Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Konflik Mamasa, Kesembronoan Jakarta

Bentrok horizontal di Mamasa karena sembrononya orang-orang di pusat. DPR tak turun ke lapangan ketika membuat undang-undang pembagian wilayah.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan rumah terbakar, ribuan pengungsi kini kesulitan bahan makanan, sekian nyawa sudah melayang. Bentrok horizontal di Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat (dulu bagian dari Sulawesi Selatan) belum sepenuhnya bisa diredam. Inilah konflik yang disebabkan begitu sembrononya orang-orang di Jakarta, baik pihak eksekutif maupun legislatif.

Awalnya adalah upaya pembagian Kabupaten Polewali Mamasa yang biasa disebut Polmas. Kawasan pegunungan ini terlalu besar untuk sebuah kabupaten. Baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sepakat soal pembagian itu. DPRD Polmas sudah membuat usul, bagaimana wilayah itu dibagi. Berbagai pertimbangan diperhatikan, sosial budaya, sejarah, suku, dan sebagainya.

Namun usul itu diabaikan di Jakarta. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2002, pemerintah membagi dua Kabupaten Polmas tanpa menghiraukan pendapat orang daerah. Ada tiga kecamatan, yaitu Aralle, Tabulahan, dan Mambi yang tetap seutuhnya dimasukkan ke Kabupaten Mamasa. Padahal tiga kecamatan ini penduduknya campuran, baik sukunya maupun agamanya.

Sekelompok masyarakat dari suku Mandar, yang mayoritas Islam, menolak masuk ke Kabupaten Mamasa. Di sana mereka akan jadi minoritas karena Mamasa dihuni mayoritas suku Toraja yang beragama Kristen.

Mereka memilih tetap di kabupaten asalnya, Polmas. Ini sesuai dengan usul DPRD Polmas. Rupanya, ada kepentingan lain di Jakarta. Tiga kecamatan itu kaya akan perkebunan dan menjadi penghasil utama pendapatan daerah, karena itu tiga kecamatan ini diperebutkan. Tanpa mengadakan peninjauan ke daerah, DPR mengegolkan undang-undang yang isinya antara lain menetapkan tiga kecamatan itu masuk ke Mamasa.

Yang patut disayangkan, konflik sudah meletup sejak undang-undang disahkan dua tahun lalu. Tetapi tak ada penyelesaian yang tuntas. Perpecahan di daerah terus terjadi, dualisme kepemimpinan di masyarakat juga tetap berlangsung. Pemerintah pusat justru meneruskan rencananya untuk membagi Provinsi Sulawesi Selatan dengan membuat Provinsi Sulawesi Barat. Kini daerah konflik itu termasuk Provinsi Sulawesi Barat.

Yang menjadi pertanyaan, kalau pembagian itu memang direncanakan sejak awal di tingkat provinsi, kenapa Kabupaten Polmas dipecah dengan cara yang mengabaikan nilai sejarah dan keberadaan suku-suku di sana? Kenapa kawasan kabupaten yang dipecah lebih dulu, dan bukannya menunggu "pecahnya" provinsi? Kini, setelah Provinsi Sulawesi Barat terbentuk dan ditetapkan ada pejabat sementara gubernur, baru muncul ide membuat kabupaten baru yang terdiri dari tiga kecamatan yang bergolak itu. Sebuah ide yang bagus, karena warga ketiga kecamatan sebenarnya sudah rukun kalau saja tidak ditarik ke Polmas maupun ke Mamasa. Sayang, ide muncul setelah korban berjatuhan dan kedua suku yang menghuni tiga kecamatan itu berseteru. Sekarang perlu membuat suasana dingin dengan cara tiga kecamatan itu bersifat status quo, tanpa menginduk ke Mamasa tapi tidak juga menginduk ke Polmas. Toh, pemerintah Sulawesi Barat sudah terbentuk sehingga pembinaan dan pengawasan lebih mudah.

Kasus ini hendaknya jadi pelajaran bagi DPR yang baru, kalau membuat undang-undang yang akan menentukan nasib orang daerah, turunlah ke daerah, dengarkan aspirasi yang ada dan pelajari keadaan sosial di daerah. Membagi wilayah tidak semudah membagi kue martabak, asal potong sesukanya saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus