YAH..., kemenangan itu indah." Ketua Umum PSSI, Kardono, menuturkan gejolak hatinya, sembari memandangi Ricky Jacob dan kawan-kawan satu per satu menuruni tangga tribun kehormatan. Mereka baru saja menerima kalungan medali emas dari Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Kardono berdiri sendirian di pinggir lapangan, seakan ingin menikmati suasana itu sedalam-dalamnya. Berakhirlah sudah pesta besar yang menghabiskan biaya Rp 13 milyar lebih itu. Belum lagi dihitung biaya mempersiapkan kontingen yang Rp 5,3 milyar. Tapi, lihatlah, betapa memesonakannya kegembiraan dan kebanggaan yang melanda lebih dari 100.000 penonton di Stadion Utama Senayan, Minggu malam yang lalu. Dan jutaan yang menyaksikannya dari TV dan mendengarkannya dari radio. Sorak, pekik, puja-puji, dan air mata berbaur di Senayan. Sebetulnya, menang dan menjadi juara SEA Games bukan sesuatu yang istimewa. Sejak mengikuti perlombaan ini di Kuala Lumpur, 1977, Indonesia terus-terusan menjadi juara umum. Hanya sekali tergelincir di Bangkok, dua tahun yang lalu, dipecundangi tuan rumah Muangthai. Sekarang, di Jakarta, gelar yang hilang itu kembali. Tapi kemenangan ini: 185 emas, 136 perak, 84 perunggu -- berarti hampir separuh medali emas yang dibagi-bagikan, 376, direbut Indonesia -- terasa istimewa. Ketika di final, tim sepak bola Indonesia mengungguli Malaysia 1 - O, banyak yang mengatakan, inilah pembalasan yang seimbang. Sebab, di SEA Games X Jakarta delapan tahun yang silam, di Senayan dan di babak final pula, Indonesia dikalahkan Malaysia dengan skor sama: 0-1. Kemenangan kali ini membuat sejarah: untuk pertama kali ini tim sepak bola Indonesia menjuarai SEA Games. Masih sulit dilupakan bagaimana tim sepak bola Indonesia dipermalukan tuan rumah dengan kalah O - 7 dalam SEA Games Bangkok, dua tahun lalu. Prestasi sepak bola hanyalah pelengkap. Begitu banyak gelanggang yang dikuasai atlet tuan rumah. Di arena gulat, tenis, dan bulu tangkis, atlet Indonesia menyapu bersih semua medali yang disediakan. Di berbagai cabang lain, seperti anggar, karate, ski air, dayung, dan pencak silat, tak terjadi sapu bersih. Tapi paling-paling lawan mencolong satu atau dua medali. Di lapangan atletik pun Indonesia menunjukkan gigi, merebut 17 medali emas dari 45 yang diperebutkan, dan merupakan kontingen yang terbanyak meraih emas di cabang itu. Dua tahun yang lalu, di Bangkok, atletik cuma menyumbangkan sembilan emas. Lebih menggembirakan, 10 rekor dipecahkan atlet-atlet Indonesia di cabang ini. Keperkasaan atlet Indonesia sudah diramalkan oleh lawan-lawan. "Sejak semula kami sudah tahu Indonesia akan menjadi pemboyong medali terbanyak," kata Bong Arturo Jr. Ilagan, ketua kontingen Filipina. Filipina memiliki proyek Gintong Alay (mempersembahkan medali) yang dirintis oleh Michael Keon untuk menghadapi SEA Games Manila, 1981. Gintong Alay gagal mengangkat Filipina karena Michael Keon hanya memprioritaskan pembinaan cabang-cabang tertentu seperti atletik dan menembak. Di atletik, proyek itu melahirkan Ratu Asia Lydia de Vega. Tapi mana mungkin jadi juara umum kalau cabang-cabang lain berantakan? "Tapi Keon tidak jelek. Orang mencemohkannya karena dia keponakan Marcos," kata Arturo. Kontingen Filipina datang ke Jakarta dalam kondisi ekonomi dan politik negara yang belum stabil. Atletnya 70% adalah tentara. Sama halnya dengan saingan utama Indonesia, Muangthai. "Saya tidur nyenyak dan mimpi indah. Karena sejak semula tak menargetkan juara umum," kata pimpinan kontingen, Jenderal Tem Homsettee. Semula Muangthai menargetkan 96 medali emas. Nyatanya mereka, menurut Tem, gagal di cabang tinju, tenis, judo, dan beberapa lainnya, termasuk tentunya sepak bola. "Target tak terpenuhi, jadi mau apa lagi?" katanya. Api SEA Games, yang sudah menyala selama 12 hari di kaldron di Stadion Utama Senayan, pun dipadamkan. Semua lampu juga dimatikan. Lalu menyala kembang api membentuk huruf-huruf, See You in Kuala Lumpur SEA Games XV. Pertarungan seperti ini akan diadakan dua tahun mendatang di Kuala Lumpur. Setelah kemenangan besar ini apa? "Menggondol medali emas, kalau level-nya masih SEA Games, percuma saja. Ini cuma sasaran antara untuk tingkat yang lebih tinggi." Kata-kata itu diucapkan Bob Hasan, Ketua Umum PB PASI. Sekarang, PASI yang memiliki 6.000 pelatih yang tersebar di seluruh Indonesia, sedang berusaha mencari bibit baru berusia 15 tahun, yang memiliki potensi untuk dikembangkan. "Mereka itu akan dibina oleh PB untuk dipersiapkan menghadapi Olimpiade 1992 di Barcelona," ujar Bob. Ya, Olimpiade, atau paling tidak tingkatan Asia. Tingkat itulah yang menurut Bob Hasan mestinya dijadikan sasaran oleh para atlet Indonesia. Dari SEA Games ini, Bob menunjukkan beberapa atlet yang dibina dengan baik dan ternyata mampu menunjukkan prestasi tingkat Asia. Pelempar lembing Frans Mahuse, misalnya. Dengan lemparan 75,38 m, dia menumbangkan rekor yang dibuatnya sendiri di Bangkok, 71,6 m. Suatu peningkatan yang tak kepalang tanggung, karena berarti lemparannya lebih jauh 3,78 m dibanding dua tahun yang lalu. Rekor itu cuma terpaut 1,22 m dari rekor Asian Games di Seoul tahun lalu, oleh atlet Jepang Kazuhiro Mizoguchi, 76,60 m. Selain Mahuse, Bob Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri KONI Pusat itu, menunjuk raksasa Asia Tenggara, Julius Uwe. Atlet dasalomba itu memecahkan rekor SEA Games atas nama Hanafiah Nasir (Malaysia) Games, 7.431, atas nama atlet Cina, Kang Qiang Weng. Untuk mencapai prestasi itu, menurut Sekjen KONI, Mohammad Sarengat, segera akan ditentukan cabang-cabang yang pembinaannya diprioritaskan. Maksudnya yang disiapkan untuk Asian Games atau Olimpiade. Sebaiknya, menurut Sarengat, KONI cuma mengurusi cabang-cabang untuk keperluan Asian Games atau Olimpiade, sedangkan untuk SEA Games ada badan tersendiri. Badan itulah yang mengurusi cabang-cabang seperti pencak silat, sepak takraw, bilyar dan sejenisnya, untuk SEA Games. Meski berpikir tentang Olimpiade, Sarengat menolak menyebut kata "target" di sini. "Kita harus bisa merasakan sejauh mana kemampuan kita," katanya. Karena sebetulnya untuk bicara di kelas Asia, apalagi dunia, prestasi kita masih harus dikatrol jauh. Atlet yang akan dipersiapkan untuk Olimpiade pun tak akan banyak. "Paling 50 atlet," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini