Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang menemukan Prasasti Watu Lawang di Dusun Pulihan, Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Menurut arkeolog yang juga Ketua TACB Tri Subekso, prasasti tersebut diduga berasal dari zaman Majapahit.
“Temuan ini sangat menarik karena mampu menghidupkan imajinasi kita akan kehidupan para ajar yang tinggal menyepi di lereng gunung pada masa akhir Majapahit,” ujar Tri kepada Tempo, Selasa malam, 3 Desember 2019.
Selain Tri, tim penemu prasasti terdiri dari Pamong Budaya Disdikbudpora Kabupaten Semarang Setio Widodo, penemu inskripsi pada batu prasasti Warin Darsono, Sekretaris Desa Tajuk Sri Rahayuningsih dan perangkat desa Ngusman. Tri menduga situs ini menjadi salah satu dari beberapa lokasi skriptorium di lereng Merbabu yang menjadi tempat dihasilkannya artefak budaya berupa ratusan manuskrip lontar dengan aksara anehnya.
Batu prasasti itu memiliki ukuran panjang 176 cm, lebar 97 cm, dan tebal 31 cm, dan nampak tulisan Jawa Kuno yang memuat angka tahun, terbaca 1343. Dugaannya tentu saja ini merupakan angka tahun saka. “Selain prasasti angka tahun, ada juga batu berukuran panjang 140 cm, lebar 73 cm, dan tebal 34 yang nampaknya merekam guratan tangan manusia,” kata Tri.
Dilihat dari letaknya yang berada di jurang kecil dengan aliran sungai di bawahnya dan kondisinya yang masih sunyi, kemungkinan situs di sisi utara Gunung Merbabu ini merupakan lokasi yang ideal sebagai tempat pertapaan pada masa lampau.
Jika disandingkan dengan keberadaan naskah Merapi-Merbabu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Eropa, Tri menambahkan, prasasti ini akan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang akhir masa Jawa Kuno. “Yakni tentang gerakan literasi keagamaan dan kehidupan pertapaan pada masa itu,” tutur Tri.
Menurut Tri, keberadaan prasasti ini tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian dari lingkungan pertapaan pada masa itu. Di antara sekian prasasti lainnya yang pernah ditemukan di daerah Getasan ini, Prasasti Watu Lawang merupakan prasasti tertua yang pernah ditemukan.
Prasasti lainnya adalah Prasasti Samirono 1370 Saka, Prasasti Ngadoman 1371 Saka (Museum Leiden Belanda), Prasasti Ngrawan 1372 Saka, Prasasti Tajuk 1369 Saka (sebuah laporan arkeologi pernah menyebut prasasti ini dengan angka tahun 1269 saka, tapi sekarang setelah dibaca ulang lebih cenderung menunjukkan angka 1369).
“Ada juga laporan dari Verbeek dan N.J. Krom tentang batu bergambar yang memuat angka tahun 1360 dan 1363 Saka. Yang terakhir dibawa ke Museum Batavia pada tahun 1889 Masehi. Kedua prasasti yang pernah dicatat ahli purbakala Belanda ini belum diketahui keberadaannya,” kata Tri.
Menurut filolog atau peneliti naskah Merapi-Merbabu dari Sraddha Institute, Rendra Agusta, setidaknya ada dua naskah Merapi-Merbabu yang dituliskan di lembah Tajuk. Pertama, lontar bernomor L 134 I (4) yang berjudul Suluk Asmara, kedua, lontar dengan nomor L 206 II (2) berisi cerita gattokaca (bima suta) dan nasehat Sugriwa.
“Kedua naskah itu saat ini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hal ini memungkinkan bahwa Desa Tajuk memiliki rekam jejak yang panjang terkait sastra ajar pada akhir Majapahit sampai era Kraton Kartasura. Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam penelitian lanjut terkait relasi prasasti dan naskah-naskah Merapi-Merbabu,” kata Rendra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini