PERASAAN bebas laksana peluru yang lepas dari laras, syarat
mutlak untuk berprestasi. Penembak kawakan, Nyonya Lely
Sampurno, 48 tahun, membuktikannya ketika menumbangkan rekor
dunia air pistol (pistol angin) yang sudah bertahan 9 tahun.
Dalam kejuaraan menembak memperingati hari jadi Jakarta, 19 Juni
di Lapangan Tembak, Senayan, Lely membuat skor 388 yang berarti
unggul 1 angka dari penembak Uni Soviet, N. Stoljarova.
"Di Singapura ada beban mental, harus meraih medali. Sedangkan
sekarang saya merasa enak dan bebas. Yang saya pikirkan hanya
teknik menembak yang benar," ujar penembak yang di SEA Games
belum lama ini menangis karena hanya mengantungi perak. Waktu
itu dia hanya mencatat 376.
Lely juga mengakui ketika bertanding dalam pesta olah raga
negara Asia Tenggara di Singapura itu dia seperti dikejar-kejar
setan. Ingin cepat-cepat menyelesaikan pertandingan. Ia juga
agak meremehkan lawan, karena saingan kuatnya dari Muangthai
sejauh yang di ketahui jarang bisa mencapai skor di atas 375.
Mendadak penembak Muangthai, Tarunee Thientitithus ketika itu
mematok 379, tiga angka di atas Lely.
Keberangkatannya ke arena di Singapura itu agaknya tidak sepenuh
hati. Ini lantaran persiapan yang kurang. Selama latihan dia tak
pernah mencapai skor 370. Sementara untuk menghadapi kejuaraan
tidak resmi di Jakarta pekan lalu itu, selama latihan saja dia
bisa mencapai 381.
Perasaan kadang-kadang mengenal masa damai dan masa gaduh.
Karena itu Lely sendiri tidak bisa memperhitungkan apakah dalam
kejuaraan menembak Asia di akhir bulan ini dia mampu
mempertahankan prestasinya itu. "Untuk mencapai skor itu dengan
suasana perasaan seperti hari ini susah sekali," katanya kalem.
Olah raga yang dipilih wanita yang beranak 3 ini nampaknya
memerlukan ketenangan mutlak. Dia sering membatalkan latihan
karena di tengah perjalanan muncul macam-macam pikiran. Waktu,
bisa saja dia sisihkan. "Tapi kalau tidak ada konsentrasi, buat
apa berlatih. Akan percuma saja," ungkapnya.
Padahal beribu macam soal bisa muncul di pundak wanita yang
kecil semampai ini. Dia menjadi ibu, sekaligus ayah, sejak
suaminya, kolonel AURI, Sampurno meninggal dunia tahun 1976. Di
kediamannya yang terletak di daerah Kebayoran Baru, hari-hari
nampaknya tak pernah sepi. Selesai mengurus anak-anaknya
sekolah, Lely masih mengerjakan berbagai tetek-bengek. Dia harus
mengecek kebutuhan rumah tangga. Termasuk mengerjakan pekerjaan
yang dulu dikerjakan suaminya. Seperti mengurus pipa ledeng yang
bocor. Menunggui tukang. Barulah dia berangkat kerja.
Pembawaannya tenang. Orang yang baru mengenalnya bisa
menganggapnya pendiam atau acuh tak acuh. Kalau sikap itu meman
pembawaan dari lahir, olah raga menembak mempertajamnya lagi.
Karena menembak, seperti yang dia ceritakan, memerlukan
konsentrasi yang terus-menerus. "Kalau saya sudah dapat giliran
berdiri di depan, saya tak pernah melihat ke belakang lagi. Saya
tak peduli siapa pun yang berada di sana," ungkapnya.
Tetapi olah raga yang berdentam-dentam itu membuatnya menjadi
seorang ibu yang matang. Katanya seraya senyum menembakkan
lesung pipitnya: "Menembak bisa mendidik seorang atlet menjadi
penyabar, pandai mengendalikan emosi, dan cermat dalam setiap
tindakan."
Tak heran ketika suaminya meninggal, hanya selama 2 bulan dia
merasakan dunia ini seperti tenggelam. Sesudah itu dia mulai
mengencangkan peganan. Wanita lulusan SGB (sekarang SPG) ini
lantas kursus sekretaris. Sampai sekarang dia bekerja di bagian
administrasi dan keuangan perusahaan yang bergerak dalam bisnis
senjata olah raga.
Sudah 7 tahun ditinggalkan suni, Lely Sampurno tetap sorangan.
Ia memang tidak menutup kemungkinan seseorang datang sebagai
ganti ayah bagi anak-anaknya. Tetapi Sampurno membekas benar
dalam hatinya. Ketika belum setahun mereka nikah, Letnan Dua
Sampurno mengajarinya membongkar pasang senjata. Melatihnya
menembak dan menang dalam lomba menembak antar-Ibu-ibu istri
ABRI tahun 1961. "Dialah guru saya yang sebenarnya," kenangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini