Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Karena Badak Sulit Beranak

Laju reproduksi badak Sumatera dengan metode kawin alam di kandang semi-liar sangat lambat. Teknologi reproduksi perlu untuk menyelamatkan materi genetik.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Reproduksi badak Sumatera secara alamiah sangat lambat.

  • Ada faktor intrinsik yang menghambat reproduksinya badak Sumatera.

  • Teknologi reproduksi berbantu bisa menyelamatkan materi genetik badak yang masih ada.

ANDATU namanya. Meski bertubuh gempal dengan bobot 645 kilogram, badak Sumatera ini tampak gesit melewati semak di antara pepohonan meranti dan berasan yang rimbun. Ia bergerak lincah tatkala digiring oleh Fery, perawat badak, untuk menikmati menu tambahan pada pagi berupa pisang dan ubi. Makanan itu hadiah dari sang perawat karena sejak pagi buta Andatu menunjukkan semangat menjelajahi hutan pribadinya yang berbentuk seperti sepotong piza seluas 2 x 10 hektare tersebut.

Andatu adalah satu dari tujuh penghuni Suaka Badak Sumatera (SRS) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Ia menjadi bukti keberhasilan program reproduksi badak Sumatera di kandang semi-liar yang beroperasi sejak 1998 itu. Kelahiran badak jantan pada 23 Juni 2012 lalu itu sudah dinanti-nanti praktisi konservasi badak selama 124 tahun. Andatu adalah badak Sumatera yang kembali lahir di Asia sejak kelahiran badak Sumatera di Kebun Binatang Alipore, Kolkata, India, pada 1889.

Meski program itu berhasil, laju reproduksi di penangkaran sangat lambat. Sejak program berlangsung hampir 40 tahun lalu, sampai saat ini hanya ada lima anak badak yang bisa dilahirkan. Tiga badak lahir di Kebun Binatang Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, yaitu Andalas, Susi, dan Harapan. Susi, yang lahir pada 2004, mati karena penumpukan zat besi pada 2014. Sedangkan di SRS lahir Andatu dan adiknya, Delilah, yang lahir pada 2016.

Zulfi Arsan, koordinator dokter hewan dan keeper SRS dari Yayasan Badak Indonesia, menuturkan bahwa perkawinan badak membutuhkan waktu panjang. Proses kawin biasanya didahului aksi kejar-kejaran di tengah hutan ataupun di kubangan. Perilaku kasmaran itu berlangsung sehari-semalam, bahkan tak jarang berlanjut hingga dua hari. “Tapi penetrasi sering gagal lantaran pejantan kelelahan akibat terlalu lama pemanasan. Betina juga sering mengalami kendala karena ovulasinya tidak spontan,” kata Zulfi saat ditemui di SRS, Rabu pagi, 22 September lalu.

Sulitnya kawin ala badak, Zulfi menambahkan, juga dialami induk Andatu: Andalas dan Ratu. Andalas adalah badak Sumatera pertama yang dilahirkan di Kebun Binatang Cincinnati pada 13 September 2001. Ia anak sulung Ipuh dan Emi, pasangan yang ditangkap dari habitat mereka di Sumatera pada 1991, bagian dari program penangkapan badak 1984-1995 untuk pembiakan di kebun binatang. Menurut Zulfi, Andalas baru bisa membuntingi Ratu pada 2008, tapi terjadi beberapa kali kematian embrio sebelum akhirnya Ratu bisa melahirkan Andatu.

Menurut Muhammad Agil, pengajar di Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, banyak faktor pemicu badak Sumatera sulit beranak di konservasi ex situ. Salah satunya betina berasal dari penyelamatan badak yang terpisah dari populasi atau terisolasi dalam populasi. Badak seperti itu, ujar Agil, berisiko mengalami Allee effect—fenomena sulit bertemu untuk kawin karena kecilnya populasi. Akibatnya, badak betina tidak bunting dalam waktu lama.

Penelitian Agil dan koleganya yang dipublikasikan di Journal of Threatened Taxa pada 2020 menemukan tiga masalah pada badak betina yang ditangkap dan dikembangbiakkan pada 1980-2018. “Badak mengalami gejala patologi seperti kista dan tumor pada organ reproduksi yang membuatnya sulit bunting. Badak sulit bunting karena mengalami kegagalan pembuahan atau kematian embrio. Sebanyak 23 dari 32 betina (71 persen) mengalami patologi dan sulit bunting,” tutur Agil di kampusnya, Senin, 13 September lalu.

Selain itu, menurut Zulfi, badak punya faktor intrinsik yang menghambat reproduksinya di alam. Fauna bercula dua ini bersifat soliter absolut dan sangat sensitif terhadap gangguan. Umur harapan hidupnya 40 tahun dengan masa bunting 15-16 bulan dan jarak antar-kelahiran 4-5 tahun. Setiap kali bunting, betina hanya melahirkan satu anak. “Kualitas sperma badak juga rendah dan tingkat abnormalitas tinggi. Adapun siklus berahi betina 20-30 hari dan hanya reseptif terhadap jantan selama 24 jam,” ujar Zulfi dalam webinar Hari Badak Sedunia, Rabu, 22 September lalu.

Kondisi itulah yang mendorong penerapan teknologi reproduksi berbantu (ART) untuk memperbanyak badak di SRS yang diamanatkan Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Populasi Badak Sumatera 2018-2021. Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan pihaknya telah membahas rencana program ART dengan Fakultas Kedokteran Hewan IPB University. “Sudah ada nota kesepahaman untuk dibuat perjanjian kerja sama,” kata Wiratno menjawab surat Tempo, Selasa, 21 September lalu.

Agil mengakui institusinya diminta Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati membuat peta jalan pengembangan ART dan bio-bank (penyimpanan beku) 2021-2026. Dalam peta jalan itu, pada tahun pertama akan dilakukan pemeriksaan kesehatan umum dan reproduksi semua badak di SRS, pengurutan seluruh genom badak, serta pengoleksian sperma. Pada tahun kedua, dibangun laboratorium ART dan bio-bank. Dana pembangunan, Agil menjelaskan, mungkin berasal dari Tropical Forest Conservation Action-Sumatera (TFCA-Sumatera) dari Yayasan Kehati, yang membuka siklus hibah kesembilan.

Direktur Program TFCA-Sumatera Samedi mengatakan hingga saat ini lembaganya belum memberikan komitmen apa pun. Namun TFCA-Sumatera telah mengalokasikan dana sekitar Rp 16 miliar untuk mendanai pembangunan fondasi pengembangan ART badak di Indonesia. “IPB University salah satu entitas yang memenuhi syarat yang telah menyampaikan minatnya untuk mengajukan proposal proyek pengembangan ART. Saat ini masih berlangsung proses penilaian konsep kegiatan,” ucap Samedi menjawab surat Tempo, Senin, 20 September lalu.

Samedi menuturkan, TFCA-Sumatera adalah program pendanaan hibah bagi lembaga untuk menjalankan proyek konservasi di Sumatera. Saat ini, dia menerangkan, telah dibuka siklus hibah kesembilan untuk proyek konservasi yang terkait dengan empat spesies kunci: harimau, badak, gajah, dan orang utan. TFCA-Sumatera, Samedi menambahkan, merupakan kerja sama pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengenai pengalihan pembayaran sebagian utang ke suatu dana amanah untuk mendukung konservasi hutan dan spesies di dalamnya.

Menurut Agil, aplikasi ART pada prinsipnya adalah mengawetkan materi genetik badak Sumatera yang kritis—apa pun bentuknya—yang bisa dikembangkan menjadi embrio yang siap ditransfer atau bahkan individu badak baru suatu saat nanti. “Dengan ART kita berupaya menyelamatkan materi genetik dari semua badak yang ada,” ujar Agil, yang juga anggota Asian Rhino Specialist Group pada International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.

ART, tutur Agil, perlu segera diterapkan secara paralel dengan perlindungan penuh terhadap populasi badak yang masih dapat hidup di Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh dan Taman Nasional Way Kambas. “Jika sel telur sudah dipanen, sperma juga tersedia, bisa mengembangkan bayi tabung (intracytoplasmic sperm injection),” ujarnya. “Ihwal individu yang tak mungkin sampai ke pembuahan sel telur, kita masih bisa menyelamatkan sel somatiknya yang dapat dikultur menjadi sel punca (induced pluripotent stem cell).”

Agil mengungkapkan, ia bersama pakar bioteknologi embrio FKH IPB University, Arief Boediono, pernah mencoba melakukan intracytoplasmic sperm injection dalam penyelamatan badak Sumatera di Taman Nasional Tabin, Sabah, Malaysia, pada 2015. “Beberapa kali panen sel telur dan coba difertilisasi, sayangnya tidak berhasil karena hanya mengandalkan sperma dari satu jantan yang belum pernah mengawini betina dan terbukti bisa membuntingi betina,” ucapnya.

Malaysia menghentikan proyek ART setelah badak Sumatera terakhirnya, Iman, mati pada November 2019. “Tapi mereka sempat mengoleksi sel punca. Jadi tinggal menunggu mendapatkan sel telur untuk melakukan pengklonaan transfer inti sehingga menghasilkan embrio,” tutur Agil. “Jika embrio itu ditransfer ke induk penampung dan kemudian bisa melahirkan, individu baru tersebut persis seratus persen dengan individu yang telah mati.”

PARLIZA HENDRAWAN (LAMPUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus