Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berencana mengadakan kembali ujian nasional (UN) namun menggunakan sistem yang berbeda dengan sebelumnya. Sistem evaluasi belajar baru pada tahun ajaran 2025/2026 termasuk akan berbeda dari Asesmen Nasional yang berlaku belakangan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti meminta publik menunggu pengumuman resmi untuk nama dan bentuk dari sistem evaluasi baru tersebut. Dia menyatakan itu pada 31 Desember 2024 lalu dan sejak itu pro-kontra datang dari sejumlah kalangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Sosiologi Pendidikan di Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu masuk dalam kelompok yang menyarankan agar UN, jika ingin diadakan kembali, sebaiknya tidak memakai cara yang lama. Dia menekankan perlu ada kajian pentingnya pemberlakuan kembali UN. Kajian mencakup tren hasil belajar siswa sejak 2021 hingga 2024 atau pasca-penghapusan UN.
“Ini harus dilakukan secara menyeluruh di berbagai wilayah Indonesia,” kata Tuti melalui keterangannya, Senin 6 Januari 2025.
Tuti menyebut bahwa pengganti UN yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) terbilang efektif untuk mengukur kompetensi siswa sepanjang proses pembelajaran. Hal ini berbeda dengan UN model lama yang kerap membuat siswa merasa tertekan karena penilaian dilakukan di akhir masa pendidikan.
Menurut pendapatnya, penerapan UN model lama tidak lagi efektif dan relevan sebagai alat evaluasi pendidikan nasional saat ini. Sebab, dalam model lama, nilai ujian kerap kali dijadikan penilaian subyektif dan dijadikan parameter keberhasilan pendidikan. Misalnya, sekolah kerap dinilai dengan rata-rata nilai UN.
“UN model lama merupakan bentuk kekerasan simbolik dan regimentasi yang mempengaruhi siswa, guru, hingga sekolah,” ucap Tuti.
Tuti menilai, UN model lama menjadikan siswa sebagai individu yang menuruti standar tertentu, sehingga tidak tergali potensinya. Kondisi tersebut juga membuat siswa mengandalkan bimbingan belajar untuk menguasai soal ujian secara instan daripada mendalami proses berpikir kritis.
"UN model lama bahkan hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah," ujarnya.
Oleh karena itu, Tuti menegaskan, pemerintah harus bisa menyelenggarakan UN yang bisa mengatasi kurangnya pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia jika memang ingin memberlakukannya kembali. Jangan lagi menggunakan cara-cara lama, melainkan menyelenggarakan UN sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada di masing-masing sekolah.
Tuti juga berharap adanya kesiapan pemerintah, sekolah, guru, siswa, hingga orang tua. Pasalnya, perubahan kebijakan pendidikan setiap pergantian menteri kerap menjadi hambatan dalam membangun sistem pendidikan yang kokoh.
“Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia, tidak ada blueprint yang cukup baik dan berdurasi lama," kata dia.
Tuti juga mengingatkan bahwa parameter keberhasilan belajar siswa bisa terukur dari berbagai dimensi, tidak hanya dari skor ujian formal. Pemerintah bisa memperkuat kebiasaan belajar siswa melalui berbagai program-program literasi dan belajar di kelas yang dikembangkan oleh guru sehingga, siswa bisa menikmati pembelajaran tanpa tekanan atau paksaan.
Pilihan Editor: PTDI Masih Tunggu Kontrak Pembelian Drone Anka Turki Efektif