Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 27 Mei 2015, pukul enam pagi, jalan-jalan di Kota Zurich lengang. Seorang petugas resepsionis Hotel Baur au Lac menelepon kamar yang dihuni seorang pejabat Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). "Pak," kata petugas itu dalam bahasa Inggris, "kami ingin Anda melangkah ke pintu kamar dan membukanya untuk kami atau kami terpaksa mendobraknya."
Sebagaimana ditulis harian The New York Times, resepsionis itu menelepon atas instruksi seorang polisi Swiss yang tak berseragam. Ia datang bersama belasan rekannya untuk menangkap tujuh pejabat tinggi FIFA yang menginap di hotel itu. Mereka akan diekstradisi ke Amerika Serikat demi kepentingan penyidikan Biro Investigasi Federal (FBI) atas tuduhan telah memperkaya diri sendiri selama puluhan tahun melalui korupsi sepak bola internasional.
Beruntung, tidak ada pintu yang didobrak. Bahkan polisi memberi waktu kepada pejabat-pejabat FIFA itu untuk berganti baju dan mengepak barang-barang mereka.
Eduardo Li Sanchez, salah seorang pejabat yang ditangkap, dibawa keluar melalui sebuah pintu samping hotel yang menghadap jalan sempit. Beberapa anggota staf hotel dengan jubah jas berekor sudah siap di sana. Mereka merentangkan seprai putih dari pintu itu ke pintu sebuah mobil station wagon yang sudah menunggu di dekatnya. Ini salah satu usaha agar wakil Konfederasi Amerika Utara, Tengah, dan Karibia (CONCACAF) di Komite Eksekutif FIFA itu bisa masuk ke mobil tanpa dikenali pejalan kaki yang kebetulan lewat atau wartawan yang ada di sekitar hotel tersebut.
Berita penangkapan yang berlangsung adem-ayem dan tidak lebih dari dua jam itu menggemparkan dunia sepak bola. Sebab, kejadian itu berlangsung dua hari sebelum pemilihan Presiden FIFA. Joseph S. "Sepp" Blatter, presiden inkumben yang kembali mencalonkan diri, berada di bawah tekanan publik. Penangkapan tujuh kaki tangannya dianggap sebagai bukti kuat kepemimpinan 17 tahunnya yang korup. Tapi Blatter menolak mundur dari pencalonan. Bahkan, dua hari kemudian, ia kembali terpilih sebagai Presiden FIFA.
Toh, empat hari kemudian, tepatnya 2 Juni 2015, presiden terpilih itu mengumumkan pengunduran dirinya dan meminta Komite Eksekutif FIFA menggelar pemilihan lagi. Blatter akan tetap melaksanakan tugas sebagai presiden sampai presiden baru terpilih.
Pengunduran diri Blatter ini mengakhiri usaha menggoyang kepemimpinannya yang dimulai sejak tahun keempat ia menjabat, pada 2002. Saat itu, 11 anggota Komite Eksekutif FIFA mengajukan dia ke pengadilan Swiss atas tuduhan menggelapkan dana FIFA untuk kepentingan pribadi. Mereka juga mendesaknya mundur. Kasus itu berakhir dengan putusan pengadilan yang menyatakan Blatter tak bersalah.
Blatter juga pernah disebut mengetahui tindakan penyuapan dalam proses tender hak siar Piala Dunia 2002 dan 2006. Tuduhan nepotisme pun sering diarahkan kepadanya, tapi belum pernah ada kejadian seheboh penangkapan tujuh pejabat FIFA menjelang kongres pekan lalu, sampai-sampai Kepala Departemen Kehakiman Amerika Serikat Loretta Lynch mengadakan konferensi pers untuk menjelaskannya.
Kali ini para sponsor turut menyudutkan Blatter. Perusahaan kartu kredit terbesar di dunia, Visa, merilis pernyataan paling keras menanggapi penangkapan itu. "Melihat situasi terakhir," tulis Visa dalam pernyataannya, "kekecewaan kami terhadap FIFA sangat mendalam. Sebagai sponsor, kami berharap FIFA mengambil langkah cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Mulailah dengan membangun kembali budaya dan praktek etika yang kuat."
Visa merupakan sponsor FIFA sejak 2007 dan baru-baru ini memperpanjang kontrak mereka hingga 2022. Tapi perusahaan itu mengancam akan menghentikan kontrak. "Jika FIFA gagal melakukannya, kami telah mengatakan kepada mereka bahwa kami akan mempertimbangkan kembali kerja sama dengan mereka," tulis Visa.
Sebenarnya, sebelum kejadian penangkapan di Baur au Lac, sejak November tahun lalu, dua sponsor besar FIFA-perusahaan penerbangan Emirates dan perusahaan barang elektronik Sony-memutuskan tidak memperpanjang kontrak. Padahal Emirates dan Sony merupakan dua di antara enam partner besar FIFA yang pada Piala Dunia tahun lalu membayar US$ 177 juta untuk hak mereka beriklan di stadion-stadion pertandingan dan menggunakan logo FIFA.
Narasumber Reuters yang ada di Sony menyebutkan bahwa isu korupsi di tubuh FIFA merupakan salah satu alasan di balik keputusan mundurnya Sony. Kendati begitu, alasan utamanya waktu itu adalah nilai kontrak yang diminta FIFA terlalu besar.
Di samping Visa, sponsor lain-masih dalam masa kontrak dengan FIFA-mengungkapkan kekecewaannya. Salah satunya Coca-Cola, yang menjadi sponsor FIFA sejak 1972 dan masih memiliki kontrak hingga 2022. "Kontroversi yang sudah lama berlangsung ini telah menodai idealisme serta misi Piala Dunia FIFA dan kami telah berulang kali mengekspresikan kekhawatiran soal tuduhan serius ini," tulis pernyataan resmi Coca-Cola.
Perhatian dan keseriusan merek-merek besar terhadap kisruh FIFA ini berkat tumbuhnya kepekaan konsumen dan pemegang saham agar perusahaan mereka tidak terlibat dengan organisasi-organisasi korup. Pendapat ini dinyatakan The Institute of Directors (IoD), lembaga pengawas standar industri di Inggris.
"Perusahaan-perusahaan itu memiliki tanggung jawab kepada pemegang saham untuk memastikan bahwa uang perusahaan mereka tidak pergi ke kegiatan olahraga yang sarat tuduhan penyuapan dan korupsi," kata Roger Barker, Direktur Pengelolaan Perusahaan IoD.
Jika sponsor-sponsor ini benar-benar menghentikan kerja samanya dengan FIFA, badan sepak bola dunia itu akan kehilangan pendapatan dalam jumlah besar. Sebagaimana ditulis Business Insider, total pendapatan FIFA dari penyelenggaraan Piala Dunia Brasil tahun lalu adalah US$ 4,8 miliar. Dari total pendapatan itu, kontrak sponsor menyumbang US$ 1,6 miliar, atau lebih dari 33 persen.
Mundurnya Sepp Blatter diduga kuat disebabkan oleh kekhawatiran kaburnya sponsor yang selama ini mendanai FIFA. Ini tersirat dalam pidato Blatter pada pengumuman pengunduran dirinya. "Sementara saya menerima mandat dari anggota FIFA, saya tidak merasa mendapatkan mandat dari dunia sepak bola secara keseluruhan-pendukung, pemain, klub, orang-orang yang hidup, bernapas, dan mencintai sepak bola seperti kami di FIFA," katanya.
Direktur Utama SKINS Jaimie Fuller pun menegaskan hal ini. "Orang-orang yang didengar FIFA hanyalah para sponsor. Memang uang paling besar datang dari hak siar, tapi brand mereka tidak terekspos sebesar sponsor," ujar pemimpin perusahaan pakaian dan perlengkapan olahraga Australia itu.
Pengunduran diri Blatter pun mendapat reaksi positif dari para sponsor. Visa, misalnya, mengapresiasi langkah Blatter. "Hati kami dibesarkan dengan pengakuan FIFA bahwa mereka membutuhkan reformasi yang besar dan mendasar, sebagaimana dicerminkan dengan pengunduran diri Presiden Blatter dan bahwa FIFA akan melakukan perombakan besar," begitu bunyi pernyataan resmi perusahaan kartu kredit itu. "Ini adalah langkah pertama yang signifikan untuk membangun kepercayaan publik. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di masa depan."
Gadi Makitan (the Guardian, Reuters)
Hadiah kepada pendukungnya di beberapa konfederasi dan asosiasi nasional
- Pada 2002-2009, Blatter menggelontorkan dana FIFA tak kurang dari US$ 2 juta untuk pembangunan lapangan sepak bola di Kepulauan Cayman. Padahal Kepulauan Cayman saat itu hanya menempati peringkat ke-191 dari 209 negara dalam ranking sepak bola pria yang disusun FIFA. Diduga kuat ini dilakukan sebagai hadiah loyalitas kepada Jeffrey Webb, pria asal Cayman yang saat itu menjabat Presiden CONCACAF, konfederasi yang memiliki 41 anggota asosiasi sepak bola nasional. Dengan anggota sebanyak itu, The New York Times menulis bahwa Webb berkuasa memberikan 17 persen suara kepada Blatter saat pemilihan. Selain itu, Blatter memberikan dana US$ 330 juta kepada 35 negara anggota CONCACAF.
- Blatter mengalokasikan dana US$ 26 juta untuk pembangunan gedung konferensi dan pusat olahraga di Trinidad dan Tobago. Ini adalah kado untuk Jack Warner, bekas Wakil Presiden FIFA dan Presiden CONCACAF sebelum digantikan Jeffrey Webb. Pria kelahiran Tobago ini, bersama Mohamed Bin Hammam, masuk tim sukses Sepp Blatter pada pemilihan Presiden FIFA 1998 dan 2002.
- Sejumlah uang yang digelontorkan itu diduga kuat berasal dari US$ 3,5 miliar yang oleh FIFA sengaja tidak dipublikasikan penggunaannya.
Perjalanan Blatter
Joseph S. "Sepp" Blatter
LAHIR di Visp, Swiss, 79 tahun lalu, pada 10 Maret. Memiliki latar belakang di dunia bisnis, hubungan masyarakat, dan pengurus cabang olahraga di Swiss.
1998 - Setelah 17 tahun menjadi sekretaris jenderal presiden sebelumnya, Joao Havelange, Sepp Blatter terpilih sebagai Presiden FIFA.
2001 - Blatter dikritik karena memilih International Sport and Leisure sebagai partner marketing. Sebab, perusahaan itu kemudian bangkrut dengan utang lebih dari US$ 100 juta.
2002 - Blatter diajukan ke pengadilan Swiss atas tuduhan memperkaya diri, tapi tidak terbukti di pengadilan. Dia kembali terpilih menjadi presiden.
2004 - FIFA merilis buku Standar Etika. Sebelumnya, FIFA tak memiliki itu.
2007 - Blatter terpilih kembali-kali ini tanpa lawan. FIFA memberikan jatah suara sama kepada setiap asosiasi kendati negara-negara Eropa memiliki ekonomi lebih besar. Blatter tak memerlukan dukungan dari Jerman, misalnya, jika sudah memiliki suara dari Guinea, Guatemala, Guyana, dan Guam.
2010 - Pada periode ketiganya ini, tuduhan soal tak beresnya lelang tuan rumah penyelenggara Piala Dunia 2018 dan 2022 mencuat. Ditengarai ada suap di balik proses lelang.
2011 - Kembali terpilih. Pesaingnya, Mohamed bin Hammam dari Qatar, dituduh menyebarkan amplop uang. FIFA kemudian menskorsnya. Menurut Hammam, Blatter melakukan hal yang sama, tapi FIFA tidak pernah menginvestigasi dia. Pada tahun ini pula Blatter beberapa kali mengeluarkan komentar kontroversial, termasuk mengentengkan kasus rasisme.
2015 - Penangkapan tujuh pejabat tinggi FIFA dan sejumlah pejabat lain di Zurich atas tuduhan korupsi sepak bola yang nilainya mencapai US$ 150 juta-terbesar dalam sejarah FIFA. Jack Warner juga mengungkapkan bahwa Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke mentransfer uang US$ 10 juta kepadanya, yang merupakan hasil suap bidding Piala Dunia Afrika Selatan. Informan media di FBI juga menyebutkan bahwa Blatter sedang diselidiki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo