Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tsunami di Banten dan Lampung pada Sabtu, 22 Desember 2018, diperkirakan terjadi akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Hal itu bukanlah kejadian pertama. Pada Agustus 1883, Gunung Krakatau juga mendatangkan tsunami besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, letusan Gunung Krakatau memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan tsunami yang terjadi akhir pekan lalu, mulai dari tsunami 36 meter hingga ledakan besar. Tempo berusaha merangkum beberapa fakta mengerikan dari letusan Gunung Krakatau yang terjadi 135 tahun yang lalu itu. Berikut fakta tersebut:
1. Letusan paling mematikan dalam sejarah modern
Menurut laman Live Science, beberapa waktu lalu, letusan Gunung Krakatau dikenal sebagai letusan paling mematikan dalam sejarah modern. Banyak yang meninggal akibat material ledakan dan tsunami yang mengikuti runtuhnya gunung berapi ke dalam kaldera di bawah permukaan laut.
Diperkirakan lebih dari 36.000 orang meninggal. Letusan juga mempengaruhi iklim dan menyebabkan suhu turun di seluruh dunia. Pada Mei 1883, kapten Elizabeth, kapal perang Jerman, melaporkan sudah melihat awan dan abu vulkanik di atas Puncak Krakatau. Ketinggian awan dan abu vulkanik mencapai lebih dari 6 mil (setara 9,6 kilometer).
Selama dua bulan berikutnya, kapal komersial dan kapal wisata carteran yang sering mengunjungi selat, melaporkan bahwa mendengar suara gemuruh dan adanya awan pijar.
2. Letusan disebabkan subduksi lempeng teknonik Indo-Australia
Aktivitas vulkanik disebabkan oleh subduksi lempeng tektonik Indo-Australia ketika bergerak ke utara menuju daratan Asia. Kepulauan vulkanik itu memiliki lebar sekitar 3 mil (setara 4,8 kilometer) dan panjang 5,5 mil (setara 8,8 kilometer).
Sebelum letusan yang bersejarah itu, Gunung itu memiliki tiga puncak gunung berapi yang terhubung: Perboewatan, yang paling utara dan paling aktif; Danan di tengah; dan yang terbesar, Rakata, membentuk di ujung selatan pulau. Krakatau dan dua pulau terdekat, Lang dan Verlatan, adalah sisa-sisa letusan besar sebelumnya yang meninggalkan kaldera bawah laut di antaranya.
3. Letusan memiliki kekuatan ledakan 200 megaton TNT
Letusan Gunung Krakatau telah diberi peringkat 6 oleh Volcanic Explosion Index (VEI) dan diperkirakan memiliki kekuatan ledakan 200 megaton TNT. Sebagai perbandingan, bom yang menghancurkan Hiroshima memiliki kekuatan 20 kiloton, artinya Gunung Krakatau hampir sepuluh ribu kali lebih ledakannya.
Letusan Krakatau juga diklaim memiliki sepuluh kali lebih eksplosif daripada ledakan Gunung St. Helens di Amerika pada 1980, tingkat 5 dalam VEI. Suara letusannya terdengar sampai 4.500 kilometer dari pusat letusan, bahkan dapat didengar oleh seper-delapan penduduk bumi saat itu.
Letusan berawal pada pukul 12.53 WIB, Ahad, 26 Agustus 1883. Ledakan awal letusan mengirim awan gas dan puing-puing sekitar 24 kilometer di udara di atas Perboewatan. Keesokan harinya, 27 Agustus 1883, terjadi empat ledakan dahsyat, terdengar hingga Perth, Australia, dan menjatuhkan Perboewatan dan Danan ke kaldera di bawah laut.
Ledakan awal memecahkan ruang magma dan memungkinkan air laut untuk bercampur dengan lava panas, yang dikenal sebagai peristiwa phreatomagmatic. Peristiwa itu membuat air mendidih, menciptakan bantalan uap super panas yang membawa aliran piroklastik hingga 25 mil (setara 40 kilometer) pada kecepatan lebih dari 100 kilometer per jam.
4. Memicu tsunami setinggi 120 kaki
Tephra atau pecahan batu vulkanik dan gas vulkanik panas membuat banyak korban khususnya di Jawa Barat dan Sumatra, tapi ribuan lainnya terbunuh akibat tsunami yang menghancurkan. Dinding air, setinggi hampir 120 kaki (setara 36 meter), yang diciptakan oleh runtuhnya gunung berapi ke laut.
Tsunami pada saat itu benar-benar membanjiri pulau-pulau kecil di dekatnya. Penduduk kota-kota pesisir di Jawa dan Sumatera melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Seratus enam puluh lima desa pesisir hancur. Kapal uap Berouw dibawa hampir satu mil ke daratan di Sumatera, dan semua 28 anggota awak tewas.
Namun terdapat kapal lain, Kapal Loudon, telah berhasil melewati tsunami. Kapten kapal, Lindemann, berhasil membalik haluannya untuk menghadapi ombak raksasa, dan kapal mampu menaiki puncak ombak. Ketika melihat ke belakang, para kru dan penumpang melihat bahwa tidak ada yang tersisa dari kota cantik tempat mereka berlabuh sebelumnya.
5. Membuat langit gelap hingga 442 kilometer
Ledakan Gunung Krakatau melontarkan sekitar 11 mil kubik (setara 45 kubik kilometer) puing ke atmosfer, langit yang gelap hingga 275 mil (atau 442 kilometer) dari pusat ledakan. Di sekitarnya, fajar tidak kembali selama tiga hari. Barograf di seluruh dunia mencatat bahwa gelombang kejut di atmosfer mengelilingi planet setidaknya tujuh kali.
Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas-gas lain mulai menyaring jumlah sinar matahari yang dapat mencapai Bumi, dan membuat fenomena optik yang aneh, seperti langit merah darah. Efek atmosfer dibuat untuk matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Suhu global rata-rata sebanyak 1,2 derajat lebih dingin untuk lima tahun ke depan setelah letusan.
Bahkan menurut laman Forbes, dalam dua minggu, abu, gas, dan aerosol tertiup angin atmosfer ke barat di sepanjang khatulistiwa. Beberapa bulan setelah letusan, awan vulkanik menyebar dari garis khatulistiwa ke zona garis lintang tengah.
6. Munculnya Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau mulai diketahui tumbuh pada 20 Januari 1930 hasil dari letusan Gunung Krakatau. Menurut laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) komplek Krakatau terdiri dari empat pulau, Rakata, Sertung, Panjang dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama adalah sisa pembentukan kaldera.
Sementara Anak Krakatau muncul akibat erupsi kompilasi pada 11 Juni 1927 dengan komposisi magma basa muncul di pusat komplek Krakatau. Lahir akibat letusan-letusan Anak Krakatau tumbuh semakin besar dan tinggi, bagian kerucutnya mencapai tinggi lebih kurang 300 meter dari muka laut.
Catatan sejarah kegiatan vulkanik Gunung Anak Krakatau sejak lahir pada 1930 hingga 2000, telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali, baik secara eksplosif maupun efusif. Dari beberapa letusan tersebut, umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya.
Waktu istirahat tersedia antara 1 hingga 8 tahun dan dialami 4 tahun sekali adalah letusan abu dan leleran lava. Aktivitas terakhir Anak Krakatau, yaitu letusan abu dan leleran lava berlangsung mulai 8 November 1992 hingga Juni 2000.
Pada tahun 2000-an Gunung Anak Krakatau mengalami peningkatan kegempaan terutama pada September 2005. Sementara Oktober 2007 aktivitas kegempaannya kembali meningkat dan terjadi letusan abu setinggi 200 meter. Hasil pengamatan visual pada 25 Oktober 2007, ada lubang letusan baru di dinding selatan Anak Krakatau.
Saat ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Gunung Anak Krakatau dari waspada level II menjadi siaga level III. Sebab, lembaga itu melihat aktivitas gunung api itu meningkat sejak dinihari tadi.
"Naiknya status siaga level III ini berlaku terhitung mulai hari ini pukul 06.00 WIB," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis, Kamis, 27 Desember 2018.
Sutopo mengatakan Gunung Anak Krakatau meningkatkan aktivitas sejak tadi malam. Dari pengamatan yang dilakukan pukul 00.00-06.00 WIB, aktivitas erupsi gunung api ini masih berlangsung. Tremor secara terus menerus tercatat dengan amplitudo 8-32 milimeter yang didominasi 25 milimeter. "Selain itu juga terdengar dentuman suara letusan," katanya.
Simak kabar terbaru tentang Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau hanya di kanal Tekno Tempo.co
LIFE SCIENCE | FORBES | KEMETERIAN ESDM