MATI di atas ring tinju termasuk kejadian yang sangat jarang. Itu sebabnya ketika Agus Souissa meninggal dunia saat bertanding melawan petinju dari Malang, Michael Arthur, 19 September lalu di Jayapura, segera saja mengundang reaksi banyak pihak. Bahkan buntut kejadian, sampai pekan ini, masih bergema. Mengapa sampai terjadi malapetaka itu? Jawabannya masih samar-samar. Ketua KTI Mohamad Anwar, Selasa pekan lalu, sempat menuduh Promotor Eddi Subiantoro tak membuat laporan peristiwa tragis itu selengkapnya kepada KTI. Eddi cuma melaporkan bahwa petinju asal Irian Jaya itu meninggal dunia ketika bertanding. Promotor itu melaporkan juga bahwa mereka sudah memberikan uang duka Rp 10 juta kepada keluarga Mendiang di Jayapura, seorang istri dengan dua anak yang masih kecil. Untuk pertandingan yang merenggut nyawanya, Agus dibayar promotor Rp 200.000,00. "Jangan menganggap bahwa semuanya terselesaikan dengan pemberian uang duka saja," kata Humas KTI Lilik Supryanto seperti dikutip harian Merdeka. Yang lebih diperlukan, menurut Anwar, adalah laporan medis tentang kemauan petinju yang nahas itu. Sebab, laporan medis itulah yang bisa menyingkap apa persisnya penyebab kematian Agus. Tanpa itu orang cuma blsa menduga-duga. Menurut dr. Ade yang mengawasi pertandingan itu, kematian Agus bukan oleh pukulan, melainkan karena kepalanya dua kali membentur kanvas. Tapi Eddy Rumpoko, pimpinan sasana Javanoea, Malang, yang menyaksikan sendiri peristiwa tragis itu berpendapat, ada tiga hal yang menjadi penyebab kematian. Pertama, pukulan Michael Arthur di saat-saat terakhir ronde kedelapan itu tepat di dagu Agus. Kedua, tulang ekor Agus terempas di kanvas. Ketiga, benturan bagian belakang kepalanya begitu keras ke kanvas. Pertandingan malam itu dilakukan untuk meramaikan acara perpisahan eks Wagub Irian Jaya, Soegiono, dengan masyarakat setempat. Dalam pertandingan, Agus sebenarnya sudah menang angka. Tapi tiba-tiba di ronde kedelapan itu sebuah pukulan Michael Arthur mendarat di dagunya. Dia jatuh tertelentang di atas kanvas, terus tak sadarkan diri semalaman sampai meninggal dunia keesokan paginya. Promotor Eddi Subiantoro balik menuding bahwa sikap KTI itu ngawur. Sebab, menurut peraturan KTI tentang kepromotoran, April 1987, promotor hanya bertanggung jawab memberi laporan finansial dan penyelenggaraan pertandingan. Khusus tentang pertandingan adalah tanggung jawab inspektur pertandingan dari KTI. "Promotor bukan penguasa tunggal," kata Eddi Subiantoro, 34 tahun, yang mengaku rugi Rp 5 juta dari penyelenggaraan pertandingan "maut" itu. Setelah itu Mohamad Anwar jadi mundur. Siapa yang bertanggung jawab pada kematian itu? "Ya, kami semua," katanya kepada TEMPO. Tapi tak siapa pun akan dituntut karena peristiwa itu. Sebab, menurut Anwar, sudah disimpulkan kematian petinju tadi sebagai suatu peristiwa kecelakaan dalam pertandingan. Semua ketentuan tentang kontrak, asuransi, pemeriksaan kesehatan petinju, dan kesiapan ring, menurut bekas Danien Marinir itu. sudah dipenuhi sesuai dengan peraturan. "Ya, sudahlah, siapa yang mau dituntut? Tuhan? Ya, tak mungkin," tangkis Anwar. Cuma, bagaimana bisa disimpulkan kematian itu sebagai kecelakaan sedang mayat korban tak diotopsi? Menurut Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, dalam kasus kematian Agus, selayaknya dilakukan otopsi. Dengan begitu, bisa diketahui penyebab kematian. Bisa pula diketahui apakah memang betul petinju itu laik tanding seperti yang sudah direkomendasikan dokter. "Kalau salah, dokternya bisa ditegur, bisa disuruh sekolah lagi," kata Ketua IDI itu. Ada informasi lain. Menurut keterangan keluarga Mendiang kepada Eddy Rumpoko, tiga tahun yang lalu, Agus Souissa pernah mengalami gegar otak -- penyebabnya tak jelas. Nah, kalau itu betul, laik tandingkah seorang yang pernah gegar otak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini