Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harapan baru buat Opec

Ekonomi di AS mulai pulih. harga minyak mulai membaik dan produksi total opec diramalkan akan bertambah. belum berpengaruh bagi indonesia, karena pasaran utama minyak Indonesia adalah jepang. (eb)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINYAK itu memang licin. Demikian pula harganya. Dan selama ekonomi dunia masih didasarkan pada perhitungan bahan bakar yang cepat menyala itu, perhitungan para ahli pun bisa meleset. Alkisah, para pengamat tadinya meramalkan harga minyak akan tertekan lagi, karena adanya penurunan permintaan yang biasanya terjadi saat ini, menjelang musim panas di belahan bumi Utara. Tapi apa yang dikhawatirkan itu rupanya belum juga terjadi. Sebaliknya harga beberapa jenis minyak nampak terus naik, sekalipun pelan. Bahkan di pasaran di luar kontrak (spot), harga beberapa jenis minyak terus mendaki. Catatan harga minyak yang secara teratur dimuat dalam buletin minyak yang berwibawa, Petroleum Inttelligence Weekly, baru-baru ini menunjukkan kecenderungan itu. Dibandingkan harga pertengahan Juni lalu, harga minyak berat Arab Saudi naik dengan 5 sen dollar per barrel. Sedang jenis Forties patokan minyak produksi Laut Utara (Inggris), meningkat dengan 20 sen dollar, dan jenis Brent, saudaranya, bertambah dengan 15 sen dollar per barrel. Kenaikan harga di pasaran spot itu sudah melebihi harga kontrak. Demikian pula untuk jenis Bonny, minyak Nigeria yang berharga kontrak US$ 31 per barrel. Beberapa menteri OPEC, itu organisasi negeri pengekspor minyak, tak ayal mulai mengendurkan ikat pinggangnya melihat pasaran yang membaik itu. Sheik Khalifa al Sabah, Menteri Perminyakan Kuwait yang sering tampil sebagai juru bicara OPEC, malah tidak menutup kemungkinan untuk menaikkan harga patokan minyak Arab (Arabian Light Crude) yang sekarang US$ 29 per barrel, menjadi US$ 30 per barrel kalau OPEC berunding lagi akhir tahun ini. Optimisme Sheik Khalifa nampaknya didukung dari dua segi: selain harga minyak membaik, produksinya pun mulai bertambah. Produksi total minyak OPEC yang tadinya jatuh jauh di bawah kuota 17,5 juta barrel sehari, pelan-pelan mulai membubung. Di bulan April lalu, produksi total OPEC bertambah dengan 620.000 barrel sehari dibanding produksi bulan Maret: menjadi 15,3 juta barrel sehari. Mei kemarin, produksinya naik lagi menjadi 16,4 juta barrel sehari. Sekalipun itu masih di bawah kuota 17,5 juta barrel, jumlah rekor yang dicapainya tahun lalu, perkembangan harga dan produksi yang terjadi belakangan ini nampaknya cukup melegakan para menteri OPEC. Tadinya diperkirakan, pelepasan stok secara besar-besaran oleh sejumlah perusahaan minyak, terutama dari Amerika Serikat, akan semakin menundukkan harga minyak di pasaran dunia. Badan Energi International (IEA) yang berpusat di Paris memperkirakan, selama bulan April, stok minyak yang dilepas mencapai 4,5 juta barrel sehari. Namun sekarang rupanya pelepasan stok itu mulai berkurang. Ada kemungkinan perusahaan minyak sekarang mulai mengumpulkan stok lagi untuk menghadapi permintaan yang diduga akan bertambah dengan mulai pulihnya ekonomi di AS. Departemen Perdagangan AS di Washington DC, lebih sepekan lalu mengumumkan tingkat pertumbuhan yang di luar dugaan, mencapai 6,6% dalam kuartal pertama tahun ini (Januari-April). Tahun lalu tingkat pertumbuhan negara itu membeku, minus 1,75%. Mengingat sebagian besar ekspor minyak Arab, Afrika Utara dan Laut Utara masih mengalir ke AS, bukan mustahil kuota produksi OPEC dalam waktu dekat ini akan mencapai 17,5 juta barrel lagi. IEA berani meramalkan produksi OPEC akan mencapai rekor 20 juta barrel sehari rata-rata dalam kuartal keempat tahun ini (Agustus-Desember). Benar tidaknya ramalan IEA baik kita tunggu. Tapi di samping iklim ekonomi yang mulai bersemi di AS, agaknya masih ada beberapa sebab lain yang bisa menerangkan kenapa -- berbeda dengan ramalan semula yang muram -- tiba-tiba harga dan produksi minyak mulai stabil. Diberitakan, beberapa anjungan minyak di Laut Utara milik perusahaan Shell yang bermarkas di London, akan mengalami reparasi besar-besaran. Maka timbul dugaan produksi minyak Laut Utara akan turun serama periode reparasi itu. Produksi total minyak Inggris sampai sekarang masih bertahan sekitar 2,2 juta barrel sehari, sedang produksi minyak Norwegia dari Laut Utara mencapai rata-rata 650.000 barrel sehari. Di AS sendiri, pengeluaran eksplorasi oleh perusahaan minyak dalam negeri menurun, mungkin karena usaha itu dianggap kurang bersaing lagi setelah jatuhnya harga minyak. Tapi beberapa analis mendua, itu disebabhn tingkat bunga untuk nasabah utama (Prime rate) yang sejak November tahun Llu turun dengan 0,5% menjadi 10,5% setahun, dianggap masih tinggi. Bunga antarbank (Libor) di pusat keuangan London, mernang lebih kecil: 9,5% setahun. Bagaimanapun turunnya produksi minyak di AS akan menambah ketergantungan negeri itu terhadap minyak impor. Dengan kata lain, ekspor minyak ke negara tersebut akan naik. Sebuah penelitian yang dilakukan sebuah lembaga di Dallas, Texas, berani meramalkan bahwa konsumsi minyak AS condong naik lebih cepat dari naiknya Pendapatan Nasional Bruto (GNP), pada saat ekonomi AS mulai meningkat lagi. "Kalau GNP naik dengan 4% antara kuJrtal keempat 1982 dan kuartal keempat 1983, maka kunsumsi minyak AS akan naik antara 5 dan 8%," kata lembaga riset yang dipimpin ekonom Stephen Brown itu. Indonesia, yang kurang lebih sepertiga ekspor minyaknya mengalir ke AS, tentu akan ikut menikmati suasana baik yang mulai membayang di negeri Presiden Reagan. Tapi yang lebih penting bagi Indonesia adalah pasar utamanya di Jepang. MITI (Departemen Perdagangan dan Industri Internasional) sudah mengimbau perusahaan Jepang agar bagian impor minyak Indonesia dipertahankan 15% dari seluruh impor minyak Jepang. Suatu imbauan yang dikeluarkan setelah Perdana Menteri Nakasone berkunjung ke Jakarta bulan April lalu. Indonesia sampai sekarang masih bertahan sebagai penjual minyak kedua terbesar ke Jepang setelah Arab Saudi. Tahun lalu, ekspor minyak Indonesia ke Jepang masih mewakili 15,3% dari seluruh impor minyak Jepang. Tapi bulan Januari lalu, bagian impor dari Indonesia turun menjadi 14,3% dan hanya 14% di bulan Maret. Sampai sekarang persentase di bulan Maret itu nampaknya belum bergeser. MITI sendiri meramalkan, seluruh impor minyak Jepang akan turun dengan 1,7% selama dua tahun mendatang. Pertumbuhan di Jepang yang mencapai 2,2% tahun lalu, nampaknya masih sulit untuk didongkrak dalam tahun ini. Menurut Sumitomo Bank Ltd., tingkat pertumbuhan itu belum akan pulih sampai Jepang memasuki tahun anggaran baru pada 1 April 1985.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus