Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ragam

Sejarah Bedug sebagai Seruan Ibadah Salat di Masjid

Eksistensi bedug sudah meluas pada abad ke-16. Keberadaannya kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang dilakukan Wali Songo sekitar abad ke-15/16.

14 April 2022 | 09.23 WIB

Bedug dan kentongan di masjid kuno KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan, Jawa Timur. TEMPO/ISHOMUDDIN
Perbesar
Bedug dan kentongan di masjid kuno KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan, Jawa Timur. TEMPO/ISHOMUDDIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam tradisi umat Islam, azan menjadi penanda sekaligus panggilan resmi untuk mengajak orang melaksanakan salat berjamaah di masjid. Di Indonesia, ada tradisi unik sebelum azan ini dikumandangkan, yaitu menabuh bedug. Antara azan dan bedug, keduanya merupakan suatu simbol syiar agama terutama sebagai alat komunikasi dalam menyeru ibadah salat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menilik dari latar belakang sejarahnya, tradisi menabuh bedug telah digunakan sejak ribuan tahun lalu. Keberadaannya di Nusantara disinyalir berasal dari bangsa India dan China. Dadan Sujana dalam buku berjudul Identifikasi Kesenian Khas Banten menyebutkan pada abad ke-15 Laksamana Cheng Ho singgah di Semarang dan memberikan hadiah bedug kepada Sang Raja. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Cerita versi lain seputar asal-usul bedug dijelaskan oleh seorang komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman, dalam catatan perjalanannya, De Eerste Boek. Menurut dia, eksistensi bedug sudah meluas pada abad ke-16. Saat dirinya tiba di Banten, setiap perempatan jalan digambarkan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan menggunakan tongkat pemukul. 

Fungsi daripada genderang tersebut adalah sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian Cornelis de Houtman ini jelas menunjukkan pada keberadaan bedug di Nusantara. Melansir sumber yang sama, keberadaan bedug yang semakin masif kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang diimplementasikan oleh Wali Songo sekitar abad ke-15/16. 

Oleh penganut kepercayaan Kapitayan, bedug menjadi salah satu tambuh untuk sembahyang. Setelah itu, diaplikasikan lebih lanjut oleh Wali Songo sebagai penanda masuknya waktu salat lima waktu. Hal ini dilakukan seperti ditulis Kees van Dijk dalam buku Perubahan Kontur Masjid, mengingat sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara belum memiliki menara untuk mengumandangkan azan. 

Sebagai gantinya, para Wali Songo melengkapi masjid-masjid dengan sebuah genderang besar (bedug) yang dipukul sebelum azan dikumandangkan. Dalam hal ini, tampaknya fungsi bedug bukan semata untuk mengumandangkan azan tetapi sebagai strategi dakwah dari Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga untuk mempercepat penerimaan masyarakat terhadap agama Islam. 

HARIS SETYAWAN 

 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus