Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCETAKAN sawah 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, bisa dibilang gagal secara menggelikan. Dari target fantastis itu hanya terwujud 0,1 persen atawa 100 hektare. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan dugaan penyalahgunaan dana dalam proyek ini. Program di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara ini wajib diusut tuntas.
Ekstensifikasi lahan pertanian memang perlu demi menguatkan ketahanan pangan di negeri ini. Pada 2012, program BUMN Peduli meluncurkan serangkaian rencana kerja, dari pencetakan sawah, penanaman sorgum, sampai pembibitan sapi. Anggaran totalnya Rp 252 miliar, yang diambil dari dana patungan berbagai BUMN dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Sedari awal program ini penuh kejanggalan. Mencetak sawah secara masif merupakan proyek raksasa. Butuh perencanaan matang di segala lini, dari pembukaan lahan, pembangunan bendungan dan jaringan irigasi, penyediaan pupuk, hingga terutama pengerahan tenaga penggarap. Jika satu hektare sawah butuh 20 tenaga penggarap per hari, 100 ribu hektare sawah akan memerlukan dua juta penggarap saban hari. Sebab, yang disebut "mekanisasi pertanian sawah" sampai hari ini masih merupakan dongeng sebelum tidur.
Mencetak sawah secara masif hanya pernah terjadi pada masa Orde Baru, tepatnya di Lembah Wayapo, Pulau Buru, pada 1960- 1970-an. Ketika itu lebih dari 2.000 hektare sawah dicetak dalam tempo sekitar dua tahun. Namun ada catatan penting: "petani penggarap"-nya adalah lebih dari 12 ribu tahanan politik Gerakan 30 September 1965 yang tidak perlu dibayar, dan di bawah ancaman bedil. Sampai sekarang Pulau Buru merupakan lumbung padi Maluku.
Legitimasi BUMN Peduli untuk pencetakan sawah ini pun patut dipertanyakan. Pengadaan pangan secara nasional merupakan tugas pemerintah yang diatur Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Begitu penting perlindungan lahan pangan ini, pengadaan sawah dengan skala masif harus melalui perencanaan terpadu, terukur, dan akuntabel, dengan biaya dari APBN dan APBD.
Dalam perkara ini, program BUMN Peduli seolah-olah bergerak sendiri. BUMN Sang Hyang, perusahaan pengadaan benih yang tidak punya kompetensi sebagai pencetak sawah, malah ditunjuk sebagai pelaksana. Wajarlah jika lahan yang hendak disulap jadi sawah terbengkalai ditumbuhi gulma. Masyarakat lokal, sebagai pemilik lahan, merana menanti janji bagi hasil panen.
Perkara pencetakan sawah ini mengingatkan perlunya mengkaji akuntabilitas PKBL. Program ini bermula pada 1983, ketika Presiden Soeharto mewajibkan perusahaan pelat merah menyetor 1-5 persen laba untuk kegiatan kemitraan dan lingkungan. Kebijakan ini terus diperbarui, termasuk dengan Peraturan Menteri BUMN Tahun 2007 dan 2013. Dengan setoran 1-5 persen laba BUMN, kas PKBL jelas gemuk. Sepertiga total dana PKBL inilah yang kemudian dikelola BUMN Peduli untuk mendanai program nasional seperti pencetakan sawah.
Kasus ini merupakan bukti nyata bahwa BUMN Peduli tidak dikelola dengan baik, reaktif, dan dihela kecenderungan politik sesaat. Karena itu, pemerintah wajib membuat sistem pengelolaan dan pengawasan dana PKBL dengan lebih ketat dan transparan. Ihwal sawah fiktif ini juga bisa dijadikan pelajaran bagi Presiden Joko Widodo, yang dalam kampanyenya berjanji mencetak 2 juta hektare sawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo