MINYAK itu memang licin. Demikian pula harganya. Dan selama
ekonomi dunia masih didasarkan pada perhitungan bahan bakar yang
cepat menyala itu, perhitungan para ahli pun bisa meleset.
Alkisah, para pengamat tadinya meramalkan harga minyak akan
tertekan lagi, karena adanya penurunan permintaan yang biasanya
terjadi saat ini, menjelang musim panas di belahan bumi Utara.
Tapi apa yang dikhawatirkan itu rupanya belum juga terjadi.
Sebaliknya harga beberapa jenis minyak nampak terus naik,
sekalipun pelan. Bahkan di pasaran di luar kontrak (spot), harga
beberapa jenis minyak terus mendaki.
Catatan harga minyak yang secara teratur dimuat dalam buletin
minyak yang berwibawa, Petroleum Inttelligence Weekly,
baru-baru ini menunjukkan kecenderungan itu. Dibandingkan harga
pertengahan Juni lalu, harga minyak berat Arab Saudi naik dengan
5 sen dollar per barrel. Sedang jenis Forties patokan minyak
produksi Laut Utara (Inggris), meningkat dengan 20 sen dollar,
dan jenis Brent, saudaranya, bertambah dengan 15 sen dollar per
barrel. Kenaikan harga di pasaran spot itu sudah melebihi harga
kontrak. Demikian pula untuk jenis Bonny, minyak Nigeria yang
berharga kontrak US$ 31 per barrel.
Beberapa menteri OPEC, itu organisasi negeri pengekspor minyak,
tak ayal mulai mengendurkan ikat pinggangnya melihat pasaran
yang membaik itu. Sheik Khalifa al Sabah, Menteri Perminyakan
Kuwait yang sering tampil sebagai juru bicara OPEC, malah tidak
menutup kemungkinan untuk menaikkan harga patokan minyak Arab
(Arabian Light Crude) yang sekarang US$ 29 per barrel, menjadi
US$ 30 per barrel kalau OPEC berunding lagi akhir tahun ini.
Optimisme Sheik Khalifa nampaknya didukung dari dua segi: selain
harga minyak membaik, produksinya pun mulai bertambah. Produksi
total minyak OPEC yang tadinya jatuh jauh di bawah kuota 17,5
juta barrel sehari, pelan-pelan mulai membubung.
Di bulan April lalu, produksi total OPEC bertambah dengan
620.000 barrel sehari dibanding produksi bulan Maret: menjadi
15,3 juta barrel sehari. Mei kemarin, produksinya naik lagi
menjadi 16,4 juta barrel sehari. Sekalipun itu masih di bawah
kuota 17,5 juta barrel, jumlah rekor yang dicapainya tahun lalu,
perkembangan harga dan produksi yang terjadi belakangan ini
nampaknya cukup melegakan para menteri OPEC.
Tadinya diperkirakan, pelepasan stok secara besar-besaran oleh
sejumlah perusahaan minyak, terutama dari Amerika Serikat, akan
semakin menundukkan harga minyak di pasaran dunia. Badan Energi
International (IEA) yang berpusat di Paris memperkirakan, selama
bulan April, stok minyak yang dilepas mencapai 4,5 juta barrel
sehari. Namun sekarang rupanya pelepasan stok itu mulai
berkurang.
Ada kemungkinan perusahaan minyak sekarang mulai mengumpulkan
stok lagi untuk menghadapi permintaan yang diduga akan
bertambah dengan mulai pulihnya ekonomi di AS. Departemen
Perdagangan AS di Washington DC, lebih sepekan lalu mengumumkan
tingkat pertumbuhan yang di luar dugaan, mencapai 6,6% dalam
kuartal pertama tahun ini (Januari-April). Tahun lalu tingkat
pertumbuhan negara itu membeku, minus 1,75%.
Mengingat sebagian besar ekspor minyak Arab, Afrika Utara dan
Laut Utara masih mengalir ke AS, bukan mustahil kuota produksi
OPEC dalam waktu dekat ini akan mencapai 17,5 juta barrel lagi.
IEA berani meramalkan produksi OPEC akan mencapai rekor 20 juta
barrel sehari rata-rata dalam kuartal keempat tahun ini
(Agustus-Desember).
Benar tidaknya ramalan IEA baik kita tunggu. Tapi di samping
iklim ekonomi yang mulai bersemi di AS, agaknya masih ada
beberapa sebab lain yang bisa menerangkan kenapa -- berbeda
dengan ramalan semula yang muram -- tiba-tiba harga dan produksi
minyak mulai stabil.
Diberitakan, beberapa anjungan minyak di Laut Utara milik
perusahaan Shell yang bermarkas di London, akan mengalami
reparasi besar-besaran. Maka timbul dugaan produksi minyak Laut
Utara akan turun serama periode reparasi itu. Produksi total
minyak Inggris sampai sekarang masih bertahan sekitar 2,2 juta
barrel sehari, sedang produksi minyak Norwegia dari Laut Utara
mencapai rata-rata 650.000 barrel sehari.
Di AS sendiri, pengeluaran eksplorasi oleh perusahaan minyak
dalam negeri menurun, mungkin karena usaha itu dianggap kurang
bersaing lagi setelah jatuhnya harga minyak. Tapi beberapa
analis mendua, itu disebabhn tingkat bunga untuk nasabah utama
(Prime rate) yang sejak November tahun Llu turun dengan 0,5%
menjadi 10,5% setahun, dianggap masih tinggi. Bunga antarbank
(Libor) di pusat keuangan London, mernang lebih kecil: 9,5%
setahun.
Bagaimanapun turunnya produksi minyak di AS akan menambah
ketergantungan negeri itu terhadap minyak impor. Dengan kata
lain, ekspor minyak ke negara tersebut akan naik. Sebuah
penelitian yang dilakukan sebuah lembaga di Dallas, Texas,
berani meramalkan bahwa konsumsi minyak AS condong naik lebih
cepat dari naiknya Pendapatan Nasional Bruto (GNP), pada saat
ekonomi AS mulai meningkat lagi. "Kalau GNP naik dengan 4%
antara kuJrtal keempat 1982 dan kuartal keempat 1983, maka
kunsumsi minyak AS akan naik antara 5 dan 8%," kata lembaga
riset yang dipimpin ekonom Stephen Brown itu.
Indonesia, yang kurang lebih sepertiga ekspor minyaknya mengalir
ke AS, tentu akan ikut menikmati suasana baik yang mulai
membayang di negeri Presiden Reagan. Tapi yang lebih penting
bagi Indonesia adalah pasar utamanya di Jepang. MITI (Departemen
Perdagangan dan Industri Internasional) sudah mengimbau
perusahaan Jepang agar bagian impor minyak Indonesia
dipertahankan 15% dari seluruh impor minyak Jepang. Suatu
imbauan yang dikeluarkan setelah Perdana Menteri Nakasone
berkunjung ke Jakarta bulan April lalu.
Indonesia sampai sekarang masih bertahan sebagai penjual minyak
kedua terbesar ke Jepang setelah Arab Saudi. Tahun lalu, ekspor
minyak Indonesia ke Jepang masih mewakili 15,3% dari seluruh
impor minyak Jepang. Tapi bulan Januari lalu, bagian impor dari
Indonesia turun menjadi 14,3% dan hanya 14% di bulan Maret.
Sampai sekarang persentase di bulan Maret itu nampaknya belum
bergeser. MITI sendiri meramalkan, seluruh impor minyak Jepang
akan turun dengan 1,7% selama dua tahun mendatang. Pertumbuhan
di Jepang yang mencapai 2,2% tahun lalu, nampaknya masih sulit
untuk didongkrak dalam tahun ini. Menurut Sumitomo Bank Ltd.,
tingkat pertumbuhan itu belum akan pulih sampai Jepang memasuki
tahun anggaran baru pada 1 April 1985.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini