saja atas kegagalanitu. Malah sebelum kontingen Sum-Ut pulang ke Medan, sempat beredar isu, mereka akan disambut dengan lemparan telur busuk. Ternyata, isu itu rupanya cuma gertak Medan. Baik ketika rombongan mendarat di bandar udara Polonia maupun sampai selesai upacara penyambutan tadi, tak satu telur busuk pun yang meletus. Gubernur Kaharuddin Nasution menyatakan, tak perlu dicari kambing hitam atas merosotnya prestasi Sum-Ut itu. "Aku yang bertanggung jawab," katanya dengan tegas. Gubernur memang kecewa. Sebab, sebelumnya adalah H. Baduraib Hutasuhut sendiri, pimpinan kontingen, yang mengatakan bahwa Sum-Ut akan mampu meraih 19 medali emas, 23 perak, dan 19 perunggu. Tak jelas bagaimana cara Hutasuhut menghitung kemampuan atletnya. Nyatanya, tim Sum-Ut cuma merebut medali kurang dari separuh dari yang ditargetkan. "Apa salahnya bikin target?" kilah Hutasuhut atas kegagalan timnya itu. Persiapan yang dilakukan kontingen itu sejak mula memang terbilang kacau-balau. Tim hoki, misalnya, baru mendapat stik dari KONI Sum-Ut seminggu sebelum berangkat ke Jakarta. "Barang baru itu tentu saja mempengaruhi penampilan kami," kata Abdul Talib, salah seorang pemain. Belum lagi bola yang mereka pakai latihan di Medan, ternyata, dari kulit sehingga mereka jadi kikuk ketika bertanding di PON dengan bola karet yang bergerak lebih liar. Hal yang sama dialami tim balap sepeda, yang juga baru memperoleh jatah sepeda seminggu menjelang berangkat. Lebih dari itu, menurut Sutiyono, 33, pembalap Medan yang memegang rekor nasional 4.000 nomor lintasan itu, mereka berlatih intensif cuma satu bulan. "Payah kita ini, tak ada pembinaan," ujarnya sedih. Dan yang mengeluh tak cuma tim yang gagal. Tim polo air yang menyumbang-kan sebuah emas untuk Sum-Ut pun punya keluhan mereka merasa kesulitan berlatih, dalam persiapan menjelang PON karena kolam renang tak memadai. Sejak Januari yang lalu, mereka berlatih di kolam renang Selayang, Medan, yang juga dipakai oleh tim renang dan loncat indah, selain kolam yang satu itu masih disewakan untuk umum. Karena itu air kolam selalu lebih dangkal. "Jadi, atlet kita kesulitan bertanding di Senayan yang airnya dalam," kata Drs. M. Yusuf, tim manajer polo air itu. Hal itu, menurut Yusuf, sudah lama dikeluhkan pada KONI Sum-Ut, "Tapi sampai sekarang pun tak ada tanggapan," katanya. Jumlah anggota kontingen Sum-Ut semua 325, merupakan nomor 5 terbesar, setelah Jakarta, Ja-Tim, Ja-Bar, dan Ja-Teng. Namun, sejak 1981, berbagai kejuaraan tingkat daerah tak pernah lagi dilakukan, kecuali untuk sepak bola dan tinju. Maka, kata Kamaruddin Panggabean, "Bisa terjadi ada atlet yang ikut untuk sekadar piknik ke Jakarta." Ketika masih memimpin kontingen PON sebelumnya, Kamaruddin yang pernah menjadi ketua umum KONI Sum-Ut itu tak pernah membawa anggota lebih dari 200. "Karena seleksi atlet bukan sekadar lulus prakualifikasi, tapi diperhitungkan kemungki-nannya meraih medali," ujarnya. Karena itu, tim yang biasa dibawa Kamaruddin adalah tinju, sepak bola, silat, karate, gulat, angkat besi, dan sebagainya, berbeda dengan kontingen kali ini, yang menghabiskan biaya Rp 520 juta, tapi membawa serta atlet yang sebelumnya sudah ketahuan tak berpotensi untuk memperoleh medali. Tidak seperti Sum-Ut, beberapa kontingen memang datang dengan rombongan yang efektif dan efisien. "Untuk apa membawa atlet yang tak berprestasi," kata Sukma Siten, sekretaris KONI Kal-Teng. Daerah ini menyeleksi atletnya dengan ketat. Karena itu, anggota kontingennya cuma berjumlah 47 orang, untuk delapan cabang olah raga. Mereka menyiapkan diri untuk perlombaan olah raga air, seperti dayung dan power boating, nomor andalan daerah yang memiliki 11 sungai besar itu. Hasilnya, mereka mendapat 12 medali emas, dan menduduki tempat ke-11, jauh di atas Sum-Ut. Kontingen Sum-Bar juga memilih cara yang sama, dan menduduki peringkat ke-7 dengan 19 medali emas, suatu peningkatan drastis dalam perolehan medali dibanding PON sebelumnya yang cuma 10 emas. Tampaknya peranan Gubernur Azwar Anas cukup besar dalam hal ini. "Dalam setiap pertandingan beliau selalu hadir," kata Syaiful Nazar, pesenam yang menyumbangkan tiga emas untuk Sum-Bar. "Ibarat perang, pemimpin memang harus selalu di samping prajurit," komentar Azwar Anas. Meski terpukul, kali ini, Sum-Ut masih bisa menbhibur diri, karena menjuarai sepak bola PON. "Biar semua medali diambil daerah lain, asal medali sepak bola di tangan kita," kata Brigjen Ali Geno, wakil ketua umum KONI Sum-Ut, menghibur diri. Di Medan, Gubernur Kaharuddin Nasution, tak ayal lagi, memeluk erat Amran Y.S., tim manajer sepak bola. "Beban kami memang sangat berat ketika bertanding, karena harus menang untuk mengurangi malu," kata Amran Y.S. Untung, sepak bola masih menang. Tapi itu pun tak harus membuat provinsi yang dianggap paling maju di luar Jawa itu malu belajar dari daerah lain. Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo