Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tak Patah Karena Cedera

Lama dibekap cedera, Lindsay Davenport kembali meraih predikat petenis nomor satu dunia. Sempat putus asa dan ingin pensiun.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Filderstadt, Jerman, selalu menyediakan keberuntungan bagi Lindsay Davenport. Enam tahun silam, di turnamen Porsche di kota ini, ia pertama kalinya memastikan diri merebut peringkat satu dunia, menggeser Martina Hingis. Sesudah lama tenggelam, kejayaan datang lagi pada 6 Oktober lalu. Di ajang yang sama, Davenport meraih gelar juara setelah petenis nomor satu dunia asal Prancis Amelie Mauresmo mundur karena cedera. Kemenangan ini mengantar ia mendekati posisi peringkat pertama dunia yang sudah lebih dari dua tahun lepas dari tangannya.

Davenport, 28 tahun, akhirnya meraih posisi puncak itu empat hari kemudian pada ajang Piala Kremlin di Moskow. Petenis Amerika ini memastikannya setelah mengalahkan petenis tuan rumah Dinara Safina 6-4 dan 6-2 di babak kedua. Meski akhirnya disingkirkan petenis Rusia lainnya, Anastasia Myskina, di semifinal, Davenport tetap berhak menyandang label petenis nomor satu dunia.

Sebenarnya prestasi itu tidak luar biasa karena dia pernah mengecapnya sebanyak lima kali (1998-2002). Hanya, kali ini menjadi istimewa karena Davenport sempat dibekap cedera selama dua tahun dan hampir putus asa. "Rasanya aneh sekali. Saat bicara tentang pensiun, saya justru bisa kembali ke permainan terbaik dan meraih posisi nomor satu," katanya.

Pensiun? Ya, sejak pertengahan 2003 rencana menarik diri dari dunia tenis mulai ia lontarkan. Kekecewaan atas prestasinya yang buruk menjadi pemicu. Sepanjang 2003 hingga awal 2004, hampir tak ada gelar bergengsi diraihnya. Davenport seolah tak mampu bersaing lagi di posisi empat besar. "Terus terang keadaan ini membuat saya agak frustrasi. Mungkin ini tahun terakhir saya bermain," katanya, Februari lalu.

Semua gara-gara cedera lutut yang mulai menghinggapinya sejak Maret 2001. Hasil gemilang pada kurun waktu 1998-2001 dengan mengoleksi tiga gelar grand slam serta lima kali menduduki peringkat pertama dunia pun sulit ia pertahankan lagi. Buat memulihkan lututnya, Davenport sempat beristirahat total selama 10 pekan, tapi cedera itu tak benar-benar pergi. Malah, pada November tahun yang sama, cedera itu menyerang lagi. Kali ini lebih parah. Setelah dua bulan diterapi, dokter spesialis yang menanganinya memutuskan: masalah cartilage (tulang rawan) di lututnya harus dienyahkan dengan operasi.

Operasi itu dijalani di kampung halamannya, Laguna Beach, California. Setelah operasi itu dia pun harus beristirahat selama enam bulan untuk menjalani proses penyembuhan yang membosankan. Selama sembilan pekan dia harus berjalan dengan bantuan kruk. Ketika sudah bisa berjalan tanpa bantuan alat, latihan pemulihan yang berat menunggunya. Tiap hari dia harus menghabiskan waktu delapan jam di atas mesin yang melatih kaki kanannya. Dia juga harus kembali mengasah pukulannya di lapangan dan melakukan diet ketat yang diatur dokternya.

Ketika Davenport bisa berlaga lagi, penampilannya merosot drastis. Prestasinya mentok di semifinal. Peringkatnya pun melorot ke posisi ke-12, yang terendah dalam tujuh tahun terakhir. Memasuki 2003, penampilannya mulai lumayan. Dia berhasil jadi juara pada turnamen Pan Pacific Jepang serta menjadi finalis dalam empat kejuaraan lainnya yang membuat peringkatnya terdongkrak ke urutan keempat. Sayang, tiba-tiba cedera datang lagi. Pada Oktober 2003, dia mengalami pembesaran saraf di sela-sela jari kaki kirinya (morton's neuroma) dan harus diatasi dengan operasi. Tiga bulan dia absen dari pertandingan untuk menjalani operasi dan proses pemulihan yang tak kalah melelahkan.

