Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta sedang meneliti lanskap kultur maritim Sungai Brantas pada abad XI hingga XX. Penelitian yang dimulai sejak 2019 itu, selain untuk memetakan peradaban di sepanjang DAS Brantas selama sembilan abad, juga untuk menguak fungsi bengawan tersebut sebagai urat nadi transportasi.
Arkeolog sekaligus peneliti Balai Arkeologi DI Yogyakarta Agni Mochtar mengatakan ia dan tim sengaja membatasi lokasi penelitan dimulai dari titik percabangan Kali Brantas di Mlirip, Mojokerto, sampai ke hilir. Di Mlirip, Sungai Brantas terpecah menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong. Mendekati muara, Kali Surabaya sendiri terpecah lagi menjadi Kali Mas dan Kali Jagir.
Menurut Agni pemilihan titik awal penelitian di Mlirip hingga ke hilir Sungai Brantas bukannya tanpa alasan. Dalam perspekstif arkeologi, kata dia, selama ini sudah banyak penelitian di wilayah hulu Sungai Brantas sampai ke wilayah tengah. “Namun dari wilayah tengah sampai ke hilir belum,” kata dia.
Adapun abad XI diambil sebagai batas penelitian karena ketersediaan data-data arkeologis baru ditemukan di abad tersebut. Catatan yang memperlihatkan temuan data arkeologis yang lebih tua dari abad XI, kata Agni, belum ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Garis besar penelitian kami sebenarnya pada kultur maritim di Sungai Brantas, termasuk di dalamnya mencari letak Pelabuhan Ujung Galuh,” kata Agni dalam webinar bertema “Jejak Pelabuhan Kuno di Daerah Aliran Sungai Brantas” pada Sabtu, 5 Juni 2021.
Dia menjelaskan, selain menelusuri Sungai Brantas hingga ke hilir, penelitian juga mendasarkan pada data arkeologi hasil pembacaan beberapa prasasti, terutama Prasasti Kamalagyan (1037 Masehi) dan Prasasti Canggu (1358 Masehi). Agni menuturkan, dalam Kamalagyan disebutkan kesibukan kapal-kapal besar yang mengambil barang dagangan dari daerah hulu untuk diperjualbelikan di pelabuhan (dermaga).
“Dari pembacaan data-data arkeologi, riset, ditambah hasil penelusuran lapangan serta dari diskusi dengan para peneliti, Ujung Galuh di sini bukan Pelabuhan Ujung di Tanjung Perak seperti sekarang. Namun posisinya agak masuk, antara Surabaya-Sidoarjo. Perkiraan kami di daerah Balongbendo,” kata Agni merujuk wilayah di Mojokerto.
Agni memperkirakan Ujung Galuh adalah nama pelabuhan sungai, bukan pelabuhan besar di bibir pantai. Perkiraan itu diperkuat oleh penyebutan Pelabuhan Canggu di Prasasti Canggu. Canggu yang berada di Mojokerto juga merupakan pelabuhan sungai.
Berbeda dengan Agni, dosen sejarah Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, yang juga narasumber dalam webinar itu, berpendapat bahwa letak Ujung Galuh di pesisir Surabaya. Ia mendasarkan pendapatnya, salah satunya pada penyebutan nama Megaluh dalam sebuah data arkeologis. Megaluh adalah nama desa di Jombang yang dilewati DAS Brantas. “Megaluh ini masih inside dengan Ujung Galuh,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungai Brantas. ANTARA
Namun Dwi setuju bahwa di DAS Brantas telah ada pelabuhan-pelabuhan sungai sejak era Raja Airlangga di Kahuripan. Pelabuhan-pelabuhan sungai itu makin berkembang di era-era raja selanjutnya, mulai Jayabaya, Gandra, Jayakatwang, Hayam Wuruk dan raja-raja setelahnya. Berdasarkan temuan data di prasasti serta data susastra (kitab Negarakertagama maupun kidung-kidung sastra lama), daerah tempat pelabuhan sungai rata-rata merupakan tanah perdikan atau sima.
Dalam Prasati Jaring di Sutojayan, Kabupaten Blitar, serta Prasasti Tapan dan Prasasti Pulotondo di Tulungagung misalnya, menurut Dwi terdapat temuan menarik. Tepat di tempat prasasti itu dibangun, DAS Brantas berkelok tajam, semula dari selatan ke utara menjadi timur ke barat. Di Prasasti Jaring terdapat kata-kata Senapati Sarwajala yang diduga merupakan pejabat militer bidang maritim sungai.
“Di tempat-tempat penemuan prasasti sepanjang Daerah Aliran Sungai Brantas, aliran sungai selalu berbentuk meander. Kami menduga dahulu merupakan pelabuhan sungai,” katanya.