Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia merupakan negara dengan keragaman spesies anggrek terbanyak di dunia.
IUCN mencatat puluhan spesies anggrek Indonesia terancam punah. Ribuan lainnya belum terdata.
Beberapa strategi konservasi perlu dilakukan agar anggrek Indonesia tak tinggal nama.
SECARA global, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara dengan keragaman anggrek terbanyak di dunia. Negara ini setidaknya memiliki 4.100-4.200 spesies anggrek yang telah dikenal dunia ilmu pengetahuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironisnya, per Desember 2024, Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat 47 spesies anggrek Indonesia mengalami ancaman kepunahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggrek memang akrab dengan kehidupan masyarakat. Pemanfaatan anggrek paling banyak adalah dijadikan sebagai tanaman hias. Anggrek dari jenis Phalaenopsis, Dendrobium, dan Vanda konsisten merajai pasar anggrek hias di Indonesia. Popularitas anggrek hias jenis Paphiopedilum dari Indonesia juga tersohor sampai ke negara-negara Eropa dan Asia Timur.
Hal yang menarik saat ini, para hobiis tidak melulu fanatik pada bunganya, tapi juga pada keindahan corak daun dan habitusnya. Sebagai contoh, anggrek tanah Macodes petola, Anoectochilus reinwardtii, dan Ludisia discolor, yang disebut juga sebagai jewel orchid.
Selain itu, anggrek hias berukuran mungil, seperti Bulbophyllum ovalifolium, mulai menarik perhatian kalangan pehobi di perkotaan. Anggrek mini ini cocok untuk permukiman dengan pekarangan yang tak begitu luas karena dapat ditempatkan di dalam ruangan dalam bentuk terarium.
Pemanfaatan spesies anggrek Indonesia tak hanya sebagai pajangan. Masyarakat di wilayah pedalaman Mentawai dan Sumatera Utara juga kerap menggunakan anggrek hutan sebagai obat tradisional. Spesies anggrek asli Indonesia, seperti Coelogyne marthae dan Phalaenopsis amabilis, bahkan mulai diekstrak menjadi komponen kosmetik modern. Sementara itu, masyarakat di Sulawesi Tenggara dan Papua punya tradisi memanfaatkan kulit batang anggrek Dendrobium spp. sebagai bahan kerajinan anyaman bernilai ekonomi tinggi.
Di Ambang Kepunahan
Di balik segudang potensi pemanfaatannya, anggrek Indonesia menyimpan sisi kelam yang tragis. Sebanyak 19 spesies saat ini masuk kategori “kritis” (critically endangered) dan 18 spesies masuk kategori “genting” (endangered). Terdapat pula 10 spesies anggrek Indonesia yang masuk kategori “rentan” (vulnerable).
Selain 47 spesies anggrek yang menghadapi ancaman kepunahan tersebut, terdapat lima spesies yang berstatus “hampir terancam” (near threatened). Lalu 178 spesies berstatus “berisiko rendah” (least concern) dan 65 spesies “kekurangan data” (data deficient).
Sebagian besar di antara belasan spesies anggrek Indonesia yang berkategori kritis merupakan kelompok anggrek kantong dengan nama ilmiah Paphiopedilum spp. Tiga jenis anggrek yang nyaris punah di alam itu merupakan endemis Sumatera, yaitu Paphiopedilum liemianum, P. primulinum, dan P. victoria-regina. Adapun tiga spesies Paphiopedilum spp. lain yang juga masuk kategori kritis adalah P. kolopakingii dan P. supardii dari Kalimantan, serta P. sangii dari Sulawesi.
Anggrek jenis Paphiopedilum Kolopakingii. Shutterstock
Kelompok anggrek kantong memang dikenal memiliki pertumbuhan yang lambat dan persebaran terbatas. Kelompok ini sangat terancam oleh perburuan komersial dan perdagangan ilegal lintas negara sebagai tanaman hias. Selain itu, habitat alaminya banyak tergusur oleh aktivitas masyarakat. Maka tidak mengherankan jika lebih dari separuh jumlah anggrek dilindungi di Indonesia berasal dari kelompok ini.
Hingga saat ini, IUCN memang belum mencatat adanya spesies anggrek Indonesia dalam kategori “punah” (extinct) ataupun “punah di alam” (extinct in the wild). Namun kondisinya bisa jadi tidak sebaik itu. Pasalnya, masih banyak spesies anggrek di Indonesia yang belum dinilai ataupun diperbarui status konservasinya.
Dari 4.100-an spesies anggrek di negara ini, baru 5-6 persen yang status konservasinya telah dievaluasi. Artinya, masih ada sekitar 95 persen atau lebih dari 3.800 spesies anggrek Indonesia yang belum jelas nasibnya. Ketiadaan data dan evaluasi kondisi anggrek ini bisa menjadi sandungan dalam merumuskan aksi prioritas konservasi yang efektif.
Kekhawatiran itu bukan mengada-ada. Setidaknya terdapat satu anggrek endemis Jawa Barat yang diduga kuat telah punah di alam, yaitu anggrek bulan Jawa atau Phalaenopsis javanica. Spesies yang diperkenalkan pertama kali pada 1918 ini mengalami perburuan komersial secara besar-besaran pada kurun waktu 1970-1980. Sejumlah laporan menunjukkan saat itu anggrek ini diperdagangkan secara masif ke luar negeri sebagai tanaman hias. Walhasil, para ahli menganggap populasi alami Phalaenopsis javanica telah musnah di Jawa.
Anggrek jenis Paphiopedilum Liemianum. Shutterstock
Pada 2012-2015, beredar informasi dari masyarakat tentang kemunculan populasi anggrek Phalaenopsis javanica. Informasi tersebut mengagetkan sekaligus memberikan secercah harapan bagi para peneliti dan pelestari. Pro-kontra pun turut mengiringi kabar bahwa anggrek bulan Jawa bangkit dari kubur. Sebab, kemunculannya kali ini bukan di Pulau Jawa, melainkan di Pulau Sumatera. Apalagi belum pernah dilakukan eksplorasi ilmiah untuk membuktikan informasi tersebut.
Bagaimanapun, upaya pelindungan harus diutamakan. Pada 2018, melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, spesies anggrek bulan Jawa resmi tercantum sebagai salah satu anggrek dilindungi.
Status Konservasi dan Pelestarian
Penilaian status konservasi berdasarkan Daftar Merah IUCN dilakukan dengan mempertimbangkan data kelimpahan, sebaran, dan tren populasi alami suatu spesies di habitatnya. Bisa dibayangkan, ini akan menjadi pekerjaan besar untuk negara megabiodiversitas dengan jumlah spesies endemis yang tinggi seperti Indonesia. Karena itu, gotong royong antara pemerintah, lembaga riset, institusi akademik, dan kelompok masyarakat sipil mutlak dilakukan.
Penilaian status konservasi pada Daftar Merah IUCN sangat penting karena menjadi acuan penentuan spesies anggrek yang perlu diprioritaskan dalam sebuah upaya pelestarian. Status konservasi juga menjadi alarm peringatan bagi suatu negara atas ancaman kepunahan pada biodiversitas yang dimilikinya. Besarnya proporsi biota di suatu negara yang masuk kategori keterancaman tinggi (rentan, genting, kritis, punah di alam, dan punah) menjadi indikator untuk membenahi strategi konservasi nasionalnya.
Upaya pelestarian anggrek Indonesia perlu dilakukan dengan beberapa strategi, seperti meningkatkan kualitas populasi spesies prioritas melalui rehabilitasi, reintroduksi, ataupun relokasi. Volume budi daya anggrek alam juga perlu ditingkatkan, terutama secara in vitro. Pemanfaatan anggrek juga harus didorong lebih mengedepankan aspek kelestarian dan keberlanjutan.
Langkah-langkah tersebut dapat ditempuh melalui kolaborasi dengan komunitas hobiis dan pembudi daya anggrek komersial. Riset soal anggrek beserta upaya konservasi dan pemanfaatannya, tentu saja, menjadi bagian penting untuk menyokong misi itu. Hanya dengan begitu anggrek Indonesia tak tinggal nama. ●
Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit Sabtu.