Saat kembali ke lapangan pada 2004, kegagalan langsung menyapanya. Di ajang Australia Open, dia tersingkir di babak perempat final. Kegagalan ini membuat hatinya murung. Rencana pensiun makin mengental dalam pikirannya. "Saya memang makin sering berpikir tentang hal itu. Tambahan lagi, sekarang saya sudah berkeluarga," katanya. Davenport menikah pada April 2003 dengan Jon Leach, seorang bankir dan juga saudara dari Rick Leach yang sempat beberapa bulan melatihnya.

Toh, rencana pensiun itu masih disimpannya untuk akhir tahun 2004. Dia lantas berusaha menjalani sisa-sisa masa kariernya tanpa beban. Ternyata hal itu justru mampu mengembalikan penampilan terbaiknya. Berturut-turut sepanjang 2004 dia berhasil meraih gelar juara di Tokyo (Februari), di Amelia Island, Los Angeles, dan San Diego (April), Stanford (Juli), Cincinnati (Agustus), Filderstadt (Oktober). Sederet keberhasilan itu kemudian mengantarnya kembali ke posisi puncak peringkat dunia.

Davenport menilai, keberhasilannya kembali meraih peringkat satu tak lepas dari faktor kesehatan. Tahun ini ia relatif bugar dan sehat, dan saat yang sama para petenis lain justru banyak yang diberangus cedera. "Dalam peta persaingan saat ini, kesehatan adalah faktor yang sangat menentukan," katanya. Dalam dua tahun terakhir ini, para petenis top dunia memang silih berganti didera cedera. Williams bersaudara sama-sama harus istirahat enam bulan pada akhir tahun lalu. Serena menderita cedera tendon lutut kiri, sedangkan Venus Williams bermasalah dengan tenggorokan dan abdominal (perut). Saat kembali berlaga tahun ini, keduanya juga belum bisa tampil maksimal karena cedera masih kerap mengganggu.

Gangguan virus tenggorokan membuat penampilan petenis Belgia Justine Henin-Hardenne pun tidak maksimal, sehingga gelar petenis nomor satu pun akhirnya lepas ke tangan Amelie Mauresmo, September lalu. Tapi Mauresmo gagal pula mempertahankan gelar nomor satu setelah pada 6 Oktober lalu dipaksa menarik diri dari turnamen di Filderstadt, Jerman, karena cedera paha kanan. Begitu pula Kim Clijsters, petenis Belgia yang lama menghuni posisi dua besar. Ia kini terpuruk dan terlempar dari posisi 10 besar karena diganggu cedera pergelangan tangan dan bahu.

Menurut Jennifer Capriati, petenis Amerika yang juga terus diganggu cedera punggung dan paha, kelelahan menjadi penyebab utama mudahnya petenis top cedera. Itu sebabnya, perlu dilakukan perubahan jadwal turnamen untuk memberi kesempatan kepada petenis beristirahat. Bila tidak, katanya, "Banyaknya pemain top yang tak bisa tampil karena cedera akan menurunkan daya tarik tenis wanita."

Ketatnya jadwal turnamen memang bisa menguras fisik petenis sehingga jadi rentan cedera. Dan sekali seorang petenis dihampiri cedera, umumnya akan sulit bangkit lagi.

Itulah yang membuat kebangkitan Davenport menjadi istimewa. Dia akhirnya memutuskan untuk menunda rencana gantung raket kendati tak akan lama. "Yang pasti Anda tak akan melihat saya bermain pada 2006,"ujarnya.

Nurdin Saleh


Lindsay Davenport

Tanggal Lahir: California, 8 Juni 1976 Tinggi: 189 cm Berat: 79 kg Terjun ke pro: 22 Februari 1993 Peringkat tertinggi perseorangan: 1 (12 Oktober 1998) Peringkat tertinggi ganda: 1 (20 Oktober 1997) Gelar grand slam: 3 (US Open 1998, Wimbledon 1999, Australia Open 2000)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus