MALAM turun. Tapi Hajah Fahmida 40 tahun, tak mampu memicingkan mata. Suaminya, Haji Marhaenis Abulhay S.H., 47 tahun, malam 21 Septemberlalu itu, belum pulang. Biasanya, paling lambat, pukul 21.00, pembantu Dekan Koordinator I Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran itu sudah di rumah. Fahmida cemas. Sembari menidurkan si bungsu Melly, 3,5 tahun, ia ikut terlelap. Dan ibu empat anak itu bermimpi aneh: suaminya digoda tiga wanita. "Saya tersinggung lalu menyuruh wanita-wanita itu pergi," tutur Fahmida pada TEMPO. Selasa, 22 September pagi, Fahmida menelepon ke UPN di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Tak ada yang tahu ke mana suaminya. Ia menelepon ke rumah atasan Marhaenis. Jawabnya sama. Lalu ia ke Akademi Bahasa Asing, Jalan Kramat, tempat suaminya mengajar. Juga tak ada. Kemudian ke Universitas Tarumanagara, sia-sia. Di Universitas Nasional, Pasar Minggu, hasilnya sama. Rabu sampai Sabtu, 23-26 September, Fahmida melapor ke Polda Metro Jaya, ke Polres Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat. Tapi ada polisi menanggapi, "Mungkin Bapak lagi nyepi." Padahal, suaminya tak pernah nyepi, dan kalau pergi selalu pamit. Ia lalu ke RSUP Cipto Mangunkusumo. Hasilnya tetap nihil. Minggu pagi 23 September, seorang anak pencari rumput menemukan seonggok karung di tepi jembatan Cibaut, Cicarah, Desa Warungkiara, Kecamatan Kiara -- 28 kilometer selatan Sukabumi. Karung plastik itu berisi mayat seorang lelaki. Anak itu melapor kepada Ketua RK, dan segera diteruskan ke Muspika setempat. Polisi datang, dan mengambil sidik jari mayat yang sudah membusuk dan wajahnya sulit dikenali itu. Memang tak ada tanda pengenal sama sekali. Baju putih dan celana pendek pada tubuh mayat itu disimpan polisi. Karena tak ada yang mengenalnya, mayat itu pun dikubur. Pada hari yang sama, Dedi, anggota Resimen Mahasiswa UPN, berlibur di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Di sana ia mendengar kabar mengenai mayat seorang lelaki dalam karung yang sudah ditemukan itu. Ketika masih di Jakarta ia dengar juga ada dosen yang "hilang" -- jangan-jangan yang ditemukan di Sukabumi itu mayat dosennya. Lalu ia melaporkan ditemukannya mayat dalam karung plastik itu ke alma maternya. Minggu 27 September, seorang kawan menyarankan Nyonya Fahmida yang sehari-hari dipanggil Emi itu menemui Haji Enoh dan Pak Samad di Cisaat, Sukabumi. "Bapak masih ada. Dia dibawa pergi temannya sendiri," kata orang "pintar" itu. Nyonya Emi dianjurkan membaca beberapa doa. "Saya disuruh membaca basmallah 787 kali, isighfar 333 kali. Doa itu sangat membantu, hingga saya teguh dan tabah menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk sekalipun," katanya. Senin 28 September, Nyonya Emi istirahat total di rumah. Sementara itu, setelah mendenar laporan Dedi, Brigjen (Pur.) Suparyo, Dekan Koordinator UPN, memerintahkan pelacakan hilangnya Marhaenis ke Sukabumi. Malamnya, dua utusan UPN muncul di rumah Nyonya Emi di Kampung Bali, Jakarta. Menurut Nyonya Emi, suaminya mengenakan baju putih, celana biru. "Celana itu masih baru, dari UPN, bertuliskan nama Bapak," katanya. Mereka juga minta sidik jari Marhaenis -- yang ditemukan di KTP lama. Selasa 29 September, pagi. Nyonya Emi berdoa, "Ya, Allah, kiranya Engkau berkenan mengembalikan suami saya." Sekitar pukul 07.15, dua mobil Kijang parkir di depan rumah, ditumpangi 12 orang. Mereka mengajak Nyonya Emi ke Sukabumi, dan berharap siapa tahu sidik jari mayat yang di Sukabumi itu cocok dengan yang di KTP. "Ternyata, mereka sudah siap betul. Bagian belakang mobil itu penuh dengan makanan," kata Nyonya Emi. Di Sukabumi, mereka langsung ke Polsek Warung Kiara. "Ketika polisi memperlihatkan sehelai baju dan celana dalam mayat temuan itu, saya mengiyakan bahwa itu memang pakaian Bapak. Baju itu berlumur darah," tutur Nyonya Marhaenis, tabah. "Yang teringat waktu itu Melly, anak bungsu saya. Akhir-akhir ini Melly suka memegangi album, memandangi foto Bapak dan bertanya, kapan Bapak pulang," tambahnya. Kuburan mayat itu digali. Nyonya Emi diminta tak ikut menyaksikan jenazah suaminya. Ternyata, sidik jari mayat yang sudah membusuk itu cocok dengan sidik jari pada KTP lama milik Marhaenis. Mayat yang hanya terbungkus selembar tikar itu diangkut ke Rumah Sakit Syamsudin, Sukabumi. "Polisi memberi tahu saya, wajah Bapak memar. Ketika ditemukan, Bapak tak lagi mengenakan celana panjang. Tangan dan lehernya terikat tali plastik," tutur Nyonya Emi. Sampai minggu lalu, celana biru itu belum ditemukan. Barangkali sengaja dibawa si pembunuh, karena terdapat nama Almarhum. Sedan milik Marhaenis, Corolla DX B2281-VR biru tua, juga raib. Begitu pula sepatu dan dompet berisi kartu pengenal dan uang. Nyonya Emi memperkirakan, ketika berangkat Senin 21 September, suaminya membawa sekitar Rp 100.000. Polisi menduga, latar belakang pembunuhan ini perampokan. Rabu 30 September, kampus UPN dan lima kampus swasta lainnya (Unas, Untar, Perbanas, ABA, AIKP) mengibarkan bendera setengah tiang -- selain memperingati gugurnya tujuh Pahlawan Revolusi, juga untuk Almarhum Marhaenis. Siangnya, jenazah dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. Marhaenis yang lahir di Bukittinggi itu bertubuh gemuk, tinggi sekitar 160 sentimeter. Hidup sederhana, ia suka berenang, nonton film dan bercanda. Ketika masih mahasiswa, alumnus FH UI ini pernah duduk di Senat Mahasiswa, dan aktif dalam KAMI. Di akhir hayatnya ia jadi anggota Panitia Penyusunan Almanak Negara RI, Panitia Interdepartemental Penyusunan UU dan Peraturan Pemerintah. Dosen senior UPN itu oleh para mahasiswanya dikenal "enak mengajar, sistematis, penuh kesiapan, terbuka dan suka ngobrol seusai kuliah". Pendeknya, sangat akrab dengan mahasiswa. "Bila memberikan bimbingan skripsi, ia sangat mengesankan," tutur mahasiswa lain. Marhaenis juga menulis beberapa buku hukum, di antaranya, Hukum Perbankan di Indonesia Perkreditan: Suatu Tinjauan Hukum Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Kaitannya dengan UUD 45 Hukum Perdata: Pendekatan Manusiawi dan Hukum dalam Pancasila dan UUD 45. Belum bisa ditebak pasti apa latar belakang hingga Marhaenis dibunuh. Apalagi ia dikenal baik, ramah, dan banyak kawan. Dia juga bukan "dosen killer". Tapi ada satu hal yang bikin orang bertanya-tanya. Pada hari terakhir itu -- Senin 21 September, sekitar pukul 11.30 -- Marhaenis masuk kantor di UPN. Ia tak mengajar karena hari itu libur. Siang itu Marhaenis menerima tiga tamu. "Tapi saya tak tahu siapa mereka," kata Brigjen (Pur.) Santoso, Pembantu Umum UPN. Sorenya, seorang mahasiswa melihat Marhaenis keluar dari kampus bersama tiga orang. Tak jelas siapa mereka. Sejak itulah Marhaenis tak lagi pulang. Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha, Agus Wahid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini