Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ketika Virus Semakin Sakti

Virus hepatitis B mengalami mutasi dan membentuk varian virus baru. Tak mempan diterapi dengan obat sebelumnya.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI usianya yang ke-59 tahun, Amril punya rutinitas yang tak bisa ditawar lagi. Sebulan sekali dia harus meluangkan waktu setengah hari untuk memeriksakan fungsi hati dan ginjal serta kadar gula darah di laboratorium Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Di samping itu, enam bulan sekali dia harus memeriksakan DNA virus hepatitis B (VHB) yang masih ngumpet di aliran darahnya.

Walaupun sudah divonis terinfeksi hepatitis B kronis sejak 1992, Amril baru rutin minum obat untuk mengendalikan virus penyebab sirosis alias pengerasan hati dan kanker hati itu delapan tahun kemudian. "Sudah 15 tahun terakhir saya minum obat pengendali virus dan masih sehat," kata Amril, pertengahan bulan lalu.

Virus jenis ini memang tidak memperlihatkan gejala klinis hingga 10-30 tahun sejak pertama kali terinfeksi. Selama itu tanda-tanda infeksinya hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan laboratorium, antara lain dengan petunjuk HbeAg (hepatitis B E-antigen) positif. HBeAg semacam enzim yang akan muncul ketika virus hepatitis B mulai berkembang biak.

Sampai kini Amril sudah enam kali berganti jenis obat. Virus hepatitis B di dalam tubuhnya mengalami mutasi dan mereka membentuk varian virus baru yang berbeda dengan varian sebelumnya. Kalau sudah begini, obat yang diberikan sebelumnya tidak mempan lagi untuk mengendalikan sang virus agar tidak merusak sel dan jaringan hati. Padahal hati berfungsi menghilangkan racun dari tubuh, mencerna protein dan lemak, memproduksi cairan lemak yang membantu pencernaan, serta membantu mengontrol penggumpalan darah.

Mutasi virus hepatitis B terungkap dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Divisi Hepatobilier Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Lewat tes DNA (asam deoksiribonukleat), dari 49 sampel pasien, 35 terdeteksi terinfeksi virus hepatitis B. Sejauh ini mereka sudah menjalani terapi obat antivirus jenis nucleoside analogue, yang diminum sebutir sehari.

Dari 35 yang terinfeksi virus di atas, ternyata ada 20 sampel terdeteksi virusnya bermutasi. "Akibatnya, terapi atau obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif bekerja," ujar Kepala Divisi Hepatobilier Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM dokter Rino Alvani Gani. Hasil penelitian Rino bersama peneliti biologi medis Anugrah D. Handayu ini akan segera dipublikasikan.

Kesimpulannya, dalam kasus hepatitis B, virus bermutasi relatif tinggi setelah diobati dengan lamivudine dan telbivudine. Obat adefovir disoproxil juga menyebabkan mutasi yang tinggi. "Kalau tenofovir disoproxil dan entecavir relatif rendah mutasinya," kata Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia itu.

Dengan menghambat pembuatan rantai genetik virus, obat-obat antivirus hepatitis B ini menggagalkan virus memperbanyak diri. Setiap obat menghambat pembuatan satu dari empat asam nukleat: A, G, C, dan T. Lamividune, misalnya, menghambat pembuatan asam nukleat A (adenin). "Bila salah satu asam nukleatnya diputus, virus baru tidak akan terbentuk," ujar Rino.

Temuan Rino dan kawan-kawan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Eijkman Institute Jakarta. Berdasarkan tes DNA virus, pengobatan dalam jangka waktu tertentu terhadap penderita hepatitis B juga melahirkan resistansi virus terhadap obat nucleoside analogue. Menurut penelitian Eijkman Institute, dari 269 sampel pasien yang sudah diobati lamivudine dan telbivudine, sebanyak 19,24 persen terdeteksi virusnya bermutasi.

Menurut peneliti Unit Hepatitis Eijkman Institute, Turyadi, temuan ini bermanfaat untuk membuat pemetaan pasien virus hepatitis B dan mengubah kebijakan dokter dalam pemberian jenis obat kepada pasien. Dan, "Pengecekan apakah terjadi mutasi atau tidak baru bisa dilakukan setelah diobati dalam jangka waktu tertentu," katanya.

Sekadar gambaran, dalam satu mililiter serum terdapat sampai 100 juta virus hepatitis B-bahkan bisa lebih banyak lagi. Setiap virus besarnya 42 nanometer. Tanpa pengobatan yang tepat, virus itu akan terus berkembang biak hingga akhirnya menyerang sel dan jaringan hati.

Sementara bagian luar virus mengandung protein, bagian dalam renik ini menyimpan materi genetik yang sangat berguna untuk perkembangbiakan. Agar bisa menjadi virus baru, virus harus membuat materi genetik baru. Caranya, menurut Turyadi, materi genetik diduplikasi mirip pembelahan diri, sehingga muncullah calon materi genetik baru.

Di satu sisi, virus juga menggunakan mesin sel tubuh penderita (pejamu) untuk membentuk protein, tapi dengan cetakan virus. Virus tidak bisa hidup sendiri. Ia meminjam mesin dan bahan-bahannya dari sel tubuh manusia.

Mutasi virus hepatitis B terjadi ketika virus pada tahap replikasi atau perkembangbiakan, yakni ketika genom (himpunan materi genetik) virus hepatitis B yang dibentuk dari pregenome RNA (asam ribonukleat) mengalami transkripsi balik DNA alias pelipatgandaan kode-kode genetis oleh enzim reverse transcriptase. Proses mutasi ini seperti menerjemahkan ulang tapi dengan "ungkapan" genetis berbeda. Bahasa DNA kemudian disalin menjadi RNA. RNA merupakan molekul makro penyimpan materi genetik virus.

Salah satu obat infeksi VHB adalah nucleoside analogue. Obat ini bekerja menghambat kerja enzim reverse transcriptase sehingga proses transkripsi balik tidak terjadi. Obat berpura-pura seperti DNA sehingga dapat menempel pada ujung RNA. Lamividune, misalnya, zat kimianya berpura-pura menjadi C (citosin) dan menempel pada G (guanin) RNA. Setelah menempel itulah virus tidak bisa melanjutkan perkembangbiakan. "Hasilnya, tidak terbentuk genom calon virus," kata Turyadi.

Prinsip pengobatan tidak membunuh virus, tapi menghentikan perkembangbiakannya sehingga jumlah virus akan tetap. Bila virus bermutasi dan obat tidak diganti dengan yang cocok, perkembangbiakan semakin meningkat. Siroris atau pengerasan hati terjadi ketika sistem imun tidak lagi mampu menghancurkan jutaan virus yang merusak sel dan jaringan hati sehingga terjadi peradangan.

Secara alamiah, sistem imun tubuh akan berusaha menyembuhkan luka serta memperbaiki sel dan jaringan hati yang rusak. Luka yang terus-menerus disembuhkan itu seperti koreng mengeras. Proses seperti itulah yang terus-menerus menyebabkan jaringan hati mengeras. Begitu kondisi ini disadari, pasukan virus sudah terlampau kuat untuk dikalahkan oleh antibodi.

Ahmad Nurhasim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus