KAUS oblong hijau muda dengan celana pendek hijau bergaris-garis, tampak serasi dengan kulitnya yang sawo matang. Wajahnya oval, hanya disapu bedak tipis. Sedikit eye shadow tampak di sekitar matanya. Bibirnya tak dipolesi lipstick. Rambutnya disisir dengan modcl potongan buntut kuda. Sederhana tapi cantik. Itulah sosok Lydia de Vega, 22 tahun, bintang atletik Filipina itu ketika menerima TEMPO di kamar 772 Hotel Indonesia, Jumat petang, pekan silam. Ia baru saja mandi setelah kembali dari Stadion Madya, Senayan, memenangkan nomor lari 200 m. Sekalipun keluar sebagai juara, Lydia gagal memecahkan rekor SEA Games di nomor itu karena masih cedera. Cederanya terjadi sehari sebelumnya, ketika mengikuti lompat jauh. Dalam lomba sore itu, Lydia melompat sejauh 6,27 m, memecahkan rekor SEA Games yang 6,11 m. Sewaktu mencoba melompat lagi, ia salah melakukan tumpuan hingga pergelangan kaki kanannya terkilir. Secara bergurau Lydia mengatakan, mungkin ia kualat. Biasanya, dalam setiap pertandingan, ia selalu memakai pakaian, sepatu atau kaus kaki yang ada warna merahnva. "Kali ini saya tak menyertakan warna merah itu, akibatnya, ya beginilah," katanya. Masih ada lagi penderitaan Lydia di Jakarta. Ia gusar atas ulah wartawan dan penggemarnya yang selalu memburu dirinya di luar lapangan. "Kurang ajar, malah ada yang mencolek-colek segala," keluhnya. Mungkin karena ia cantik dan sexy? "Ah, masa, sih. Betis saya 'kan besar," katanya sambil memperhatikan tungkainya yang mulus itu, dengan wajah tersipu-sipu. Di Jakarta, Jay -- panggilan akrabnya meraih medali emas nomor 100 m. Ia mempertajam rekor SEA Games dengan catatan waktu 11,28 detik, sekaligus melampaui rekor Asian Games 1986 di Seoul atas namanya sendiri. Seluruhnya Jay mengantungi 3 emas dan 2 perak. Dua medali peraknya diperoleh dari nomor estafet 4 X 100 m dan 4 X 400 m. Maria Lydia Sarto de Vega, demikian nama lengkapnya, lahir di Bulacan di pinggiran luar Kota Manila, 26 Desember 1964. Ia anak keempat dari enam bersaudara putra Maria dan Francisco de Vega, pensiunan polisi dan bekas petinju amatir. Francisco-lah yang memperkenalkan lintasan atletik kepada Lydia, ketika anak itu berusia 12 tahun. Ketika baru berusia 16 tahun, Lydia sudah tampil di arena SEA Games XI di Manila 1981. Namanya langsung mencuat ketika ia membukukan rekor baru Asia untuk nomor 400 meter -- 54,78 detik. Ia juga merebut medali emas di nomor 200 meter dengan menciptakan rekor SEA Gamcs baru, 23,54 detik. Di Asian Games Seoul 1986, Lydia kembali membuktikan bahwa dialah pelari tercepat Asia. Ia menciptakan rekor baru 100 m Asian Games dengan catatan waktu 11,53 detik. Sudah lebih dari 10 tahun Lydia berlari. Pernahkah ia merasa jenuh? "Entah sudah berapa kali perasaan itu hinggap dalam kalbu saya," tuturnya. "Terkadang, saya merasa bosan berlari. Setiap hari selalu di lapangan, berlatih, berlatih, dan bertanding." Lidya punya cara untuk menghilangkan kebosanannya itu. "Saya pergi berdansa ke disko atau main kartu Russian Poker dengan taruhan lima peso (sekitar Rp 4.000) dengan teman-teman," tuturnya. "Setelah itu, entah bagaimana saya jadi bergairah kembali untuk berlari," ujarnya. Hingga saat ini Lydia belum memutuskan hingga kapan ia akan berlari memburu medali dan berpacu dengan waktu. "Belum terpikir oleh saya untuk pensiun dari dunia atletik," tegasnya. Targetnya yang ada di depan mata sekarang, kata atlet yang selalu menyemprotkan hair spray di rambut bagian depannya sebelum bertanding itu, "Menjuarai Olimpiade Seoul tahun depan. Dan setelah itu, kalau jodoh, saya akan menikah," katanya. Senyumnya kembali merekah. Kali ini tanpa tersipu-sipu. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini