Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Malam takbiran, seperti yang akan dilalui Minggu malam nanti menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 H, selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Dalam tradisi Indonesia atau Nusantara misalnya, takbiran bukan sekadar ritual ibadah, melainkan warisan budaya Islam yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar budaya Islam di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Ahmad Syauqi mengatakan tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam. Tepatnya pada abad 15-18 Masehi. Karenanya, tradisi takbiran identik dengan tradisi keagamaan Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Era kedua yaitu kolonial, sekitar abad 19-20 M, pada zaman kolonial Belanda, Ahmad melanjutkan, takbiran dilaksanakan dengan kondisi yang terbatas. “Takbiran juga sering menjadi bentuk perlawanan simbolis era penjajahan,” kata Ahmad melalui keterangan tertulis, Ahad, 30 Maret 2025.
Hingga kini, Ahmad juga mengungkapkan kalau takbiran identik dengan tabuhan bedug yang menggema. Namun, seiring waktu, tradisi ini terus berkembang, bahkan merambah ke ranah digital. “Saat ini kita melihat fenomena takbiran virtual, melalui siaran langsung. Ini membuktikan bahwa esensi takbiran tetap bertahan, meskipun bentuknya terus beradaptasi,” kata dia.
Beda Takbiran di Jawa dan Luar Jawa
Menurut dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia itu, tradisi takbiran di beberapa negara memiliki keunikannya sendiri. Di Indonesia, dia menilai, elemen budaya sangat kental. Agama Islam berakulturasi dengan budaya menghasilkan pawai obor, gema bedug, takbir keliling.
Contohnya di Pulau Jawa, kata Ahmad, terdapat Takbir Keliling seperti Yogyakarta dan Solo. Sedangkan di Madura, takbiran dilakukan dengan tradisi Tellasan Topa’. Di luar Jawa seperti di Aceh, melakukan seni Rateb Meuseukat atau tarian sufistik dan di Minangkabau, Sumatera Barat, masyarakat mengadakan Takbiran Bararak.
Sementara di Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, terdapat tradisi Mappadendang, yang diiringi bunyi tabuhan lesung sebagai simbol rasa syukur. “Masyarakat di Nusantara sangat inklusif, tidak hanya menghargai ajaran Islam tetapi merangkul kebudayaan lokal," ujarnya sambil menambahkan keterlibatan masyarakat dari seluruh lapisan, baik di kota maupun di pelosok.
Takbiran Bukan Euforia Sesaat
Di beberapa daerah, menurut dia, takbiran berubah menjadi ajang kompetisi siapa yang memiliki bedug terbesar, siapa yang bisa membuat replika masjid paling megah, atau siapa yang memiliki pawai takbir paling meriah. Tak jarang, kata Ahmad, perayaan ini juga diiringi dengan petasan dan kembang api, yang sayangnya, menurut dia, justru menjauhkan dari makna asli takbir.
“Malam takbiran adalah momentum sakral untuk merenungkan kebesaran Allah, bukan sekadar pesta," katanya, "Jangan sampai kemeriahan justru menghilangkan substansi spiritualnya.”
Ia juga mengingatkan takbir adalah bentuk pengakuan atas kebesaran Allah, sekaligus bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. Yang perlu dijaga adalah keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas. "Takbiran harus tetap menjadi ajang syiar Islam, bukan sekadar euforia sesaat,” kata dia.
Pilihan Editor: Guru Besar Unair Jelaskan Bagaimana THR untuk ASN Tahun Ini Bisa Ancam Kelompok Miskin dan Rentan